Korupsi merupakan cerminan dari akhlak mazmumah (akhlak
buruk). Korupsi berasal dari kata latinCorruptio atau Corruptus.
Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prnacis Corruption, dalam bahasa Belanda
Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia disebut korupsi. Sedangkan
korupsidalam bahasa Arab dengan kata fasada dalam bahasa Arab yang secara
etimologi artinya rusak atau buruk.Prilaku ini merusak tatanan hidup sebuah
negara yang pada akhirnya bisa menjadi prilaku budaya karena dianggap menjadi
hal yang biasa.Maka itu Allah membenci orang yang melakukan tindakan menyimpang
tersebut. Sebagaimana Allah berfirman di dalam alquran: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” (QS Al-Qasas:77)
Kata Mufsidin dalam surat tersebut bisa
diidentikkan dengan para koruptor. Maka dari itu penulis akan membahas tentang
korupsi melalui beberapa cendikiawan muslim. Syed Husein Alatas menuturkan
bahwa esensi korupsi ialah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang
menghianati kepercayaan.Hal ini mencakup dua bentuk korupsi lainnya yang sulit
untuk dimasukkan ke dalam ciri-ciri di atas yaitu nepotisme dan korupsi
otogenik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh seorang diri. (Syed Husein
Alatas:1987:viii).
Pemikiran
Syed Husein Alatas tersebut secara langsung bahwa korupsi identik dengan kata
khianat.Perbuatan khianat tersebut selaras dengan kemunafikan.Sebagaimana
Rasulullah telah bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga, apabila ia
berucap berdusta, jika ia berjanji tidak ditepati, apabila ia diberi
kepercayaan menghianati (HR. Bukhori dan Muslim).
Adapun
khianat dalam bahasa Arab juga bisa disebut dengan “ghulul‟.Ghulul secara erimologis
yaitu artinya khianat di dalam harta rampasan perang dan selainnya (Ikbal
Zaki:2011:683). Dengan kata lain mengambil hak yang bukan miliknya. Hal
tersebut bersesuaian dengan firman Allah: “Tidak mungkin
seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang
berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya” (Qs:Al-Imran:161)
Rasulullah SAW sendiri memperluas makna ghulul menjadi dua
bentuk:
1. Komisi, yaitu tindakan mengambil sesuatu penghasilan di luar gaji
yang telah diberikan. Tentang hal ini Nabi SAW menyatakan:
Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang kami angkat menjadi pegawai
pada suatu pekerjaan kemudian kami tetapkan gaji tertentu untuknya, maka apa
yang dipungutnya sesudah itu adalah kecurangan (korupsi). (HR.Abu Daud)
2. Hadiah, yaitu pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang
melekat pada dirinya. Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda “Hadiah yang
diterima para pejabat adalah korupsi (ghulul)”.(HR. Ahmad)
Musthafa bin
Abdullah, yang lebih dikenal sebagai Katib Chelebi (1609-1657 M), seorang
cencikiawan Turki menulis tentang korupsi dan mengacu pada sumber-sumber yang
sudah ada pada sebelumnya. Ia mengikhtisarkan pandangan-pandangan penulis
sebelumnya yang mengkelompokkan penyuapan kedalam tiga jenis dalam rangka
penilaian boleh tidaknya menurut moral. Jenis-jenis tersebut antara lain: a.
penyuapan yang baik pihak pemberi maupun pihak penerimanya secara moral
bersalah. Sebagai contoh, penyuapan terhadap seorang hakim agar mendapat vonis
yang menguntungkan; b. penyuapan yang boleh diberikan tetapi tidak boleh diterima. Ini adalah
korupsi defensif.Bila seorang penguasa yang kejam menginginkan hak milik
seseorang, tidak berdosalah memberikan kepada penguasa tersebut sebagian dari
harta itu untuk menyelamatkan selebihnya; c. penyuapan yang pihak pemberinya
bersalah sedangkan pihak penerimanya tidak bersalah. Ini adalah korupsi
investif yang direncanakan oleh pihak pemberi dengan tujuan yang korup (Katib
Chelebi:1957:124-127).
Melalui pendapat Katib Chelebi bahwa
korupsi identik dengan risywah.Risywah berasal dari bahasa Arab yaitu rasya,
yarsyu, rasywan, yang berarti “sogokan” atau bujukan. Istilah lain yang searti
dan biasa dipakai di kalangan masyarakat ialah “suap” dan “pelicin”. Untuk itu,
Risywah merupakan prilaku yang menyimpang dan tidak dibenarkan dalam ajaran
Islam.
Menurut Ali bin Muhammad as-Sayyid
as-Sarif Al-Jurjani (740 H – 816 H), seorang ahli bahasa dan fikih, risywah
ialah sesuatu (pemberian) yang diberikan kepada seseorang untuk membatalkan
sesuatu yang hak(benar)atau membenarkan yang bathil. Pernyataan tersebut
mengandung makna bahwa risywah adalah alat untuk mencapai kesenangan dengan
cara yang salah atau curang.
