Secara etimologis, murtad berarti
kembali. Kata Arab ini berakar pada kata riddah, yang berarti kembali kepada
kafir setelah Islam(Iqbal Zaki:2008:350). Selain itu, seorang pakar bahasa
Arab, Raghib Isfahani menyatakan bahwa irtidad dan riddah kembali dari satu
jalan yang sebelumnya dilewati. Dengan perbedaan; riddah digunakan hanya untuk
kaum kafir, sedangkan irtidad untuk kafir selainnya(Raghib Isfahani:1992:255).
Adapun murtad secara terminologi
adalah orang yang keluar dari agama Islam kepada kekafiran, seperti
berkeyakinan bahwa Allah SWT sang Pecipta Alam itu tidak ada, kerasulan
Muhammad Saw tidak benar, menghalalkan suatu perbuatan yang diharamkan, seperti
zina, meminum minuman keras, dan lalim, atau mengharamkan yang halal, seperti
jual beli, nikah, atau menafikan kewajiban-kewajiban yang disepakati seluruh
umat Islam, seperti menafikan salat lima waktu, atau memperlihatkan tingkah
laku yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah keluar dari agama Islam,
seperti membuang al-quran ke tempat pembuangan kotoran, menyembah berhala, dan
menyembah matahari(Abdul Azis Dahlan:1997:1233).
Syekh Thusi mendifinisikan murtad
adalah menjadi kafir setelah masuk Islam, entah individu itu telah muslim sejak
awal lalu menjadi murtad (murtad fithri) atau individu itu sebelumnya kafir
kemudian memeluk Islam dan kembali kafir (murtad milli) (Syekh Thusi:2000:282) .
Penjelasan tentang murtad di atas
bisa diambil satu perspektif bahwa murtad ialah seseorang yang keluar dari
Islam menuju kekafiran. Kemudian ia bukan hanya menafikan ketuhanan Allah dan
kerasulan Nabi Muhammad bahkan ia melakukan perbuatan bebas yang sesuai dengan
pemikiran dan nalarnya.
Adapun Ulama Fikih mengemukakan
bahwa suatu perbuatan murtad baru dianggap sah apabila memebuhi rukun dan
syaratnya. Adapun Rukun Murtad tersebut ada dua, yaitu: keluar dari agama Islam
dan tindakan murtad ini bersifat pidana.(Abdul Aziz Dahlan:1997:1234)
a. Keluar dari
Agama Islam. Ulama Fikih Syafi’iyah mengatakan bahwa indikator yang menunjukkan
sikap keluar dari agama Islam tersebut berupa perbuatan, bersikap tidak mau
melaukan sesuatu, perkataan dan keyakinan Perbuatan yang menunjukkan seseorang
menjadi murtad adalah perbuatan yang bersifat menghalalkan yang diharamkan oleh
Allah Swt., seperti berzina, minum minuman yang memabukkan, mengolok-olok
al-quran dan hadis Rasulullah Saw. bersikap menentang sesuatu yang diwajibkan
Islam juga termasuk perbuatan murtad, seperti berkeyakinan bahwa salat, puasa,
zakat, dan haji itu tidak perlu.
b. Tindakan
murtad itu bersifat pidana. Maksudnya seluruh sikap, perbuatan, perkataan, dan
keyakinan yang membawa seseorang keluar dari Islam itu, diketahuinya secara
pasti oleh yang bersangkutan bahwa yang diingkarinya itu adalah benar (ajaran
agama Islam). Seseorang yang tidak mengetahui kewajiban salat lima waktu,
misalnya, seorang mualaf, maka ia tidak memenuhi rukun murtad apabila ia tidak
mengerjakan shalat. Oleh sebab itu, orang seperti itu tidak dihukumkan murtad.
Demikian pula apabila seseorang yang mengungkapkan suatu kalimat yang membawa
kekafiran, tetapi ia tidak tahu makna kalimat tersebut maka ia tidak dihukumkan
murtad.
Dalam kaitan
ini pada mazhab Syafi’I dan mazhab Dhahiri menuturkan bahwa murtad harus
dibarngi dengan niat, bukan sekedar melakukan sesuatu yang mengkafirkan. Hal
ini menurutnya sejalan dengan hadis Rasulullah Saw: “Sesungguhnya setiap amalan
itu harus disertai dengan niat ….” (HR. Al-Jamaah (Mayoritas ahli hadis). Oleh
karena itu seseorang yang melakukan suatu tindakan yang mengkafirkan atau
mengucapkan kalimat-kalimat kafir, apabila tidak dibarengi dengan niat, maka
tidak dihukumkan murtad.
Sedangkan pada mazhab Hanafi,
Maliki, Hanbali, seseorang dianggap murtad cukup dengan perkataan atau
perbuatan yang diyakini bahwa perbuatan tersebut mengkafirkan, sekalipun tidak
dibarengi dengan niat. Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan bahwa sekalipun perkataan dan perbuatan itu hanya sekedar iseng,
tetapi dilakukan dengan kesadaran penuh, maka hukumnya juga membawa kepada
murtad.
