Mu’tazila, the name of a religious movement [1]
Salah satu kalam dalam Islam yang memiliki ciri Rasional dan bahkan cenderung liberal karena sering mengemukakan dalil rasional-filosofis adalah aliran Muktazilah.
Nama lain dari mu’tazilah ialah Ahl at-Tauhid (Pembela tauhid), Ahl al-‘Adl atau Ashab al-Adl (Pendukung keadilan Tuhan) dan Kadariah (Aliran liberal). ada lima dasar ajaran mu’tazilah yang disebut al-usul al-khamsah (lima dasar) yakni:
v at-tauhid (kemahaesaan Tuhan)
v al-‘adl (Keadilan) Tuhan tidak akan menyalahi janjinya
v al-wa’d wa al-wa’id (janji baik dan ancaman siksa Tuhan)
v al-manzilah bain al-manzilatain (posisi menengah antara mukmin dan kafir)
v al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahyan al-munkar (memerintahkan orang pada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan [2]
Al-manzilah bain al-manzilatain ini adalah ajaran menyangkut status kedudukan orang mukmin yang melakukan dosa besar dan tidak bertaubat sepanjang hayatnya. Pelaku dosa beasar yang demikian tidak dapat dikatakan mukmin secara utuh dan tidak dapat pula disebut kafir tetapi memiliki status antara mukmin dan kafir.
Mu’tazilah adalah sebuah aliran teologi (dalam islam), yang muncul di Basrah (Irak) pada awal abad ke-8 (2H) kehadiran aliran ini dalam sejarah islam berawal dari tindakan wasil bin aAta (700-750/80-131H) memisahkan diri dari halaqah (majlis-taklim) gurunya, Imam Hasan al-Basri, di sebuah mesjid raya BAsrah, karena ia mempunyai penapat yang berbeda dengan pendapat gurunya, berkenaan dengan masalah mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut Wasil bin Ata, mukmin yang melakukan dosa besar, jika tidak bertobat, statusnya tidak mukmin lagi ( sedang menurut gurunya: statusnya mukmin), tapi jatuh kepada fasik, namuntidak sampai jatuh kepada status kafir (menurut khawarij: statusnya kafir).[3]
Setelah memisahkan diri Wasil bin Ata membentuk halaqah sendiri di mesjid yang sama, jemaah yang dipimpin Wasil bin Ataitulah yang mendapat nama: Mu’tazilah atau Mu’tazilun (orang-orang yang memisahkan diri). Kendati makna nama itu tidak buruk (bukan berarti memisahkan diri dari kebenaran), kaum Mu’tazilah lebih senang menyebut diri mereka Ahl al-Tauhid wa al-‘Adl. Golongan uyang mempertahankan kemurnian tauhid dan keadilan tuhan.
Mereka memakai senjata logika dan filsafat sebagaimana yang digunakan pihak lawan. Bila oleh penulis modern mereka disebut kaum rasionalis islam, maka itu tidak berarti nahwa mereka hanya berpegang pada akal / lebih meningginkan akal dari wahyu; mereka sebenarnya berpegang pada keterangan akal dalam rangka menjelaskan/ membela keterangan wahyu demikian juga bila mereka disebut para teolog liberal dalam islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka tidak terikat pada al-Quran dan Sunnah; mereka liberal dalam arti tidak terikat pada pemahaman-pemahaman yang bersifat sederhana, dangkal atau harfiah yang muncul dikalangan sebagian ulama diluar golongan mereka.
Mu’tazilah mempunyai lima ajaran dasar yaitu: Tauhid, keadilan tuhan, atau posisi diantara dua posisi, janji baik dan ancaman tuhan, serta amar ma’ruf nahi munkar. Mereka sepakat menyatakan bahwa: Allah Kadim, tidak bisa dilihatdengan mata kepala, baik di dunia maupun di akhirat, sifat-sifatnya tidak lain dari Zat-Nya, al-Quran adalah ciptaanNya, ia suci dari perbuatan baik atau buruk, pasti membalas (dengan adil) perbuatan baik dengan kebaikan dan perbuatan buruk dengan keburukan. Pasti memasukkan mukmin ke dalam surga serta mengekalkan fasik dan kafir di neraka dengan azab yang lebih berat untuk yang akhir. Mereka sepakat menyatakan bahwa akal manusia sanggup mengetahui adanya tuhan, baik dan buruk. Sebelum menerima kedatangan wahyu . tetapi wajib bersyukur kepada-Nya serta wajib mengerjakan perbuatan baikdan menjauhi perbuatan buruk.[4]
kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘uzlah dengan kata kerja ‘azala, ya’zilu (mencabut, memisahkan diri)[5]. Pendirinya bernama Wasil bin Atha’ (79H/699M-139H/748M) Ia keluar dari majelis pengajian di masjid Kufah dibawah bimbingan al-Hasan al-Basri, ke pojok lain didalam masjid itu. Keluarnya Wasil didahului oleh ketidakpuasannya atas jawaban gurunya dalam masalah kedudukan mukmin yang melakukan dosa besar.
