II.1
Bilingual (ثنائيُّ اللغة)
Kajian bilingual
sebenarnya sudah terjadi setelah adanya ekspansi Prancis ke Mesir. Disaat itu
bahasa Arab sebagai bahasa sumber terasimilasi penggunaannya bersamaan dengan
bahasa Prancis. Sebelum lebih jauh pemakalah menelaah kajian bilingual maka
akan menelusuri hakikat bilingual melalui tinjauan pengertiannya.
Bilingual is a
person able to use two languages equally well, or (of a thing) using or
involving two languages.[1]
Dari pengertian tersebut maka bilingual dianggap berhasil apabila seseorang
menggunakan kedua bahasa secara baik dan benar. Baik dan benarnya ditentukan
dari unsur internal bahasa itu sendiri.
Adapun Ali Khuli
memaknai bilingual adalah صِفَةٌ لمجتمع أو كتاب
أو معجم يستخدم لغتين.[2]
Agaknya Ali Khuli mencermati bilingual baik dari pengguna dwibahasa itu sendiri
atau teks yang menggunakannya. Mungkin menurutnya teks sangat penting dalam
menciptakan kebakuan dalam menggunakan dwibahasa itu sendiri.
Dwibahasa
muncul karena fungsi bahasa itu sendiri yaitu sebagai alat
komunikasi untuk mempengaruhi orang lain. Pengaruh itu kian terasa apabila bahasa asing sudah menjadi popular
digunakan di lingkungan yang ditinggalinya. Dengan demikian peranan
kedwibahasaan akan mengenal yang namanya alih kode sebagai penggunaan bahasa
yang bersamaan yaitu bahasa ibunya dan bahasa target.
II.2Bilingualism
Setelah kita membahas tentang
bilingual sebagai konteks dua bahasa. Pada sub bab ini akan dimunculkan istilah
penggunaan dua bahasa yang disebut bilingualism. Untuk lebih sistematis maka
akan dibahas bilingual dan masalah-masalah yang ada dalam bilingualism.
Secara sosiolinguistik,
bilingualism diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. [3]
Bila dilihat dari pengertian bilingualism dari sisi sosiolingustik maka
bersifat terbuka. Artinya mau menerima
dan menggunakan bahasa keduanya yang bisa digunakan kapan waktu selagi dia bersosialisasi dengan penutur bahasa
asing.
Kedwibahasaan juga dituturkan
sebagai kemampuan atau kebiasaan yang dimiliki oleh penutur dalam menggunakan
bahasa. Banyak aspek sosial, individu, pendagogis, psikologis.[4]
Kedwibahasaan tersebut mengandung keahlian penggunaan bahasa dilihat faktor
internal diri dan faktor eksternal. Karena pembicaraan bahasa asing itu
kondisional dengan proporsi lawan bicara dan ruang lingkup bicara.
Penggunaan dua bahasa itu tidak
mudah. Kadang kita mempersamakan antara bahasa sumber dengan dengan bahasa
target sebagai bahasa asing. Sehingga pembicaraan yang seharusnya konektitif
maka berubah menjadi noisy dari skala proritas yang memaksakan. Untuk itu
menggunakan bahasa kedua sebagai bahasa asing harus mengenal sisi internal
bahasa asing itu sendiri.
II.3 Alih kode (تحوُّل
اللغة)
Di dalam kdwibahasaann mengenal istilah bahasa sumber
(B1) dan bahasa target (B2). Dikatakan oleh Robert Lado “Fenomena Linguistik
yang identik dengan bahasa pertama, akan mempercepat proses belajar, sedangkan
fenomena yang berbeda akan menjadi penghalang atau penghambat.[5]
Ali al-Khuli mengatakan bahwa انتقال الشخص من لغة إلى أخرى بشكل سريع أثناء الكلام أو
الاستماع أو القرآءة أو الكتابة.[6]
Pendapat ini bisa dicermati bahwa perubahan antara bahasa ibu ke bahasa target
butuh saling pengetian antara penerima bahasa atau penyampai bahasa untuk
saling pengertian satu sama lain entah itu dalam keadaan denotatif atau
konotatif. Selain itu penutur harus bisa memahami pembicaraan teks dari segi
bahasa target.
