Jalaluddin Rumi atau dengan sebutan Maulana Al-Rumi, lahir tanggal 6
Rabiul Awal 604 atau 30 September 1207 M, di Balkh, yang saat itu masuk wilayah
kerajaan Kwarizmi yang beribukota Bukhara. Khawarizimi merupakan dinasti sunni
dari dinasti Mamluk. Sejak abad ke 12 M, Balkh merupakan salah satu pusat
penting kebudayaan Persia dan pusat kegiatan intelektual Islam yang amat
dibanggakan.[1]
Pada umur tiga
tahun Rumi dibawa ke Khurazan, kemudian ke Nisyapur, Iran. Selama itu bimbingan
ayahnya Muhammad Ibnu Hussain al-khatibi alias Bahaudin Walad kepadanya berupa
belajar al-Quran dan Sejarah. Ketika Rumi berumur 7 tahun, Keluarga Rumi
bertemu Fariduddin ‘Atar. Attar sangat terkesan terkesan pada Rumi kecil dan
meramalkan bahwa Rumi akan menjadi ulama besar terkemuka.[3]
Kesan beliau antara lain karena Rumi
sudah bisa menghafal beberapa surat di dalam al-Quran dan sejarah tentang
Islam. Ketika itu pula Rumi dihadiahkan kitab oleh Attar yaitu Asrar Namah. Di
dalam kitab tersebut berisikan hikmah-hikmah kehidupan yang harus diungkapkan
oleh jiwa-jiwa pecinta Tuhan.
II.3 Pemahaman Rumi terhadap Tasawuf
Agama merupakan kepercayaan atau media untuk menuju Tuhan. Biasanya
manusia tanpa agama akan kering memaknai hidup. Seperti pepohohohan yang tidak
menikmati indahnya siraman air dan pupuk. Rumi mendapat pendidikan agama
pertama kali di Anatolia sejak pertemuan dengan Fariruddin Attar. Selama dalam
pengajarannya, Attar berkata Jalaluddin Rumi akan menyalakan api cinta
ketuhanan dan menghimbau dunia.[4] Api
cinta akan tercipta apabila seseorang memasuki asma-asma Tuhannya sehigga sifat
su’ pada dirinya ditanggalkan. Dari api cinta yang menyala maka dirinya akan
menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada orang lain.
Attar’ membimbing
Rumi dengan ilmu-ilmu agama yang mencakup ilmu fiqih, hadis, usuludin, bahasa
Arab dan Sastra Arab, sejarah Islam, Falsafah.[5] Rumi juga mendalami ilmu syariat kepada Majdudin
Sana’I al-Ghazali. Setelah ilmu syariat itu terpenuhi Majdudin menambahkan
ihwal tentang tasawuf sebagai lambang penyucian jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela pada diri Manusia.
Dengan pengetahuan ilmu-ilmu tersebut Rumi mengetahui tentang
syariat Islam, dan menjalaninya dengan penuh kehati-hatian di dalam menjalankan
kehidupan. Kehati-hatian tersebut membuat Rumi berfikir apakah dengan
kehati-hatian dirinya dekat dengan Tuhannya. Karena ilmu syariah merupakan simbolisasi
zhahirnya keadaan diri dalam perjalanan manusia mengenal hukum Allah. Maka dari
itu Rumi tertarik mempelajari tasawuf sebagai ilmu yang mengenal Tuhan lebih
dekat dari biasanya. Hal tersebut setelah ia
membaca tulisan-tulisan ayahnya bahwa di dalam tulisan tersebut
berisikan bahwa betapa nikmatnya dekat dengan Tuhan melalui beberapa
tahapan-tahapan sehingga menuai tahapan mistik tertinggi, sesuatu yang sensual,
suatu cinta yang sempurna kepada Tuhan, sampai ia berada dipelukanNya, dan dia
menyadari aktivitas mencintai Tuhan ada di dalam kehidupannya.[6]
Pada Tahun 1232, ketika Rumi telah tinggal di Konya, datanglah ke
kota itu seorang sufi terkenal sufi terkenal bernama Syekh Burhanuddin
al-Muhaqqiq al –Tirmidhi. Dia mendapat sambutan yang hangat dari penduduk yang
ingin mempelajari tasawuf.. Rumi yang baru satu tahun menggantikan ayahnya
sebagai pemimpin madrasah juga tertarik dengan ilmu tasawuf tersebut. Di bawah
bimbingan Syekh Burhanuddin al-Tirmidhi, Rumi mempelajari tasawuf secara tekun
dan penuh nikmat.[7]
Pada tahun 1241 ketika ia kembali ke Konya, ia segera masyhur
sebagai guru agama dan ulama yang pengetahuan luasdan mendalam. Madrasah yang
dipimpinnya mempunyai lebih dari seribu murid. Untuk murid-murid secara umum ia
hanya mengajar ilmu fiqih dan usuluddin. Sedangkan untuk murid-murid terpilih
ia mengajarkan ilmu tasawuf, ilmu tafsir, dan fasalfah.[8]
Hal ini bukan adanya pandang bulu bagi murid-murid yang diperhatikan oleh Rumi.