Kaum muktazilah menjauhkan diri (i’tazala) dari kesepakatan kaum muslimin pada msa-masa awal bahwa pelaku dosa besar dihukum sebagai fasik. kesepakatan atas status kefasikan itu mereka gugat setelah kaum khawarij memandang pelaku dosa besar sebagai kafir, sementara kaum murjiah menganggapnya tetap mukmin
Sejak 100H/719M secara perlahan kaum mu’tazilah mulai mempengaruhi kalangan masyarakat luas dan mencapai puncak kejayannya pada masa kekuasaan DInasti Abbasiyah tertutama pada masa khalifah al-Makmun (813-833M), al-Mu’tasim (833-842M), dan al-Wasiq (842-844M), Khalifah al-Makmun tidak segan-segan menyebarkan paham Mu’tazilah ini dengan kekerasan. bagi para ulama yang dianggap sebagai penentang paham Mu’tazilah, ia melakukan mihnah (ujian keimanan) melalui penyiksaan fisik, contohnya kepada ahmad bin Hambal (164H/780M-241H/855M) dan sejumlah tokoh sunni lainnya[6]
TOKOH-TOKOH MUKTAZILAH
Pusat aliran perkembangan terbagi menjadi dua. aliran Basra dan Bagdad. Wasil bin Ata, ia merupakan pendiri aliran Muktazilah mencetuskan paham manzilah baina manzilatain, peniadaan sifat tuhan. Amr bin Ubaid (w.145 H), Abu Huzail al-Allaf (135-235 H) ia merupakan filosof islam ia menguraikan kaidah nafyu al-Sifat, An-Nazzam (185-231 H) meneruskan paham gurunya al-Allaf, yakni mustahil Tuhan zalim pada hambanya. Karena menurut an-Nazzam perbuatan zalim adalah perbuatan orang bodoh dan tidak sempurna dan Tuhan jauh dari semua itu. Abu Usman bin Bahar Al-Jahiz (w.869) melalui tulisan tulisannya ia mendukung paham naturalisme (sunnatullah) menurutnya perbuatan manusia yang diwujudkan juga ada pengaruh hukum alam, dan Al-jubba’i (w.203H) menurutnya Tuhan berkuasa dengan esendinya bukan dengan sifat, ia adalah guru dari Abu Hasan Al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah.
Aliran Bagdad, tokoh-tokohnya antara lain Mu’ammar bin abbad memiliki pendapat yang sama dengan Al-Jahiz, menurutnya Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi accidents atau sesuatu yang datang pada benda-bendatersebut adalah hasil dari hukum alam) misal batu dilempar ke air, yang menyebabkan gelombang adalah kreasi batu tersebut dan bukan ciptaan tuhan. Bisyr al-Mu’tamir (w.210H) menurutnya anak kecil tidak dimintai pertanggungjawaban karena belum mukallaf, Abu Musa al-Murdar (w.226H) ia sangat ekstrim menuduh kafir orang yang memercayai kekadiman alquran, karena yang kadim hanya Allah, ia juga menolak Allah dapat dilihat dengan mata kepala di Akhirat. Sumamah bin Asyras (w.213H) menurutnya manusia sendiri yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya telah tersedia daya untuk berbuat. Akal mengetahui adanya baik dan buruk, akal mengetahui adanya tuhan, wahyu hanyalah sebagai konfirmasi dari akal. Ahmad bin Abi Duad (w.240H), Hisyam bin Amir al-Fuwati, ia berpendapat surga dan neraka hanya ilusi belum ada sekarang karena belum waktunya orang masuk surga dan neraka. Abu al-Husain al-Khayyat (w.300H).
Tokoh lain aliran baru ini adalah “Am ibn Ubayd (w.145/762) dan berikutnya Abu Hudayl (w.235/849) dan an Nazar (w.225/840) mereka inilah tokoh-tokoh penerus ajaran muktazilah. Aliran ini mengambil cara pemikiran filsafat hellenistik, dan menerapkan rasio/pemikir akal untuk menyelesaikan problema kefilsafatan.
Selain Muktazilah mensuplai berbagai ideologi tertentu yang berkembang di Persia dan melalui posisi sejarahnya berada antara pihak umayyah dan syiah. Sehingga selama periode tertentu aliran ini dengan mudah menjadi pandangan filsafat yang dominan dalam pemerintah. Abasiyah doktrin Muktazilah mengenai kebebasan berkehenda, dan doktrin lainnya dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk melawan pihak penguasa Umayyah, dimana pihak Umayyah mempertahankan regimnya dengan argumentasi takdir tuhan sebagaimana dikemukakan oleh kalangan tradisionalis.[7]
Daftar Pustaka
Taufik, Abdullah. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta :2002.
Nasution, Prof.Dr.H.Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia , Djambatan, Jakarta :1992.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam (ringkas). PT Raja Grafindo Persada, Jakarta:1999.
Bosworth, CE. The Encyclopaedia of Islam new edition, E.J.Brill, Leiden -New York :1993
0 Komentar