Adapun Hymes mengatakan alih kode bukan hanya terjadi
antarbahasa, melainkan juga terjadi antara ragam-ragam bahasa dan gaya bahasa
yang terdapat dalam satu bahasa.[7]
Melihat pandangan Hymes maka dalam satu bahasa ada perbedaan di dalam
menyampaikan bahasa dilihat dari konteks ragam-ragam bahasa dan gaya bahasa.
Sehingga penutur memperhatikan bahasa pertamanya dalam memilah bahasa yang
digunakannya.
Untuk itu alih kode dapat terjadi secara reliable
antara penutur dan penerima pesan untuk
mengkontrol pesan melalui bahasa sehingga maksud dan tujuannya tercapai. Dan
tidak mengandung noisy.
II.4. Campur Kode
Istilah
campur kode terjadi pada kdwibahasaan. Karena seseorang yang memiliki
pngetahuan kosakata atau intonasi bahasa target. Nababan menuturkan bahwa dalam
situasi berbahasa formal, jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur
kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk
menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau
ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing[8]
Fasold
menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode.
Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa dia telah
melakukan campur kode.[9]Dari
pengertian tersebut dapat terdapat satu prespektif bahwa telah terjadi campur
kode dimana penut menggunakan dua bahasa secara bersamaan dalam lingkup
sepengetahuannya saja.
II. 5. Transfer
Di
dalam berbahasa tentunya pembiasaan akan menimbulkan dampak yang positif dalam
pemakaian bahasa. Karena dengan pembiasaan ada hal yang diketahui bahwa ada
persamaan dan perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa target. Pembiasaan itu
sering kali disebut transfer. Menurut Daniel Parera transfer adalah pengalihan
dari kebiasaan berbahasa sumber ke bahasa target.[10]
Adapun
transfer kebahasaan terbagi dua :
1. Tranfer Positif Kebahasaan (TPK)
Dimungkinkan apabila terdapat
beberapa persamaan antara bahasa sumber dan bahasa target. TPK ini menunjukkan
saling silang kebahasaan yang sama antara bahasa sumber dan bahasa target.
2. Transfer Negatif Kebahasan (TNK)
TNK dengan mudah
diidentifikasikan berdasarkan perbedaan dan ketaksamaan yang ada.
II. 5. Interferensi
Kemampuan menggunakan bahasa
target (asing) kadang ada sama baiknya, atau kadang bahasa kedua tidak baik
dalam pengungkapan. Hal tersebut kita bisa sebut interferensi. Adapun menurut
Osgood disebut berkemampuan bahasa yang sejajar, sedangkan yang kemampuan
terhadap (B2) jauh lebih rendah dari kemampuan terhadap (b1) disebut
berkemampuan bahasa yang majemuk.[11]
Kadang
kala kita menemui kendala dalam berbahasa asing sehingga penuturan yang
disampaikan tidak sesuai dengan kemampuan penutur asli sehingga menimbulkan
kesalahan berbahasa. Interferensi itu sendiri merupakan akibat dari perbedaan
antara dua bahasa B1 dan B2.[12]
Maka
dari itu penutur bahasa harus memperhatikan perbedaan dan persamaan antara B1
dan B2. Sehingga penyimpangan berbahasa bisa diluruskan dengan perhatian tersebut.
Adapun perhatian tersebut kepada ihwal internal bahasa. Perbedaan sistem
internal dua bahasa menimbulkan kesulitan penggunaan bahasa dan merupakan salah
satu sumber kesalahan.
[1]
Colin MCintosh, (et al), Cambridge Advanced Learner’s, Cambridge
University Press. 2013. P 144
[2]
Muhammad Ali Khuli. A dictionary of Theoritical Linguistics. Libraire Du Liban.
1982. H. 32
[3]
Abdul Chaer. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. PT Rineka Cipta : Jakarta. 2004.
h 84
[4]
Aslinda. (et.al). Pengantar Sosiolingusitik. Refika Aditama : Jakarta. H. 8
[5] Abdul Muin.
Analisis Kontrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Pustaka Al-Husna Baru. Jakarta
(2004). P.5
[6] Op.cit.
h. 275-276
[7]
Op.cit. h. 85
[8]
Op.cit. h. 87
[9]
Op.cit. h. 115
[10]
Jos Daniel Parera. Linguistik Edukasional. Erlangga (1997). H. 121
[11]
Loc.cit. H. 121
[12]
Henry Guntur Tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Angkasa Bandung
(2009). h.9
0 Komentar