Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat
oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama.[1]
Pengertian ini menunjukan bahwa individu-individu harus tunduk pada peraturan-peraturan yang ada
di lingkungan hidup mereka. Adapun peraturan-peraturan
tersebut ada yang tertulis dan tidak tertulis. Kedua tipologi itu harus ditaati
agar kehidupan bisa dijalani bersama.
Masyarakat di dalam Ensklopedia Indonesia yaitu menunjukkan suatu
tata kemasyarakatan tertentu dengan ciri sendiri (indentitas) dan suatu otonomi
(relatif), seperti masyarakat barat, dan masyarakat Amerika.[2]
Acuan masyarakat pada pengertian ini yaitu karakter individu-individu yang
dipengaruhi letak geografis. Melalui karakter inilah arbitrase
(penentuan-penentuan) hukum bisa
disesuaikan layak tidaknya digunakan pada masyarakat tersebut.
Dari definisi-definisi diatas bahwa penulis mengambil kesimpulan
bahwa masyarakat harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1. a. Harus
ada sekumpulan manusia
2. b.Telah
bertempat tinggal dalam waktu lama di daerah tertentu
3. c. Adanya
aturan-aturan yang mengikat mereka untuk menuju kepentingan bersama.
Bila kita melihat sejarah bahwa masyarakat Arab di masa
jahiliyah terbagi dua macam masyarakat
badui dan masyarakat hadar. Masyarakat badui tinggal di padang pasir.
Masyarakat hadar tinggal di desa dan
kota-kota. Di kota di bangun rumah-rumah dari batu-batu dan gypsum.
Sedangkan di desa dibangun dari lumpur dan tanah liat.[3]
Dari latar historis tentang masyarakat jahili diatas bisa diambil
satu prespektif kehidupan masyarakat badui terlihat sederhana
dan konservatif. Sisi kesederhanaan masyarakat badui itulah prinsip apa adanya dan ditambah pembicaraannya
kadang agak kurang sopan. Sedangkan
masyarakat hadar yaitu bisa dikatakan masyarakat yang mempunyai kualitas hidup
yang lebih baik. Karena itu masyarakat hadar umumnya diduduki oleh qabilah-qabilah
dari kaum bangsawan.
Namun Ibnu
Khaldun berpandangan bahwa perbedaan
ihwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara mereka memperoleh penghidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak
lain hanyalah untuk saling membantu
dalam memperoleh penghidupan, dan untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang sederhana, sebelum mereka mencari kebutuhan yang tinggi.[4]
Titik terberat
bagi suatu negara bahwa ada kesenjangan antara masyarakat kota dan masyarakat
desa. Oleh karena itu Rasulullah meletakkan asas-asas penting bagi suatu negara
agar kesenjangan tersebut tidak ada satu sama lainnya . Asas-asas tercermin pada tiga
faktor:[5]
·
Pembangunan
masjid
·
Mempersaudarakan
sesama kaum muslimin secara umum serta
kaum muhajirin (masyarakat desa) dan kaum anshar (masyarakat kota) secara
khusus
·
Membuat
perjanjian (dustur) yang mengatur kehidupan sesama muslimin dan menjelaskan hubungan mereka dengan
orang-orang diluar Islam secara umum dan dengan kaum Yahudi secara khusus.
Ketiga asas ini merupakan cara menciptakan keharmonisan antara
masyarakat desa dan kota. Terkadang
masyarakat kota yang sudah
mengalami modernisasi menganggap masyarakat desa hanya mampu hidup apa
adanya. Namun disini Rasulullah menginginkan bahwa perbedaan diganti oleh
saling membantu satu sama lain. Dengan
demikian persatuan dan kesatuan bisa terlaksana dengan utuh.
Klimaksnya dari aspek-aspek tersebut yaitu masjid sebagai sarana masyarakat
kota dan desa berbondong-bondong untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Pelaksanaan kesatuan masyarakat berlanjut hingga ke zaman Imam
Syafii, setiap dari mereka berkumpul untuk menyatukan presepsi, yaitu
mendirikan negara Islam. Mereka berfikir bahwa mereka satu tubuh, satu ruh,
satu visi, dan satu pandangan. Sehingga tercipta bertekad yang kuat yaitu
membawa panji umat islam, yaitu dengan ruh persaudaraan Islam.[6]
Persaudaran muslim melalui
masyarakat perlu dibentuk. Adapun pembentukannya melalui upaya kedisiplinan.
Kiat-kiat untuk mendisiplinkan masyarakat ada empat kiat yang dapat diterapkan demi mencapai tujuan. Pertama, keluarga
sebagai unit kecil di dalam masyarakat yang berperan penting untuk membentuk
watak anak-anak di rumah. Bimbingan kedua orangtua terhadap putri-putrinya Kedua, melalui pendidikan, baik formal maupun
nonformal, guru (sekolah umum) dan ustadz atau kyai – yang memiliki kedudukan
sentral sebagai pembimbing murid dan paraa santrinya, dapat sangat efektif
menanamkan kebiasaan tertib sosial dan hukum. Ketiga, adalah lingkungan
masyarakat- dimulai dari kehidupan antar tetangga di kampung saling
berkepentingan menjaga ketertiban, keteraturan, kelancaran, keamanan, dan
keselamatan bersama. Keempat, negara sebagai pengayom masyarakat memberikan
bimbingan dan pengawasan secara nasional terhadap semua proses pendidikan
disiplin di semua strata masyarakat itu.[7]
[1]
Quraish Syihab, Op.cit, hlm. 319
[2] Hassan
Shadily (et.al), Ensklopedi Indonesia Jilid 4, Jakarta: Ichtiar Baru,
1985, hlm. 2166
[3]
Syafruddin Tajuddin (et.al), al- Adabu al-Arabiy fi u’surihi al-Mukhtalifah,
Jakarta: UNJ, 2011, hlm. 32
[4]
Ibnu Khaldun, Muqqadimah, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2001, hlm. 174
[5]
Said Ramdhan Al-Buthi, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robani Press, 1999,
hlm. 185
[6]
Achmad Nachrowi Al-Indunisi, al-Imam as-Syafii fi mazhabihi al-Qadim wa
al-Jadid, Jakarta, 1994, hlm. 101
[7]
Mochammad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas, Jakarta: Gema Insani,
2002, hlm 246
0 Komentar