Hanya saja ilmu-ilmu khusus diberikan kepada murid-muridnya yang telah mampu
pada tahap syariat agama.
Proses pendidikan pertama yang diajarkan Rumi adalah penguatan
kepada syariat agama yang mencakup aspek kognitif. Aspek tersebut meliputi
pembelajaran fiqih dan usuludin. Apabila jenjang tersebut telah dilewati maka
aspek afektif dan psikomotorik ditentukan apabila aspek kognitif sudah
terpenuhi secara maksimal. Karena aspek afektif dan psikomotorik berlakunya
pemilihan keputusan, ketentuan, dan kebijakan terhadap yang dipelajari seorang
murid. Maka aspek-aspek tersebut dimaknai oleh adanya pembelajaran ilmu
tasawuf, ilmu tasawuf, dan fasalfah.
II.5. Pertemuan dengan Guru Abadi
Perjalanan spiritual seseorang mustahil tanpa guru. Karena guru
membimbing dan mengarahkan murid untuk menjadi seseorang yang menyikapi secara
bijak apa yang telah dipahaminya sehingga kejanggalan-kejanggalan bukan menjadi
masalah formalitas padanya. Sewaktu Rumi menjadi guru, ia bertemu dengan Syamsi
Tabriz. Suatu ketika, Al-Tabriz bertanya kepada Rumi : “Apakah yang engkau ajari
kepada murid-murid-mu ?”. “Aku mengajarkan ilmu syariat.”, kata Rumi. “Apakah
tidak lebih baik anda mengajrkan tentang yang memiliki syariat itu?”, Tabriz
menyusul.[9]
Jalaludin Rumi menjadi berubah drastis, dari pecinta musik, sastra,
seni, dan ilmu kepada cinta kepada Ilahi seutuhnya. Lalu sejak itu dia
memutuskan untuk memperdalam ilmu tasawuf dengan Al-Tabriz agar dirinya bisa lebih
dekat dengan Tuhan. Pendekatan dengan Tuhan dilakukan dengan cara berkhulwat
dengan Syamsuddin al-Tabriz dalam satu kamar selama 40 hari, tanpa dimasuki
seorang pun,
Hubungan antara Guru-dan Murid, bagi Rumi merupakan hubungan
persahabatan yang penuh harum dan cinta. Dari persabatan keduanya akan
melihitkan sikap kearifan dan bijak di dalam hidup. Kisah yang tak akan mampu
di penuhi akal yang dipenuhi nafsu.[10]
Maka kisah Rumi dengan al-Tabriz banyak menghasilkan karya-karya terbaiknya
dalam mengungkapkan pentingnya guru sebagai teman keabadian. Puisi eksotiknya
ia tuangkan ke dalam bait untuk memuji gurunya.
Karena Bangga diri dan buta hati
seperti iblis, manusia ini tak lagi
memuliakan orang suci. Katanya , “Bagi Tuhan saja, Sujud Ku persembahkan”.
