Tawasul secara etimologis yaitu seseorang yang mencari
ridha Allah swt. melalui seseorang yang dekat kepada-Nya dengan ikatan bathin
yang suci (Shabir, 2008: 1075). Sedangkan tawasul secara istilah yaitu
bagaimana mendekatkan diri pada Allah agar mencapai keridhaan, dan memperoleh
pahala dari-Nya (Ali Juma’h, 2006: 39). Melalui pengertian tersebut ini maka bisa diambil satu perspektif bahwa tawasul
itu media untuk menghubungkan Allah swt. Adapun manusia untuk menuju Allah melalui perantara amal shalih dan orang-orang shalih.
Perihal
tawasul ini termaktub dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 35 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah)
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Qs al- Maidah/ 5: 35)
Ayat tersebut menganjurkan bahwa hendaknya manusia
mencari perantara untuk bisa selalu mengingat-Nya. Adapun perantara bisa
diilhami dengan shuhbah. Shuhbah yang berarti pertemanan atau pergaulan dengan orang-orang
yang memahami agama dan mengenal Allah. Maka dari itu Ibnu Qayyim al-Jauziyah
mengatakan bahwa apabila seorang hamba hendak mengikuti seseorang, maka
sebaiknya ia memperhatikan apakah orang tersebut ahli zikir atau termasuk orang
yang lalai, dan apakah orang itu memutuskan sesuatu berdasarkan hawa nafsu dan
termasuk orang lalai, maka dia telah melampaui batas (Isa, 2005:33).
Imam Taqiyyudin al-Subki dalam kitab Syifa al-Saqaam
berkata, “Ketahuilah, bahwa hukum bertawasul, meminta tolong, dan meminta
syafaat kepada Rasulullah saw. melalui Allah Ta’ala adalah boleh dan baik.
Boleh dan kebaikan ini termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti oleh
setiap pemeluk agama ini.perbuatan ini juga termasuk perbuatan para nabi,
rasul, dan ulama salaf, orang-orang salih, para ulama, dan kaum muslimin yang
masih awam (Jum’ah, 2013: 106) .
Tawasul menurut Muhammad al-Maliki (w. 1425 H) yaitu
salah satu jalan dan pintu dari pintu-pintu untuk menuju Allah swt. Adapun
tujuan asalnya yakni Allah swt, dan orang yang ditawasulkan sesungguhnya dia
hanya media dan perantara untuk lebih dekat dengan Allah swt, dan barangsiapa
orang yang yakin selain dari hal
tersebut maka dia akan jatuh syirik (al-Maliki, 1993: 59).
Perwujudan dari tawasul ini agar diterima semua hajat
dan doa-doa seseorang oleh Allah. Ikhwal diterimanya doa seorang hamba tersebut
terkadang lambat. Disinilah kepercayaan masyarakat timbul untuk mendekati para
wali-wali Allah sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah yang dijadikan
perantara untuk diijabahnya doa tersebut. Adapun wali-wali Allah yang dimaksud
ialah rasulullah, para shiddiqin, dan shalihin.
Keterangan di atas memberikan perspektif bahwa bertawasul pernah dilakukan oleh nabi,
rasul, dan para ulama-ulama shalih
sebagai penghormatan kepada orang yang dipercaya mereka lebih faham dan
mengerti di dalam pengamalan ilmu dan derajatnya lebih tinggi dimata Allah.
Sebagaimana Hadis nabi Muhammad bersabda, “Ketika nabi Adam melakukan kesalahan
dan ia berkata: Wahai Tuhan! Saya memohon dengan kemuliaan Nabi Muhammad maka Engkau ampuni aku, maka
Allah berkata : “Wahai Adam! Bagaimana engkau tahu nama Muhammad sedangkan aku
belum menciptakannya? ”Lalu Adam berkata: Wahai Tuhan Ku! sesungguhnya Engkau ketika menciptakan ku dengan kekuasaanmu dan
engkau meniupkan ruh ke jiwaku dari ruhmu kemudian aku mengangkat kepala ku
maka aku melihat sekitar arsy tertulis Lailaha Ila Allah Muhammad Rasulullah,
maka aku mengetahui bahwasannya Engkau
tidak menyandingkan dengan nama engkau
kecuali aku mencintai makhluk yang kau cintai, maka Tuhan berkata : “ Engkau
benar wahai Adam, bahwa dia (Muhammad)
makhluk yang berhak untuk Ku cintai, berdoalah kepada Ku melalui kemuliaannya
maka Aku ampuni engkau. Jika bukan karena Muhammad Aku tidak ciptakan engkau ![1]
Hadis di atas memberikan kekuatan bahwa tawasul itu dalam
rangka memohon kepada Allah agar permintaannya dikabulkan. Akan tetapi
permohonan berupa doa yang diikuti dengan orang yang dicintai oleh Allah.