Adapun sabda nabi
Muhammad Saw diriwayatkan melalui Abu Daud dan Turmudzi, “Rasulullah
melaknat orang yang menyogok dan orang yang disogok”(HR.Abu Daud dan
Tirmidzi). Hadis tersebut mendeksripsikan bahwa risywah merupakan kegiatan yang
dilarang bahkan diharamkan.Oleh karena itu Risywah merupakan salah satu bentuk
pemberian tanpa ada dasar keikhlasan untuk mencari ridha Allah melainkan untuk
tujuan-tujuan yang bertentangan dengan syariat-Nya.
Muhammad bin Ismail al-Kahlani
As-San’ani (1099-1182 H), seorang faqih dan muhadits menuturkan risywah dari
sudut motif dan tujuannya, terbagi dua macam: pertama, agar hakim berlaku tidak
adil; dan kedua, agar hakim berlaku adil. Pertama, beliau berpendapat bahwa
hukumnya haram baik bagi orang yang memberikan sogokan maupun bagi yang menerima
sogan tersebut.
Kedua, yang diharamkan adalah
menerima sogok sebab berbuat adil merupakan kewajiban hakim dan keadilan adalah
hak yang harus diperoleh oleh pihak yang berperkara tanpa harus
diminta.As-San’ani melanjutkan bahwa hakim juga dilarang menerima pemberian
berupa hadiah dari pihak-pihak yang berperkara,
meskipun pemberian itu tidak dikaitkandengan perkara yang sedang diadilinya.
Menurutnya, pemberian hadiah hanya bisa diterima apabila:
a. Hakim itu sebelumnya biasa menerima hadiah dari orang yang memberi
hadiah atas kebaikannya semata-mata
b. Nilai hadiah bagi hakim tersebut tidak lebih besar dari hadiah-hadiah
yang biasa diterimanya
Melihat pendapat
al-Jurjani dan al-San’ani tentang Risywah maka hukumnya haram bagi pemberian
hadiah kepada seseorang atau hakim untuk
mencapai tujuan tertentu. Implikasi dari hadiah tersebut bisa berlaku tidak
atau kurang adil dalam menyelesaikan urusan
yang dibebankan kepada orang-orang yang telah diamanahkan dalam hal atau
pekerjaan tersebut. Sebagaimana Allah berfirman di dalam: “Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS:
Al-Nisa:58)
Didin Hafidhuddin
mengatakan bahwa koruptor dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar)
dan harus dikenai sangki dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya dengan
cara menyilang atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi
merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah),
akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab (Mansyur Semma;2008:33)
Pendapat di atas menganalogikan bahwa korupsi sama dengan
mengambil hak orang lain dan mencuri. Sehingga hukumannya dengan dipotong
tangannya.Konteks tersebut melihat dari firman Allah dan Hadis Nabi
Muhammad SAW.Firman Allah tersebut ada pada surat Al-Nisa Ayat 29:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. “ (QS Al-Nisa:29)
Sedangkan hadis
nabi Muhammad Saw yang berhubungan dengan pendapat cendekiawan muslim Indonesia
tersebut yaitu “Demi Allah,
Jika Fatimah binti Muhammad mencuri maka aku sendiri yang akan memotong
tangannya” (HR Bukhori)
terancam, maka sogok-menyogok boleh saja dilakukan.
Disisi lain, bagaimana
hukum pemanfaaatan korupsi oleh para koruptor? Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki,
dan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa salat dengan menggunakan kain yang dioeroleh
dengan cara yang batil (menipu/korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai
dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, para pemipin mazhab
tersebut berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, dengan alasan kain itu bukan
miliknya yang sah. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, salat dengan menggunakan
hasil korupsi tidak sah, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah
salah satu syarat sah shalat. Menurutnya menutup aurat dengan kain yang haram
memakainya sama dengan salat memakai pakaian yang najis.
Dengan demikian, hasil
korupsi merupakan hasil yang didapat melalui cara yang kotor dan salah. Hal
tersebut dengan melihat pendapat empat mazhab. Sehingga seorang koruptor,
selain diganjar hukuman oleh negara, juga ia wajib mengembalikan harta dari
hasil koruptor. Karena harta tersebut merupakan milik negara yang notabene
milik rakyat.
Referensi
:
Alatas,
S.H.1980. The Sociology of Corruption (Singapura: Times Internasional).
Alatas,
S.H.1987. Korupsi; Sifat, Sebab, dan Fungsi. (Jakarta: LP3S).
Ar,
Sirojuddin, dkk.1997. Ensklopedi Hukum Islam Jilid III. (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve)
Ar,
Sirojuddin, dkk.1997. Ensklopedi Hukum Islam Jilid V. (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve)
Asy’arie,
Musa, dkk. 2005. Menuju Masyarakat Anti Korupsi. (Jakarta: Departeman
Komunikasi dan Informatika)
Semma
Manshur.2008. Negara dan Korupsi – Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara,
Manusia Indonesia, dan Prilaku Politik. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)
Shabir,
Majdi.2008. Al-Mu’jam Al-Wasith. (Egypt:Maktabah al-Shouruk al-Dauliyah)
0 Komentar