Padanya Adam memberikan jawaban,
“Sujud kepadaku ini untuk-Nya. Kau melihatnya berupa dua sujud karena
ketersesatan dan ketersesatan.
Ungkapan Rumi ini sangat tajam yaitu berapa banyak manusia tidak
tahu esensi seorang guru yang mengajarkan ilmu agama sehingga ketaatan kepada
guru menjadi keberpalingan. Adam dalam ungkapan tersebut mencerminkan seorang
guru Tabriz yang telah memberikannya jalan kepadanya untuk lebih dekat kepada
Ilahi. Maka tidak salah seseorang murid menghormati guru secara hiperbolik karena
guru merupakan kunci bagi yang mau dekat dengan nurullah. Begitu eratnya
hubungan seorang murid dengan guru sehingga pertemuan demi pertemuan memberikan
suasana baru bagi keduanya. Rasa tersebut yaitu memaknai bahwa keterkaitan
dengan guru bisa menyikapi hikmah-hikmat yang tersirat.
Rasa kecemburan
murid-murid Rumi kepadanya datang karena kekaguman gurunya kepada al-Tabriz..
Ketika al-Tabriz terbunuh dalam sebuah huru-hara, duka Rumi tak terlipur dan
dia menghabiskan waktu bersama musik-musik dalam mengenang guru tercinta dan
tarian mistikal.[11]
Dia mampu secara imajinatif metransformasikan ke dalam simbol tentang cinta
ilahiah tentang kerinduan Allah kepada manusia
dan kerinduan manusia kepada Allah.
II.6 Ajaran-ajaran dan Karya Rumi
Ajaran-ajaran Rumi tidak terlepas dari aqidah, syariah, dan
ma’rifat. Ajaran aqidah yang ia jalankan sebagai pemeluk Islam sejati dimana
dia dapatkan sejak ia masih kecil. Lalu aqidah tersebut beranjak kepada syariat
dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dengan beberapa guru. Sejak ia mendapatkan
pengetahuan tersebut, ia mengajarkan ilmu agama yang ia kuasai seperti tafsir
al-Quran, hadis, usuluddin, fiqih, tasawuf, bahasa dan sastra Arab, sejarah
Islam, dan fasalfah. Ilmu-ilmu tersebut merupakan ilmu zahir menurut Rumi
sehingga ia ingin lebih memperdalam ilmu bathin yang disebut tasawuf. Selain
itu Rumi mengajarkan cara mengungkapkan pembicaraan dengan puisi-puisi dan
prosa-prosa yang estetik namun mengandung kecintaan penuh kepada sang Ilahi.
Karena menurutnya puisi-puisi adalah jalan lembut untuk sampai pada hakikat
yang lembut sehingga balik kepada diri dengan lembut jua.
Dia meninggalkan
karya terbesarnya yaitu Diwan (yang terdiri dari atas empat puluh enam ribu
bait), dan al-Matsnawi ( yang terdiri dari dua puluh lima ribu tujuh ratus ribu bait). Penulisan
Matsnawi menghabiskan waktu tiga belas tahun. Di dalamnya terdapat kisah-kisah
kepahlawanan, kisah-kisah yang lain, dan perenungan falsafi yang dimaksudkan
sebagai usaha untuk menggambarkan sosok sufisme dan penafsirannya.[12]
Adapun penulisan Matsnawinya setiap kali ia mendaptkan ilham, entah itu
berdiri, berjalan, di kamar tidurnya, pada waktu siang atau malam.
Di dalam matsnawi, Rumi
ingin mengungkapkan bahwa tasawuf bukan ajaran yang menakutkan akan tetapi
dengan bertasawuf manusia akan bisa menghargai diri sendiri, diri orang lain,
ilmu, Tuhan sebagai penciptanya. Karena selama ini tasawuf dikenal dengan agama
berbungkus simbol semata. Akan tetapi dengannya kita bisa tenang, damai, dan
mencapai derajat kepatuhan dimata Tuhan.
