Tasawuf
memang menjadi perdebatan di dunia Islam. Ibnu Taimiyah salah satu yang
mempermasalahkan dengan kemunculan tasawuf. Karena baginya keberagamaan yang
murni datangnya dengan menjalankan ibadah mahdah saja. Sehingga pemahaman ajaran tasawuf menjadi ambigu. Benar salahnya bisa kita
nilai dengan pembahasan tentang kajian terhadap kosmos tasawuf itu sendiri.
Asal
kata tasawuf dari صُوْف yang berarti pakaian kasar dari bulu domba. Karena
orang-orang tasawuf kala itu memakai pakaian yang berasal dari bulu domba.[1] Melalui
pengertian tersebut, pemakalah bisa ambil pemikiran bahwa atas dasar kata
tersebut tersirat bahwa kasar pakaian tersebut menunjukan bahwa tasawuf
mengajarkan manusia untuk hidup sederhana dan jauh dari kesan ketamakan kepada
dunia.
Adapun tasawuf menurut Habib Zein bin Sumaith yaitu keluarnya
akhlak tercela lalu masuk menuju akhlak mulia.[2]
Pengertian ini menunjukan bahwa tasawuf merupakan satu pembersihan diri dari
sifat-sifat mazmumah dan merubahnya dengan sifat-sifat mahmudah dengan satu
program kemauan pada diri manusia itu sendiri. Cara merubah akhlak buruk ke
ahlak yang baik memerlukan satu proses dimana manusia merasa jenuh dengan
keadaan bathin yang monoton lalu pelan-pelan akan menuju bathin yang
merasa nyaman jika diikti akhlak yang
baik.
Syekh Abdul Qadir
al-Jilani mengatakan
bahwa tasawuf terdiri atas empat huruf yaitu
ta, shad, waw, dan fa. Huruf ta
berarti tawbah. Taubat adalah langkah pertama dalam perjalanan menuju Allah.
Taubat terbagi menjadi dua bagian, yaitu zahir dan bathin. Langkah zahir dalam
bertaubat dilakukan melalui perkataan, perbuatan, dan perasaan, yaitu dengan
cara membersihkan diri dari dosa dan noda, lebih banyak mentaati perintah
Allah, berbuat dan berniat sesuai dengan ketentuan Allah swt. dan semua ini
tidak akan berlaku tanpa terlebih dahulu muncul sifat khawf (takut), dan raja’
(harapan) dalam diri orang yang menjalani tasawuf. Shad berarti Shafa yang
berarti damai dan sentosa. Adapun Shafa ini terbagi 2 bagian yaitu pertama
langkah menuju pembersihan hati, sedangkan kedua menuju pusat rahasia. Sedangkan
Waw berarti Wilayah yaitu keadaan hening yang tergantung pada kesucian bathin
seseorang. Fa berarti fana yaitu pengosongan diri dari sifat kebathilan dan
menggantinya dengan sifat-sifat ketuhanan.[3]
Melalui pengertian
tersebut maka tasawuf adalah ajaran yang
membutuhkan rasa penyesalan atas segala dosa yang terjadi pada seorang insan
kepada Tuhannya. Lantas apabila mempunyai rasa bersalah pada orang lain maka
permintaan maaf adalah cara yang pantas baginya dalam rangka pembersihan diri
dan bathin manusia tersebut. Ketika pembersihan hati sudah terlaksana maka
rahasia-rahasia Illahi akan terungkap dengan sendirinya.
Pengertian-pengertian
tersebut memberikan spirit kepada manusia untuk memiliki kecerdasan ruhani di
dalam diri. Kecerdasan ruhani adalah potensi yang ada dalam setiap diri seorang
insan, yang mana dengan potensi itu ia mampu beradaptasi, berinteraksi dan
bersosialisasi dengan lingkungan rohaniahnya yang bersifat gaib dan
transcendental, serta dapat mengenal dan merasakan hikmah dari ketaatan beribadah
secara vertical di hadapan Tuhanya secara langsung.[4]
Memang
ketika manusia asyik di dalam beribadah kepada Tuhannya segala urusan
duniawiyah terasa terseret ombak khusuk.
Keadaan khusuk inilah arti dari jiwa sosialisasi (pengenalan) diri kepada
Tuhannya. Ketika Tuhan sudah mengenal hamba yang ingin mengenal-Nya lebih dalam
maka Tuhan ingin mengenal hambanya juga. Sebagaimana sabda Rasulullah :
مَنْ أَحَبَّ لِقاَءَ الله أَحَبَّ اللهُ لِقاَئُهُ وَ
مَنْ لمْ يُحِبُ لِقَاءَ الله لَم يحِبُّ الله لقائهُ
“Barang siapa yang
telah mencintai pertemuan dengan Allah, niscaya Allah mencintai pertemuan
dengannya. Dan barangsiapa yang tidak meincintai pertemuan dengan Allah, maka
Allah tidak mencintai pertemuan dengannya.” (HR Bukhari dari Ubadah ibn Shamit
Ra.)
Tasawuf
menurut Ignaz Goldhizer tasawuf sebagai produk samping dari persinggungan Islam
dengan tradisi agama-agama yang lebih tua di sekelilingnya. Salah seorang yang
mendukung teori ini adalah Margaret Smith. Dalam bukunya yang melacak sejarah
mistisisme di kawasan timur dekat dan tengah.. Orientalis asal inggris ini
berusaha meyakinkan bahwa ajaran sufi (tasawuf islam) itu sangat
dipengaruhi—untuk tidak mengatakan fotokopi dari ajaran mistik Kristen. [5]
Disini
pihak orientalis ingin memandang bahwa jalan tasawuf merupakan plagiat dari
kepercayaan (panteisme) dan agama sebelumnya. Artinya mereka menginginkan bahwa
seorang muslim tidak boleh mendekati tasawuf sebagai jalan keberagamaannya.
Karena mereka menganggap jika muslim dekat dengan Tuhannya maka semankin
mempersempit orientalis untuk mempengaruhinya dalam memisahkan diri dengan Tuhan. Namun pendapat tersebut dibantah oleh
Annimarie Schimmel yang mengatakan bahwa benih benih tasawuf bertaburan di
dalam Al-Quran. Kebenaran ini dibuktikan dengan adanya puluhan ayat dalam
Al-Quran yang mengajarkan zuhud, zikir, ridha, tawakal, mengutamakan
kebahagiaan akhirat, dan pertemuannya dengan Allah.[6]
[1]
Siradjuddin Abbas. 40,Masalah Agama Jilid 2, Jakarta: Pustaka Tarbiah, 1970,
hlm 33
[2]
Zein Sumaith, Thariqah Alawiyah, Jakarta: Nafas, 2009, hlm 489
[3]
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Rahasia Sufi, Jakarta: Diadit Media, 2009, hlm 88
[4]
Hamdani Bakran, Prophetic Intelligence, Jogjakarta: Islamika, 2004, hlm.613
[5]
Syamsuddin Arif, Orientalis &
Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm 59
[6]
Op.Cit, hlm 63
0 Komentar