Dia
bernama Abdullah bin Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf. Dia lahir pada
sepuluh yang pertama pada bulan Dzulhijjah, 811 H, dan wafat pada usia 69 tahun
(sekitar tahun 880 H). Dia mendapakan khirqah shuffiyah dari Syaikh Umar
al-Muhdhar, yang masih pamannya sendiri.
Dia
berkata, “Pamanku, Umar telah memberiku tiga tangan (yakni suatu ijazah
pengamalan suatu ilmu yang dia peroleh dari pamannya dengan jalan mukasyafah).
Pertama, dari Nabi Saw, dengan jalan al-Kasyf. Kedua, dari Syaikh Abd
al-Rahman. Ketiga, dari seorang yang termasuk rijal al-Ghaib.
Dia
dijuluki al-Ai’darus atau Al-Aitarus, kata ini berasal dari kata al-Atrasah, yang
mempunyai arti kuat dan bersemangat, yang merupakan salah satu sifat singa. Dia
adalah salah seorang sufi pada masanya. Karena sifatnya yang kukuh dan
bersemangat dalam ibadah, ayahnya, Syaikh Abu Bakar al-Syakran,menjulukinya
al-Aidarus dan nama julukan itu sendiri juga mempunyai arti tokoh para sufi.
Syaikh
al-Aidarus sangat rendah hati hingga dia sendiri tidak melihat dirinya lebih
baik daripada anjing dan binatang-binatang ciptaan Allah Swt. Selain itu Dia
selalu membawa sendiri barang beliannya di pasar, dan tidak pernah mau bila
salah seorang murid atau lainnya berusaha untuk membantunya. Bahkan hingga
akhir hayat ibunya, dia selalu merawatnya dengan baik dan mengambilkannya air
setiap hari meskipun kadang-kadang dari tempat yang sangat jauh, sedangkan dia
sebenarnya dapat menyuruh orang lain, dari pengikutnya, untuk melakukan itu.
Dia
belajar tasawuf dari Ayah dan Pamannya, Syaikh Umar Muhdar. Dan sudah terbiasa
untuk mengadakan mujahadah al-Nafs sewaktu umur enam tahun. Pernah dalam
muhajahadah al-Nafsnya hanya makan 7 butir kurma setiap hari dalam dua tahun,
dan hanya beberapa malam dia makan lebih dari itu karena ibunya membesuknya
sambil membawa makanan. Dia makan pemberian ibunya hanya karena dia tidak mau
menyinggung perasaan sang Ibu.
Selain
belajar kepada ayah dan pamannya, dia juga belajar kepada tokoh-tokoh Hadramaut
pada masa itu, seperti Sayyid Muhammad bin Umar Ba’Alawi dalam ilmu Al-Quran,
al-Faqih Sa’ad bin Ubaidillah bin Abu U’baid, al-Faqih Ali bin Muhammad bin Abu
Ammar, dan lainnya. Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Kibrit al-Ahmar.
Silsilah Syaikh Al-Aidarus dalam mendapatkan khirqah shufiyyah sama sebagaimana
pamannya, Syaikh Umar al-Muhdar, dan kakeknya, Syaikh al-Saqqaf.
Syaikh
al-Aidarus, sebagaiman para salaf Ba’Alawi lainnya, sangat tawadhu dan tidak
mencintai popularitas. Seandainya mereka popular, itu hanya karena keutamaan
yang Allah berikan kepada mereka. Syaikh al-Aidarus pernah berkata pernah
berkata, “Mencium tangan bagiku terasa sebagai tamparan untukku, dan mencium
kaki bagiku terasa sebagai pencongkelan mata untukmu.”
Anak
syaikh Al-Aidarus, Syaikh bin Syaikh al-Aidarus, menggambarkan tawadhu dan
khumul ayahnya, dalam bait syairnya yang berbunyi :
Oh! Seandainya tiada orang mengenal kami, dan tak
seorang pun mengetahui kami. Oh! Seandainya kami tidak pernah dilahirkan oleh
pendahulu kami.
Akan tetapi, Yang Mahabenar Allah dengan anugrah dan
keutamaan-Nya telah menampakkan kami dan dan memberikan semua beban di atas
kami, baik kami dikenal atau tersembunyikan.
Syaikh al-Haddad sendiri menyebutnya
sebagai sulthan bagi para quthb, sebaimana bait di bawah ini :
Syaikh al-Quthb al-Aidarus adalah pemimpin semua
makhluk. Adapun Nur al-Din, saudaranya, seorang Syaikh yang luas
(pengetahuannya).
0 Komentar