Orang-orang yang dicintai Allah antara lain Nabi Muhammad, sahabat-sahabatnya,
keluarganya, dan para wali-wali Allah. Karena kecintaan mereka kepada Allah
melebihi dari kecintaan kepada istri dan anak-anaknya.
Adapun Yusuf Khothir membagi dua jenis tawasul yaitu istighasah
dan istia’nah. Istighasah adalah permintaan pertolongan kepada seseorang yang
memiliki pandangan hakikat yaitu pandangan tersebut kepada Allah swt., atau
Allah memberikan kepada mereka kekuatan dan kelebihannya yang kemampuan
tersebut sebagai pemberi pertolongan, dan mereka itu adalah para nabi dan para
awliya Allah (Khotir, 1999: 81) .
Istianah yaitu permintaan bantuan kepada seseorang
yang memiliki pandangan hakikat yaitu pandangan Allah swt. atau Allah telah
memberikan kepada mereka kebaikan dan kekuatannya yang kemampuan tersebut
sebagai pemberi bantuan, mereka itu adalah para nabi dan awliya (Khotir, 1999:
81).
Istianah dan istigasah adalah dua istilah yang mirip
secara maknawiyah. Inti kedua istilah
tersebut mengacu pada permohonan pertolongan kepada Allah melalui seseorang
yang sudah mempunyai kedekatan (qurbah) kepada Allah. Sehingga Allah memberikan
kekuatan dan anugerah kepadanya sebagai perantara untuk tercapai apa yang diinginkan
dalam doa tersebut. Maka dari itu
sebelum kita meminta pertolongan tersebut maka memastikan betul bahwa orang
tersebut menjaga Allah di setiap langkahnya.
Aidh al-Qarni memberikan gambaran bahwa seseorang yang
menjaga Rabbnya mempunyai tanda-tanda khusus yaitu memelihara shalatnya dan
menjaga anggota tubuhnya. Adapun penjagaan anggota tubuh meliputi penjagaan
hati dari kekeliruan dan hawa nafsu, penjagaan lisan dengan selalu menyebut
dzikir, penjagaan pendengarannya dengan mengalihkan pendengarannya dari hal
maksiat ke pendengaran terhadap kitab Allah, menjaga pandangan dari segala yang
haram seperti wanita dan gambar-gambar porno, menjaga perut dari makanan dan
minuman yang haram (al-Qarni, 2001: 148).
Namun, pernahkah rasulullah bertawasul. Imam Thabrani
di dalam kumpulan hadisnya, dan dikeluarkan Ibnu Hibban di dalam shahihnya dan begitu
pula Hakim meriwayatkan hadis tersebut dari Anas bahwasannya dia berkata,
“Tatkala Fatimah binti Asad atau ibu
dari Ali bin Abi Thalib wafat, saat itu Nabi berziarah kepadanya, adapun bunyi
dari hadis tersebut: Tatkala kuburannya (Fatimah binti Assad) sepi, Rasulullah
berziarah dan memperhatikan kearah kuburan tersebut dan berkata,
اللهُ
الَّذِيْ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ، وَ هُوَ حَيُّ لاَ يَمُوْتُ، إغْفِرْ لأُِمِّي فَاطِمَةَ
بِنْتِ أَسَد، وَ لَقَنَهَا حَجَتَهَا، وَ وَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا، بِحَقِّ
نَبِيِّكَ وَ الأَنْبِيَاءَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي فإِنَّكَ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن
“Allah yang menghidupkan dan
mematikan, dan Dia yang maha hidup tidak mati, ampunilah Umi Fatimah binti
As’ad, lalu rasulullah mentalkinkannya, semoga Allah meluaskan kuburnya dan
menempatkannya di tempat yang layak, dengan keanggungan nabi engkau dan para
nabi yang ada sebelumku maka sesungguhnya engkau maha pengasih dan penyayang”
(Musa, 1985: 1948).[2]
Ini menjadi hal menarik bahwasannya nabi Muhammad yang
bergelar habib Allah masih bertawasul kepada para nabi sebelumnya. Hal tersebut
merupakan sikap tawadhu yang ditunjukkannya.
Disebabkan nabi-nabi lain juga
mempunyai kedudukan di sisi Allah. Seperti nabi Musa yang mempunyai julukan
kalim Allah, nabi Ibrahim yang bergelar khalil Allah, dan nabi Isa yang
bergelar ruh Allah; mereka membawa risalah kalimat tauhid. Maka nabi Muhammad
terus mengenang dan menghormati perjuangan mereka lewat tawasul tersebut.
0 Komentar