Pesantren, dulu dikenal sebagai tempat pelarian anak-anak yang berprilaku kurang baik. Fenomena tersebut nampaknya berubah seiring dengan perkembangan zaman. Faktanya, orangtua zaman now lebih memilih pesantren sebagai tempat pendidikan anak-anak mereka. Sebab, seperti yang kita ketahui, pergaulan bebas dan pemahaman-pemahaman negatif yang telah menyerang Indonesia. Sehingga, pesantren dianggap tempat untuk menghindari hal-hal tersebut.
Kurikulum pesantren, umunya memuat pelajaran-pelajaran yang terkait dengan agama saja. Kondisi tersebut belum bisa mencetak santri-santri yang moderat dan cinta tanah air. Pasalnya, ada indikasi sebagian lulusan pesantren yang berdampak virus radikalisme. Implikasinya, mereka menjadi pribadi yang paling benar dan sulitnya menerima kebinekaan. Padahal, heterogenitas bisa membangun negara dengan cara toleransi dan bisa menerima perbedaan.
Selain itu lulusan pesantren di era industri 4.0 harus bersaing dengan lulusan non-pesantren. Persaingan tersebut harus diatasi dengan para petinggi lembaga tersebut mengadakan pengajaran dan pembelajaran tentang kewirausahaan dan IT. Sebab, paradigma yang berkembang di masyarakat bahwa lulusan pesantren hanya bisa mengajar dan berdakwah. Sampai, kadang mereka yang lulus pesantren merasa hanya mempunyai kompetensi di dua bidang tersebut.
Ketika santri-santri mempunyai bekal berupa pendidikan kewirausahaan dan IT maka kedepannya mereka akan mempunyai kualitas lebih dibanding siswa-siswa di sekolah umum. Bisa, kita lihat wakil presiden RI KH. Ma'ruf Aimin, dan para mentri seperti Imam Nachrawi, M. Natsir, dan Lukman Saifuddin, mereka adalah lulusan pesantren. Dengan demikian, Presiden Jokowi di masa mendatang perlu menunjuk Mentri Kepesantrenan sebagai wadah untuk menjaring kader-kader yang berkualitas untuk Indonesia.
0 Komentar