Jakarta,
kota dengan tingkat heterogenitas yang tinggi mempunyai banyak cerita.
Ibaratnya, kota ini identik dengan miniaturnya Indonesia. Mulai dari suku, ras,
dan agama ada semua di kota ini. Sehingga orang-orang yang tinggal di kota ini
harus mempunyai rasa toleransi yang tinggi satu sama lain. Sebab toleransi
adalah sebuah nilai positif dalam kebinekaan. Tanpa nilai tersebut Jakarta akan
terjangkit paham-paham negatif.
Radikalisme, liberalisme,
kapitalisme, sekularisme merupakan paham-paham negatif yang sudah menjadi
pemahaman sebagian penduduk kota metropilitan(catatan kaki). Orientasi nilai
dari paham-paham tersebut bisa merusak tatanan kehidupan sosial. Jika nilai ini
dibiarkan ada maka akan terjadi justifikasi autonegatif pada kelompok tertentu.
Dalam hal ini, urban sufisme, sebuah termin yang digagas oleh Julia Howell,
yang bisa meredam paham-paham tersebut. Gagasan tersebut yaitu lahirnya gairah spiritualitas (baca: sufisme)
masyarakat Kelas Menengah Perkotaan di Indonesia. Gairah spiritualitas ini yang
menarik perhatian Howell direpresentasikan oleh Kelas Menengah dengan latar
belakang neo-Modernisme. Kelompok ini dalam ekspresi kegairahan spiritualitas mereka
mengadopsi zikir, amalan, serta doa wirid yang diadopsi dari para guru sufi
seperti al-Ghazâlî, Suhrawardî, dan sebagainya. Melalui Majelis Zikir, Majelis
Taklim, bahkan lembaga kajian, secara massal masyarakat perkotaan datang dalam
rangka zikir dan wirid dalam upaya tazkîyat al-nafs (Julia D.
Howell:2001:701)
Fenomena Urban Sufisme ini
timbul akibat kejenuhan para borjouis di dalam kehidupan mereka. Kejenuhan itu
antara lain yaitu kesibukan dunia, permasalahan pelik, dan kegelisahan pada
diri mereka. Untuk itu mereka mencari problem solving untuk
menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Problem solving tersebut dengan
kebutuhan rohani berupa agama. Karena esensi agama yaitu meluruskan perspektif
bagi manusia yang terjebak pada kekeliruan dan hawa nafsu.
Namun untuk mencapai Urban
Sufisme, perlu memahami tasawuf. Syekh Abu Hasan As-Syadzli mengatakan
bahwa tasawuf itu mengolah hawa nafsu
dengan ibadah, dan mengembalikan diri ke jalan Tuhan (Abu Muhammad:2009:21). Adapun
Tasawuf menurut Abu Junaid al-Baghdadi yaitu membersihkan hati, mewajibkan
ibadah, memurnikan ahlak, mengisi hati dengan ibadah zhahir dan bathin untuk
mendapatkan kebahagiaan yang sejati zuhud dari dunia, mengarahkan diri untuk
mengingat akhirat, dan bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah (Abu
Muhammad:2009:21).
Bila kita melihat dua definisi
tasawuf dari kedua sufi di atas maka perlunya seseorang untuk selalu mengingat
Tuhan di setiap waktunya. Melalui mengingat-Nya maka akan termotivasi diri
untuk terus beribadah dan bermuamalah dengan baik. Kedua hal tersebut akan
terlihat perubahan sosial dengan menafikan paham-paham negatif yang berkembang
pada masyarakat urban.
Internalisasi sufisme ke dalam
masyarakat kota butuh pengenalan dan pemahaman. Intinya tasawuf bukan hanya
sekedar teoritis semata akan tetapi bisa diimplementasikan kedalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian tasawuf sebagai solusi kehati-hatian bagi manusia
urban dalam berfikir, berkata, dan bertindak.
Secara aplikatif Urban Sufisme
sendiri kini sudah ada di Jakarta dengan menjamurnya Majelis-Majelis Zikir. Dua
Majelis terbesar yaitu Majelis Rasulullah dan Majelis Nurul Mustofa hampir
diikuti oleh semua kalangan.[1]
Anak-anak, pemuda, dan orang tua hadir ke dalam dua majelis tersebut dalam
rangka mengisi kehampaan hati dan kekosongan jiwa dari agama. Sehingga
seseorang yang mengikuti majelis-majelis tersebut merasa tenang hati dan
jiwanya.
.
[1]
Majelis Rasulullah dipimpin oleh alm. Habib Munzir Al-Musawa sedangkan Majelis
Nurul Mustofa dipimpin oleh Habib Hasan bin Jakfar Assegaf
0 Komentar