Ketika di dalam kesendirian,
timbul pertanyaan adakah yang berharga dalam diri kita. Hak hidup kita, hak
bernafas kita, hak melihat kita, dan hak yang melekat dalam diri kita datang
karena tanda cinta Tuhan kepada diri kita. Kecintaan Tuhan terhadap hamba-Nya
begitu dekat. Namun hati kita belum mampu mengukur nikmat Tuhan yang begitu
besar. Jika ingin melihat nikmat Tuhan maka bersihkan hati sebagai cermin untuk
mengungkap hijab antara manusia dan Tuhan-Nya.
Air yang mengalir ke hulu, waktu
yang silih berganti menandakan kekuasaan Tuhan patut disyukuri. Andai kata
waktu ini terhenti sedetik manusia akan menitihkan air mata. Tatkala nikmat
yang melekat dalam diri manusia dicabut maka akankah kata alhamdulillah masih
terucap. Maka jawabnya bagaimana kita menjadi manusia yang ridho akan takdir
Allah. Maka Imam Abdullah al-Haddad menuturkan bahwa manusia yang ridho yaitu
manusia yang mengetahui hak-hak Allah, melakukan perintah-Nya, mempunyai hati
yang bersih dalam menyikapi segala sesuatu itu milik Tuhan, dan percaya penuh
terhadap-Nya.
Harga dunia dengan harta yang
berlimpah, sedangkan harga akhirat dengan amal-amal solih (hadis). Dari hadis
yang demikian maka perlu adanya keseimbangan antara dunia dan akhirat. Abu
Hasan As-Syadzili menganjurkan bahwa seorang mukmin harus kaya harta akan
tetapi tidak menjadikan harta tersebut dijiwai di hati. Apabila harta yang
telah dijiwai dihati maka akal akan congkak dan timbul keserakahan. Maka
kematian yang telah sampai kepada manusia tidak membuat harta tersebut bisa
menyogok Izrail untuk memundurkan kematian.
0 Komentar