Ahlu Sunnah wal Jamaah ialah sekumpulan orang yang menganut i’tiqad Nabi Muhammad Saw, sahabat-sahabat beliau. Yang mana dahulu I’tiqad nabi Muhammad dan sahabat-sahabat beliau itu telah termaktub di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul secara terpisah-pisah belum tersusun secara rapih separti sekarang.[1] Di abad ini Ahlusunnah wal Jamaah dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Karena beliau ingin menciptakan kembali sisi intelektual muslim mulai dari al-Quran dan as-Sunnah agar pemikiran manusia tidak melenceng dari sisi keberagaman secara holistik.
Penisbatan ini
bukan Abu Hasan al-Asy’ari ingin mendapatkan tempat di hati masyarakat akan tetapi paham al-Asy’ari begitu
proporsional apabila dijalankan di sepanjang masa. Banyak komentar yang
bermunculan tentang diri Abu Hasan Al-Asy’ari. As-Subki berkata “Ketahuilah
bahwa Abu Hasan al-Asy’ari tidaklah sebuah pendapat atau paham baru. Akan
tetapi, ia mengukuhkan kembali paham salaf, berjuang untuk mempertahankan
ajaran yang pernah diamalkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Penisbatan paham
akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah kepadanya itu hanya dilihat dari usahanya dalam
merumuskan manhaj yang sesuai dengan ajaran salaf. [2]
Ajaran al-Asy’ari
banyak menuntun umat manusia dengan kembali kepada khittah kepada jalan rasul
yaitu menggabunggkan universitalitas dimensi ruh dan jasad untuk tetap menjaga
eksistensi diri kepada Allah, lingkungan, dan keadaan sekitar. Adapun realitas
ini muncul ke dalam tiga pokok ajaran Asariyah yang dikatakan KH. Hasyim
Asy’ari yaitu pertama ajaran ketauhidan atau keimanan sebagai dasar yang paling
asasi dan pangkal tolak segala tingkah perbuatan ditunjukkan kepada paham
Asy’ari. Kedua, paham fiqh atau syariat Islam sebagai landasan normati bagi
segala amal- ibadah yang berhubungan secara vertical (Tuhan) dan horizontal
(sesama manusia yang mengikuti paham yang bermadzhab yang dirujukkan keada imam
empat : Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Hanafi). Paham Tasawuf
sebagai landasan sikap mental babagi segala amal perbuatan dirujukkan kepada
Abu Qasim al-Baghdadi, dan etikanya kepada Imam al-Ghazali.[3]
al-Asy’ari
memandang Islam itu begitu mudah dan bisa diterima baik bagi akal dan hati.
Melalui hasil pemikirannya, ia mengkonsepsi sifat Islam sunni yang mudah
diterima antara lain :[4]
Agama Islam itu
praktis. Praktis dalam arti kata bahwa tidak ada satupun ayat al-Quran yang
bersifat teoritis semata, tetapi ayat-ayat tersebut juga berisi petunjuk dan
ajaran yang bisa dilaksanakan dan dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Islam itu
rasional. Rasional bahwa ada tiga pokok akidah Islamiyah yang harus berdasarkan
: akal pikiran yang sehat, yaitu keesaan Allah, kerasulan Nabi Muhammad dan
konsep hidup sesudah mati.
Islam itu mudah
artinya dalam agama Islam itu tidak ada peraturan dan peribadatan yang sulit
dan rumit. Sehingga umat islam bisa melakukan peribatan dan peraturan tersebut.
Melalui konsep
tersebut penulis ingin menyimpulkan bahwasannya Islam bukan distorsi bagi diri
bagi yang ingin menganutnya. Karena distorsi tersebut timbul dari gejala
kontradiksi manusianya tersendiri yang menerjemahkan Islam itu secara
hiperbolik. Lantas sunni melalui Imam al-Asy’ari menuangkan konsepsi sifat
islam yang begitu mudah dan praktis untuk dijalani bagi umat Islam.
