Adapun
para sufi memaknai Ramadhan baik secara zhahir maupun mata bathinnya. Syekh
Khalil al-Farahidi berkata, “Ramadhan terambil dari al-Ramdu (terik
matahari), yang artinya hujan yang hilang jejaknya. Beliau menambahkan bahwa
bulan Ramadhan juga disebut bulan yang menyucikan jiwa manusia dari dosa-dosa
dan membersihkan hatinya”.
Habib
Muhammad bin Abdullah al-Haddar memberikan definisi Ramadhan adalah musim
bahagia. Apabila pada bulan Ramadhan itu selamat maka selamatlah pada tahun
tersebut. Definisi tersebut menunjukkan bahwa umat muslim harus
berbahagia pada bulan yang berkah tersebut. Kebahagiaan bulan tersebut
diungkapkan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki bahwa Allah menjadikan dua
kegembiraan bagi orang yang berpuasa. Jika ia berbuka maka senang, dan jika ia
bertemu (beribadah kepada) Allah ia senang. Kesenangan pada saat berbuka yaitu
ekspresi sepenuh hati (bagi orang yang berpuasa) untuk mengungkapkan syukur
yang sempurna kepada-Nya, karena Ia yang telah menentukan kesempurnaan puasa
pada hari itu, serta menempatkan
kesehatan dan kekuatan kepadanya sebagai media bagi kesempurnaan tersebut.
Selain itu Allah memberikan pahala ibadah yang sempurna pada hari puasa tanpa
menguranginya. Sehingga orang yang berpuasa itu dalam keadaan kesenangan dalam
beribadah, sebab tanda syukur kepada-Nya melalui ibadah dan zikir. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad, “Sesungguhnya
bagi orang yang berpuasa itu ada dua kesenangan, apabila ia berbuka maka ia
senang, dan apabila ia bertemu Allah (ibadah) maka ia senang”
Rasulullah
bersabda, “Ramadhan adalah bulan sabar, dan pahalanya adalah syurga”. Hadis
tersebut menunjukkan bahwa Ramadhan memiliki arti penting bagi manusia yang
menginginkan syurganya. Tentu untuk meraih tempat tersebut harus bermujahadah
pada hari-hari pada bulan yang penuh keberkahan tersebut. Sebab Hadis
menyebutkan bahwa, “Fase awal Ramadhan adalah rahmah, pertengahannya
terdapat ampunan Allah, dan fase akhirnya yaitu dibebaskan dari api neraka.”
Imam Abdullah al-Haddad memberikan
catatan terhadap tiga fase pada bulan Ramadhan tersebut bahwa Allah memandang
umat muslim dari malam pertama Ramadhan, barangsiapa yang menikmati pandangan-Nya
(melalui ibadah) maka Ia tidak mengazabnya, dan Ia juga akan mengampuni mereka
pada akhir malam bulan tersebut.
Setiap
penceramah pasti memaparkan QS:Al-Baqarah:183, ayat itu menunjukkan kewajiban
orang-orang mukmin berpuasa. Namun Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar mengatakan
esensi dari ayat tersebut bahwa pahala orang yang berpuasa itu diatas hisab
(perhitungan biasa) karena Allah memberikan karunia kepada orang tersebut.
Tentunya puasa tersebut bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus dari terbit
fajar hingga magrib akan tetapi kualitas terbaik puasa yaitu mempuasakan
seluruh anggota tubuh dan beraktivitas yang bermanfaat. Sebagaimana ia
mencantumkan hadis dhaif di dalam kitab
al-Nafahat al-Ramadhaniyah, yang boleh digunakan dalam hal fadilah amal, “Tidurnya
orang yang berpuasa itu ibadah, perbuatannya akan dilipatgandakan (pahalanya),
doanya mustajab, dan dosanya diampuni Allah”.
Habib
Muhammad bin Abdullah al-Haddar berkata, “Wahai umat Muslim, Ramadhan adalah
tamu kalian yang mulia, dia kembali kepadamu maka ucapkan alhamdulillah, serta
penuh hangat memberikan salam untuknya. Lalu muliakanlah ia dengan puasa dan
mendirikan ibadah lainnya, beri’tikaf di
rumah-rumah Allah serta membaca al-Quran. Janganlah kalian
mengalihkan perhatian kalian dari mendirikan waktu-waktu ketaatan (ibadah) pada
bulan tersebut hanya untuk kepentingan harta-harta dan anak-anak kalian.”
0 Komentar