Judul : Apakah Wali itu Ada?
Penulis : Dr. Asep Usman Ismail, M.A
Penerbit : RajaGrafindo Persada
Tahun Terbit : 2005
Wali merupakan istilah yang ada di dalam dunia tasawuf. Namun istilah ini begitu berat untuk dimaknai
oleh orang-orang awam. Hal ini disebabkan ada ungkapan bahwa “Tidak ada yang
mengetahui bahwa seorang itu wali melainkan wali itu sendiri”. Ungkapan ini
mencerminkan bahwa hanya orang-orang tertentu yang bisa menelisik makna tersebut.
Di dalam buku “Apakah Wali itu Ada?” berusaha menjabarkan dan membandingkan
pemikiran Al-Hakim Al-Turmudzi dan Ibn Tayymiyah tentang kewalian.
Al-Hakim
Al-Tirmidzi dan Ibn Tayymiyah mempunyai pandangan kontradiktif tentang istilah
wali. Karena Al-Hakim Al-Tirmidzi menjalani keagamaan secara esoteris (tasawuf)
dan Ibn Tayymiyah mejalani keagamaan secara eksoteris (fiqih). Namun di buku
ini akan diungkapkan persamaan dan perbedaan perspektif tentang kewalian.
Mereka sepakat bahwa pemahaman tentang wali yaitu seseorang yang dekat dengan
Allah SWT.
Konsepsi
wali menurut Al-Hakim Al-Tirmidzi sama dengan persepsi Ibn Arabi (w. 637 H/1240
M) dan al-Jili (w. 832 H/ 1428 M) yaitu dengan mengembangkan istilah insan
kamil. Insan Kamil yaitu satu istilah di dalam tasawuf bahwa derajat seseorang
sudah mencapai tajalli. Pandangan seseorang yang sudah mencapai derajat ini
berbeda dengan seorang awam. Karena segala yang ia lihat sudah berisikan nama
Allah dan asma-Nya.
Lain halnya dengan Ibn Tayymiyah bahwa konsepsi
kedekatan seorang wali yaitu dengan metode zikir dan muraqabah. Hal ini
disesuaikan dengan kaum Wahabi yang menjadi paham resmi kerajaan Saudi Arabia.
Karena kaum Wahabi menganggap seorang wali tidak maksum seperti nabi-nabi pada
umumnya. Sehingga istilah Khariqul Adah (di luar kebiasaan) tidak dikenal di
dalam konsepsi wali dalam pandangan Wahabi.
Al-Hakim Al-Turmudzi memandang seorang wali
itu memiliki derajat yang hampir mirip dengan Nabi. Wali menurutnya memiliki
Ismah yaitu keterpeliharaan dari dosa-dosa. Konsep ini dekat sekali dengan
sifat kemaksuman nabi Muhammad. Kemungkinan terhindarnya seorang wali dari
sifat dosa ada dua yaitu Para wali tidak melakukan perbuatan dosa, karena jiwa
mereka terpelihara dan Para wali secara secara lahiriah melakukan perbuatan
dosa tetapi bagi mereka perbuatan tersebut itu tidak dianggap dosa karena ada
tujuan yang lebih mulia
Al-walayah menurut al-Hakim al-Turmudzi
sebagai makramat ilahiyyah (kemuliaan dari Tuhan) yang diberikan kepada
orang-orang yang menjadi pilihan-Nya. Hal ini disebabkan oleh ilmu, amal,
ikhlas, wara’ dan zuhud. Ilmu yang para wali miliki senantiasa diberikan kepada
orang lain sebagai bentuk kedermawanan seperti sifat nabi Muhammad. Pengamalan
ilmu senantiasa ditunjukan seorang wali dengan memperhatikan segala sesuatu
yang wajib dan tidak meninggalkan yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad. Sifat
Ikhlas para wali ditunjukan dengan bagaimana ia tidak menunjukan kesulitannya
pada orang lain. Wara’ ditunjukan seorang wali dengan memperhatikan halal, haram,
dan syubhat dari sesuatu yang ia laksanakan. Selain itu kehidupan zuhud mejadi
prioritas utama seorang wali karena mereka menganggap bahwa kekayaan adalah
milik Allah.