Dari konsepsi yang
telah dirumuskan oleh Abu Hasan al-Asy’ari maka beliau menyusun
pemikiran-pemikran secara aktualitatif dan aplikatif untuk menunjukkan bahwa
sunni itu mempunyai pendirian melalui manhaj yang shahih. Pemikiran-pemikiran
tersebut berupa sifat-sifat Tuhan, Al-Quran yang qadim, Perbuatan Manusia, keadilan Tuhan.
Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Allah mengetahui dengan I’lmu,
berkuasa dengan sifat qudrah, hidup dengan hayah, berkehendak dengan iradah,
berkata dengan kalam, mendngar dengan sama’, melihat dengan basher, dan
seterusnya. Sifat-sifat tersebut adalah azali dan qadim yang berdiri diatas
dzat Tuhan. Sifat-sifat tersebut bukanlah dzat Tuhan, bukan pula lain dari
dzat-Nya.[5] Sifat
tersebut menunjukkan penyatuan dengan eksistensinya menunjukkan kebesaran
zatnya. Sehingga manusia bisa menjadi hamba-Nya yang berjiwa ihsan dalam
melihat sifat-sifat-Nya.
Al-Asyari juga berpendapat bahwa al-Quran bersifat qadim, tidak
diciptakan. Menurutnya dalam setiap penciptaan sesuatu diperlukan kata kun
(jadilah). Jika kata kun diciptakan, tentu untuk menciptakan kata kun
diperlukan kun yang lain.[6]
Melalui pendapatnya bahwa Al-Quran bukanlah makhluk. Artinya al-Quran bukan
makhluk sebagaimana pendapat kaum mu’tazilah. Jika orang mengatakan bahwasannya
al-Quran adalah makluk berarti mereka mennyamakan Tuhan dengan patung yang
tidak bisa bertutur kata.
Prinsip aliran Asy-ariyah berpendapat bahwa perbuatan
manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk
mengujudkan. Allah menciptakan perbuatan manusia dan menciptakan pula pada diri
manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini
adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb bagi manusia.[7] Dari prinsipnya tersebut mengandung makna bahwa perbuatan manusia
harus dikendalikan dengan manusia itu sendiri. Apabila manusia bisa
mengendalikan dirinya maka dirinya akan mencerminkan perbuatan dirinya
bersesuaian dengan ketetapan Allah.
Pemikiran keadilan
Tuhan menurut Al-Asy’ari adalah tidak ada satupun yang wajib bagi Tuhan, Tuhan
adalah berkuasa mutlak. Andaikata Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam
surga, hal ini bukan berarti Dia tidak adil. Sebaliknya andaikata Tuhan
memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka maka Tuhan tidak dikatakan besifat
zalim. Dengan pemikiran tersebut maka bisa diambil satu penilaian bahwa Tuhan
melihat baik dan buruknya manusia. Artinya apabila manusia berbuat baik maka ia
akan ditempatkan yang sesuai dengan kebaikannya. Dan apabila manusia berbuat
buruk maka akan ditempatkan di tempat yang buruk pula.
[1] Achmad
Qomary, Ahlus Sunnah Wal- Jamaah Beserta Konsepsinya, Jakarta:
Wangsamerta, 2003, hlm 7
[2]
Ali Jum’ah, Menjawab Dakwah Kaum Salafi, Jakarta : Khatulistiwa Press,
2013, hlm 31
[3]
Rohinah M. Noor, KH Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam,
Jakarta : 2010, hlm 36
[4]
Op.cit, hal 51
[5] Amin,
Nurdin. Sejarah Pemikiran Islam, Jakarta : Amzah, 2012, hlm 104
[6] Op.cit,
hlm 105
[7] http://sejarah.kompasiana.com/2012/12/30/sejarah-dan-pemikiran-golongan-asyariyah-ahlu-sunnah-wal-jamaah-515141.html
diunduh pada 27 November 2013 pukul 11.31
0 Komentar