Adapun syarat-syarat murtad, menurut
kesepakatan ulama fikih hanya dua, yaitu berakal dan baligh. Oleh
karena itu sikap murtad dari anak kecil dan orang gila tidak sah. Adapun tentang sikap murtad yang ditunjukkan orang
yang sedang mabuk, terdapat perbedaan pada ulama fikih. Menurut ulama Mazhab
Hanafi, tidak sah murtad orang yang dalam keadaan mabuk, karena permasalahan
murtad yang berkaitan dengan masalah keyakinan dan tujuan. Sedangkan orang yang
sedang mabuk tidak diketahui keyakinan dan tujuannya; dan transaksi yang ia
lakukan antara sesama manusiapun tidak sah. Oleh sebab itu menurut mereka,
status orang yang mabuk sama dengan orang yang kehilangan akalnya, seperti
orang gila, orang dungu, dan orang tidur yang tidak dibebani hukum. Akan tetapi
jumhur ulama berpendapat bahwa sikap murtad orang mabuk adalah sah apabila ia
secara sengaja membuat dirinya mabuk; sebagaimana sahnya talak dan seluruh transaksi
yang mereka buat.
b. Dilakukan atas
kesadarannya sendiri, Ulama fikih sepakat bahwa apabila seseorang dipaksa
keluar dari agama Islam, maka ia tidak dihukumkan murtad. Hal ini sejalan
dengan Firman Allah Swt:
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
[QS: An-Nahl/16:106]
Melalui
ayat di atas bahwa Ibnu Jarir RA meriwayatkan sebuah kisah yang sanadnya
bersambung pada Abi Ubaidah Muhammad bin A’mar bin Yasir. Ia berkata,
Orang-orang musyrik membawa Ama’r bin Yasir lalu ia mengazabnya sampai satu
sama lain mendekatinya untuk melakakukan apa yang dinginkan mereka. Kemudian
Rasulullah bertanya bagaimana kondisi hatimu? Amar menjawab hatiku tenang
dengan keimanan. Lalu Nabi berkata: Apabila mereka melampaui batas dengan
seperti itu lagi maka kau kembali seperti hal tersebut.
Kisah
tersebut mengingatkan bagaimana Bilal bin Rabah yang juga dulu pernah disiksa
oleh kafir quraisy. Penyiksaan tersebut bukanlah mengubah keyakinannya menjadi
kafir akan tetapi bertambah kuat keimanannya sebagaimana yang disebutkannya
“Ahadun Ahad Ahadun Ahad”.
Tinjauan ayat-ayat Al-Quran secara tersurat
terdapat ada tiga ayat al-quran mengenai murtad. Tiga ayat tersebut pada QS
Al-Maidah/5:54, QS Al-Baqarah/2:217, dan QS Muhammad/47:25. Adapun pada QS Al-Maidah/5:54:
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. [QS: Al-Maidah/5:54]
Shihab
al-Din al-Alusi memberikan gambaran kaum-kaum yang murtad. Tiga kelompok pada
zaman nabi Muhammad Saw, Bani Mudlaj di Yaman yang dipimpin oleh Dhu al-Himar
yang mengaku sebagai nabi, Bani Hanifah (pengikut Musyailamah al-Kaazab ibn
habib), dan Bani Asad (pengikut Tulayhah bin Khuwailid[1]).
Tujuh kelompok murtad pada zaman Sayyidina Abubakar al-Siddiq, Fazarah
(pengikut Uyaynah ibn Hasin), Ghafatan (pengikut Qurrah ibn Salamah
al-Qushayri), Bani salim (pengikut al-Faja’ah ibn Abd Yalayl), Bani Yarbu
(pengikut Malik Ibn Nuwayrah), sebagian Bani Tamim (pengikut Sajjah ibn
al-Mudhir yang mengaku sebagai nabi), Kanidah (Pengikut Al-Ash’ath ibn Qais),
Bani Bakr ibn Wail di Bahrain (Pengikut al-Hatam ibn Zayd). Kelompok murtad
pada zaman Sayyidina Umar bin Khatab yaitu Ghassan (pengikut Jibillah ibn
al-Ayham, seorang yang kembali masuk Nasrani pindah ke Syam lalu meninggal
dalam keadaan murtad).[2]
Sementara
Ibn Jarir al-Thabari mengatakan bahwa orang-orang Islam yang kembali kepada
agama lamanya, seperti Yahudi atau Nasrani, maka itu tidak berdampak buruk bagi
Allah Swt. Alih-alih mendatangkan keburukan, Allah justru akan mendatangkan
sekelompok orang yang mencintai Allah dan mereka mencintai-Nya. Setelah terjadi
kemurtadan di pelbagai tempat pasca wafatnya Rasulullah, maka Allah membangun
kekuatan dengan menghadirkan orang-orang yang penuh istimewa. Dikisahkan
Qatadah, seperti dinukil oleh Ibn Jarir al-Thabari bahwa ayat ini turun sebagai
alarm bahwa kelak setelah Rasulullah wafat akan muncul kemurtadan di jazirah
Arab. Pada zaman ke khalifahan Sayyidina Abubakar Al-Shiddiq, misalnya mereka
hanya mau mendirikan shalat akan tetapi tidak mau mengeluarkan zakat. Karena
itu Beliau memerangi mereka karena mereka dianggap menceraikan shalat dari zakat.
Abubakar berkata, “Demi Allah. Aku tidak memisahkan sesuatu yang dipersatukan
Allah Swt.(Ibn Jarir:1992:622)
Pendapat
Sayyidina Abubakar bisa diambil satu perspektif jika seseorang menjalankan
shalat akan tetapi ia tidak mengeluarkan zakat berarti ia jatuh kedalam murtad.
Karena dua ibadah tersebut termuat pada rukun Islam dan termaktub dalam Firman
Allah:
إنَّمَا
وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ
ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمْ رَٰكِعُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah).”(QS.:Al-Ma'idah[5]:55)
[1]
Pada awalnya Thulaihah dan Bani
Asad memusuhi dan terlibat pertempuran melawan pasukan Muslim Madinah pada
pertempuran Qatan pada tahun 626 dan Khandaq pada tahun 627. Namun, ia
akhirnya masuk Islam di hadapan Nabi Muhammad pada
tahun 630. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu pada tahun 631, ia murtad dan mengaku sebagai nabi
0 Komentar