Ibn Tayymiyah beranggapan kata al-walayah
lawan dari al-adawah (permusuhan) dengan Allah. Anggapan tersebut memunculkan
wacana bahwa seorang wali yaitu mempunyai derajat muttaqun dan muhsin. Kedua
istilah tersebut mewakili bahwa seorang wali tersebut sudah patuh dan taat
kepada Allah secara komperhensif. Artinya mustahil bagi seorang wali
mengerjakan suatu yang berbau bid’ah atau suatu pekerjaan yang tidak dilakukan
Nabi Muhammad.
Ibn Tayymiyah memandang bahwa
al-walayah (kewalian) dapat dicapai oleh
seorang hamba yang telah memiliki al-mahabbah (cinta) dan al-Qurb (hubungan
yang dekat) dengan Allah. Sedangkan Al-Hakim Al-Turmudzi beranggapan bahwa
seorang wali mempunyai relasi yang khusus dengan Allah semata dalam bentuk
al-ri’ayah (pemeliharaan), al-Mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah
(pertolongan.
Melalui pendapat diatas ada titik temu kedua
pandangan tentang kewalian. Persamaan anggapan keduanya bahwa al-walayah yaitu
kemuliaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dekat kepada Allah
yang dilandasi cinta secara tulus kepada-Nya. Dengan demikian Allah akan
menjaga pemeliharaan seorang wali tersebut. Persamaan lainnya bahwa kewalian
itu merupakan kewenangan Allah tetapi dapat dicapai seorang hamba apabila
seorang hamba merasakan kehadiran-Nya.
Al-Hakim Al-Turmudzi mempunyai perspektif
bahwa tanda seorang wali yaitu dengan al-Hadis (pembicaraan dengan Allah) yang
dirasakan oleh oleh orang yang menerimanya dengan sakinah (ketentraman batin).
Sedangkan Ibn Tayymiyah memandang bahwa al-walayah dengan muhadasah (dialog
dengan Allah), ilham (bisikan), dan khittab (pesan) dari Allah yang disampaikan
ke dalam kalbu seorang wali. Lebih lanjut pemahaman Ibn Tayymiyah harus sesuai
dengan syariat Nabi Muhammad. Artinya apabila ilham tersebut tidak sesuai
dengan syariat maka dianggap istidraj (bisikan setan).
Kedua pernyataan di atas menunjukan
persamaan dan perbedaan pandangan tentang tanda seorang wali. Persamaan
tersebut terletak pada bagaimana seorang wali bisa berbicara dengan Allah.
Adapun perbedaannya yaitu Al-Hakim Al-Turmudzi lebih menekankan bahwa
pembicaraan dengan Allah itu ada melalui tahap proses riyadhah (pelatihan) dan
khalwat (bersembunyi). Riyadhah dan khalwat bisa dilakukan di tempat yang sunyi
yaitu dengan membaca zikir asma Allah. Sedangkan Ibn Taymiyyah lebih menekankan
bagaimana eksistensi seorang wali dengan cara beribadah dengan tuntunan
syariat. Ibadah yang dilakukan bukan sekedar ibadah mahdah (telah ditentukan
Allah) bahkan ibadah ghairu mahdah (sosial).
Adapun pembagian al-walayah menurut Al-Hakim
Al-Turmudzi dan Ibn Taymiyyah ada dua yaitu wali umum dan wali khusus. Wali
umum menurut Al-Hakim Al-Turmudzi yaitu meliputi semua orang beriman, beramal
saleh, dan membenarkan para rasul. Wali umum menurut menurut Ibn Taymiyyah
bahwa kewaliyan umum yaitu meliputi semua orang yang beriman yang mengamalkan
semua yang diwajibkan dan menjauhi yang diharamkan oleh Islam.