Dari bebarapa ajaran Rumi, pemakalah melihat bahwa ia menganut paham
tasawuf falsafi. Secara
garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran
filsafat yang telahmempengaruhi para tokohnya. Kaum sufi falsafi menganggap
bahwasanya tiada sesuatupun yang wujudkecuali Allah, sehingga manusia dan alam
semesta, semuanya adalahAllah. Mereka tidak menganggap bahwasanya Allah itu zat
yang Esa, yangbersemayam diatas Arsy.Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya
Tuhan dengan makhluknya,setidaknya terdapat beberapa term yang telah masyhur
beserta para tokohnya yaitu ; hulul,wadah al~wujud, insan kamil, wujud mutlak.[13]
Hulul adalah
satu konsepsi dan dasar teosofis yang dirintis oleh Al-Hallaj.
Menurutnya Tuhan mungkin menjelma kedalam insan, laksana bersatunya
api dengan besi diwaktu sangat panasnya, apabila si insan telah sanggup
menfanakan dirinya kedalam tuhan dengan pensucian roh. Waktu Roh Allah masuk
ketbuhan insan, maka dikala itu segala perbuatan dan iradat insani tadi menjadi
perbuatan dan iradat tuhan Allah. Tegasnya insane ain Allah atau allah ain
insani. Apa lagi pernah pula ditegaskannya bahwa manusia pada hakekatnya adalah
tuhan, sebab insane dicipta oleh tuhan menurut surahnya sendiri. Itulah sebabny
kata beliau makanya tuhan memerintahkan kepada malaikat agar sujud kepada adam.
Istilah wahdah
Al-wujud sangat dekat dengan pribadi Ibnu Arabi,sehingga ketika menyebut
pemikiran Ibnu Arabi seakan-akan terlintas tentang doktrin wahdah Al-wujud
sebenarnya wihdatul wujud bukan penyebutan aari ibnu arbai sendiri melainkan
sebutan yang dilontarkan oleh musuh bebuyutannya yaitu Ibnu taimiyah.
Pengertian
ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi adalah; ittihad adalah
penggabungan antara dua hal yang menjadi satu.Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang
dimana didalamnya terjadiproses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini
berasal dari katawahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi ittihad
artinya bersatunya manusia dengan Tuhan.
Adapun konsep
Insan Kamil yaitu menjadi manusia yang sempurna dengan tidak terlepas dengan
zat Allah. Artinya terus-menerus melakukan ibadah, diamnya menjadi ibadah,
geraknya ibadah, perkataannya ibadah, segala kegiatannya adalah ibadah. Dari
efektifitas dan eksitas seseorang di dalam hidup hanya untuk beribadah maka
pancaran iluminasi menjadi dekat dan dekat[14]
Wujud mutlak
adalah maqam penyingkapan Esensi Hakiki, penyingkapan seseorang
dari selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan hilangnya segala
selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah mereka yang melampaui
penyaksikan kehadiran Allah dalam perwujudan-perwujudan beragam. Tidak ada
sesuatupun kecuali Dia. Semua adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan kepada-Nya.
Tanda kemusnahan di dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang
dijelaskan Allah dalam firman-Nya.[15]
Hulul pada diri Rumi yaitu bagaimana cara mengenal asmaul husna
sebagai nama-nama Tuhan yang baik. Dari pengenalan itu Rumi akan mencoba
menjalankan asma-asma Tuhan tersebut di dalam kehidupan di dunia sehingga
perjalanan dirinya seolah merupakan petunjuk dari cahaya ilahi. Wahdatul wujud
Rumi terjadi jika ia melakukan tarian-tarian darwisnya. Tarian-tarian yang
diiringi dzikir-dzikir kepada keesaan Tuhan. Di dalam zikir-zikir tersebut
menimbulkan penyelaman spiritual yang amat dalam sehingga ucapan dirinya
terasimilasi dengan perbuatan dan perkataan Tuhan. Ittihaad pada diri Rumi
ketika refleksi diri memasuki ekstasi yang tajali, dalam keadaan tersebut dia
menyingsingkan tulisannya berbentuk puisi dan prosa yang mencerminkan Tuhan
adalah hakikat terbaik di dalam hidup ini. Wujud mutlak pada diri Rumi terjadi
jika akal dan perasan dirinya memiliki persamaan kosep dengan Tuhan sehingga
kualitas dirinya sama dengan kualitas presepsi-Nya.