Kedua pandangan tersebut sarat akan
persamaan. Persamaan tersebut yaitu seorang wali melakukan amal saleh yang
sesuai tuntunan syariat. Karena dengan syariat, manusia akan mencintai apa yang
diperintahkan Allah seutuhnya. Di sisi lain syariat akan memberi batasan kepada
manusia tentang hukum-hukum yaitu halal, mubah, makruh, haram dan juga syubhat
(samar-samar). Bila seseorang tidak memahami syariat maka ia akan melanggar
batasan yang telah diberikan Allah.
Kewalian khusus, menurut Al-Hakim
Al-Turmudzi mengacu pada ahbab Allah (para kekasih Allah) dan asfiya Allah
(orang-orang pilihan Allah), yaitu mereka yang dipiilih Allah untuk diri-Nya
dan Allah membimbing mereka dengan karunia-Nya agar lebih dekat kepada Allah.
Ibn Taymiyyah memandang bahwa kewalian khusus yaitu mengacu pada orang-orang
yang dekat dengan cara konsisten mengamalkan semua yang diwajibkan dan
meninggalkan segala yang diharamkan dan dimakruhkan oleh Islam.
Melalui pendapat tersebut memberikan
gambaran sedikit perbedaan antara pemahaman kewalian khusus antara Al-Hakim
al-Turmudzi dan Ibn Taymiyyah. Perbedaan tersebut bahwa ungkapan tersirat
Al-Hakim Al-Turmudzi yaitu seorang wali telah ditentukan oleh Allah sejak zaman
azali (sebelum wali itu dilahirkan). Hal itu sesuai dengan qadha dan qadar
Allah. Sedangkan, Ibn Tayymiyah seseorang bisa mendapatkan derajat kewalian
yaitu dengan usaha yang terus-menerus melalui mujahadah (kesungguhan)
menanamkan syariat pada dirinya.
Buku “Apakah Wali ini Ada?” memberikan
pandangan kepada pembaca bahwa setiap ulama mempunyai pandangan sendiri-sendiri
tentang kewalian seseorang. Pandangan tersebut tentunya disebabkan dengan
keilmuan yang mereka miliki. Maka dari itu pembaca beranggapan secara objektif
bahwa keilmuan ulama tidak perlu diragukan lagi. Karena ulama merupakan pewaris
nabi. Ulama mempunyai hubungan sanad (ber
Menariknya, buku ini membandingkan dua ulama
yang mempunyai dua latar yang berbeda. Al-Hakim Al-Turmudzi merupakan ahli
hadis yang mempunyai konsistensi di dalam meriwayatkan hadis. Al-Turmudzi
bermazhab Syafi’I karena ia berguru kepada Imam Bukhori. Ia juga mengalami
keadaan keagamaan eksoteris (fiqih) menjadi esoteris (tasawuf) setelah melewati
perjalanan spiritual. Perjalanan spiritual tersebut yaitu berupa ia mendapat
pengajaran dan pembelajaran dari Nabi Khidir. Sedangkan Ibn Taymiyyah seorang
ulama yang bermazhab Hanbali. Mazhab tersebut yang sangat hati-hati dalam
memfatwakan sesuatu sebagai acuan umat dan sebagai mazhab yang modernis.
Secara tekstual, penulis beranggapan bahwa
perjalanan keagamaan antara keduanya cukup berbeda. Al-Hakim Al-Turmudzi sudah
menjalani kondisi batiniah yang cukup represif dalam menjalankan kesufian
dengan melewati maqamat (stasion-stasion). Sedangkan Ibn Taymiyyah hanya
menjalankan keagamaan secara eksoteris (fiqih). Sehingga ia beranggapan bahwa
al-walayah hanya bisa didapat melalui usaha menghidupkan syariat.
Latar keagamaan yang berbeda dari Al-Hakim
Al-Turmudzi dan Ibn Taymiyyah tidak membuat buku “Apakah Wali itu Ada?”
mematahkan pendapat salah satu ulama tersebut. Bahkan pembaca menjadi antusias
menggali makna wali dari ulama-ulama yang lain. Hal ini akan memberi keilmuan
khususnya pada bidang tasawuf.
0 Komentar