II.7 Rumi dan tarekat Maulawiyahnya.
Thariqah pada
awalnya mengacu pada silsilah sufi yang berkaitan dengan seorang syekh kemudian
melalui proses pelembagaan yang panjang, thariqah bergeser artinya menjadi apa
yang disebut oleh orang barat “persaudaraan” atau ordo “sufi”.[16] Dzun nun Al-Mishri
berperdapat bahwa perjalanan tersebut melalui sejumlah “perhentian” (Maqamat,
bentuk maqam) yang jumlah dan namanya berubah-ubah. Perhentian disini adalah
bagaimana seorang sufi berkesadaran
bahwa perhentian terakhirnya ke pangkuan ilahi.
Munculnya tarekat yaitu adanya
seorang tokoh yang mempunyai keilmuan tasawuf yang cukup tinggi. Dari
keilmuannya tersebut, tokoh tersebut membuat jalan hakikat menuju Tuhan dengan
cara bertarekat.[17]
Tokoh tersebut juga memiliki peranan yang tinggi di masyarakatnya sehingga
pengaruh dirinya amat besar atas masyarakat suatu negeri. Pengaruh tersebutlah
yang membuat masyarakat menganggap tokoh tersebut telah menjadi wali atau
pelindung umat.
Tarekat sufi yang telah didirikan
Rumi Ialah Maulawiyah, yang anggota-anggotanya di barat dikenal sebagai
“darwis-darwis yang berputar” sebuah metode konsentrasi. Ketika seorang sufi
mengambil gerakan-gerakan berputar, dia merasakan batas-batas dirinya larut
bersamaan dengan larutnya bersamaan dengan larutnya ke dalam tarian itu.
Mengantarkan ambang peniadaan diri (fana).[18] Pada tarian darwis bukan
hanya dalam bentuk tarian saja akan tetapi ada music-musik khusus untuk
mencapai ekstase diri (keadaan tidak sadar). Tarian itu memberi pelajaran bagi
manusia untuk hidup bergerak di dalam pencarian kepada Tuhan. Pergerakan
tersebut mengandung nilai filosofis yang berarti pergerakan-pergerakan tersebut
harus mencapai keadaan fana pada diri. Dari keadaan fana tersebut seorang
darwis akan merasakan kelembutan sentuhan Tuhan dan bisa melihat realitas diri
yang jauh dari harapan Tuhan.
[1]
Jalaludin Rumi, Diwan Syamsi Tabriz, Jakarta: Jalasutra, 1977, hlm 1
[2]
www.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Balkh diunduh pada 5 Desember 2013, Pukul 12:48
[3]
Op.Cit, hlm 3
[4]
Laily Mansur. Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: 1996, hlm 207
[5]
Op,cit, hlm 5
[6]
Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api, jakarta: Mizan, 2005,
hlm 31
[7]
Op.cit, hlm 5
[8] Op.cit, hlm 5
[9]
Op,cit, hlm 208
[10]
Jalaluddin Rumi, Kisah Keajaiban Cinta, Jakarta: Kreasi wacana, 2003,
hlm xii
[11]
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Jakarta:Mizan, 2009, hlm 319
[12]
Husyain Ahmad, Seratus Tokoh dalam Agama Islam, Jakarta: Rosnida, 1997,
hlm 211
[13]
Ibid.
[14]
Muhammad Alwi, Insan Kamil, Bina Ilmu: Surabaya, hlm 227
[15] http://netlog.wordpress.com/category/fana-segalanya-adalah-bayangan/
diunduh pada 8 Desember 2013, jam 1.03
[16]
Op.cit, hlm 26
[17]
Heri Chambert (et,al),Ziarah dan Wali dalam Islam, Jakarta: Serambi, 2007, hlm 14
[18]
Op.cit, hlm 319
0 Komentar