C.S. Lewis
(w.1963), seorang pendeta Nasrani, menyatakan tentang perbedaan antara agama
dan filsafat seperti enjoyment dan contemplation. Untuk memahami dua perkataan
itu ia berikan contoh sebagai berikut: seorang lelaki mencintai seseorang
perempuan ; rasa cinta itu dinamakan enjoyment, sedangkan memikirkan rasa
cintanya itulah disebut contemplation.[2]
Filsafat dan Islam
merupakan dua termin yang telah terlebur menjadi Filsafat Islam. Hal ini bertujuan agar muslim mempunyai cara
berfikir rasional dan empirik. Istilah
orang-orang yang berfikir kritis disebut ulu al-bab. Sebagaimana Firman Allah
Swt:
“Allah menganugerahkan al
hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)”.{Qs Al-Baqarah/2:269}
Adapun ayat
tersebut di dukung oleh sabda Nabi Muhammad SAW:
“Pekerjaan seseorang
diibaratkan seperti akal yang menunjukkan pemiliknya kepada kebenaran atau
menolaknya atas penyimpangan.”
Melalui ayat dan hadis tersebut
menunjukkan bahwa berfilsafat itu dibolehkan selama tidak menyimpang dari
Al-Quran dan Hadis. Sebagai bukti,
filsuf-filsuf muslim seperti Al-Kindi (w. 866 H), Al-Farabi (w.950), Ibn
Sina (w.1037), Ibnu Rusyd (w.1196) dan Nashr al-Din Al-Thusi (w. 1274), mereka
mengelaborasikan antara pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran dalam Islam.
Untuk itu aliran filsafat mereka adalah peripatik.[3]
Akan tetapi Suhrawardi (1191)
mengkritik aliran tersebut dengan mendirikan aliran Iluminasionis. Berbeda
dengan aliran peripatik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai
metode berfikir dan pencarian kebenaran, filsafat iluminasionis mencoba
memberikan tempat bagi metode intuitif (irfani), sebagai pendamping bagi, atau
malah , dasar bagi penalaran rasional. Suhrawardi mencoba mensintesiskan dua
pendekatan yaitu burhani dan irfani dalam sebuah pemikiran yang solid dan
holistik.[4]
Burhani dan
irfani, kedua term tersebut dianggap kurang untuk memenuhi kriteria berfikir
sistematik dan sistemik. Untuk itu Abid Aljabiri (w. 2010), seorang filsuf
Islam asal Maroko, melengkapi pemikiran aliran Ilminasionis tersebut dengan
menambahkan term bayani sebagai representasi dari kajian teks.[5]
Sehingga kerangka bayani, burhani, dan irfani membentuk kontruksi filsafat
Islam.
Pendapat
Aljabiri di atas bisa dipahami bahwa bayani merupakan metode memahami teks
bacaan yang memerlukan analisa si pembaca. Maka penalaran pembaca menjadi
subjek tersendiri dalam memaknai dan menganalisa teks. Ada tipikal pembaca yang
memaknai teks secara literal dan tekstual, ada juga pembaca yang menganalisis
teks bacaan secara kontekstual dan komperhensif.
Metode burhani menurut Abid al-Jabiri yaitu
aktivitas kognitif atau bisa disebut juga demostratif merupakan sebentuk inferensi
rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang
bernilai.
Selain itu aliran irfani,
Aliran mistik ini bukan hanya penalaran akal saja yang aktif akan tetapi
disertai oleh penalaran hati yang merasakan pancaran sinar Tuhan. Sebab penalaran hati yang demikian, akan
membuahkan ketenangan dan kenyamanan hidup manusia. Maka hubungan penalaran akal dan hati akan
menghasilkan kesatuan eksistensi Tuhan yang ada pada diri seseorang.
Realitas eksistensi
manusia selalu bersama Tuhan implikasi dari ihsan. Sebagaimana Rasulullah
mengungkapkan “Bahwa ketika kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu
melihatnya jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka Ia melihat kamu”. Hadis ini
terkadang hanya diaplikasikan hanya dalam ibadah mahdah saja, seharusnya baik
dalam ibadah mahdah maupun ibadah ghairu mahdah harus menginternalisasikan
hadis tersebut sehingga ada kehati-hatian di dalam kehidupan sosial.
Fethullah
Gullen menyatakan perasaan ihsan adalah seperti sebuah kunci rahasia
untuk membuka lingkaran kesalehan. Orang yang berhasil membuka itu dan masuk
lewat jalannya yang terang seakan-akan ia tengah naik menggunakan ekskalator,
sehingga ia menemukan dirinya berada di ketinggian yang menajubkan. Selain
anugerah seperti itu, jika ia mampu memberikan kehendaknya hak yang tepat, maka
ia akan terus berjalan di jalannya dengan langkah naik yang mampu menjangkau
dua derajat di setiap satu langkah.
[1] Wiliam Temple, Nature, and
God, (New York: Mac Milan, 1934), h. 80
[2] H. M Rasjidi, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang:1975), h. 10
[3] Istilah Peripetik yaiutu merujuk pada metodologi pemikiran
Aristoteles dan Plato. Secara Umum metodologi yang digunakan ontologi,
epistemologis dan aksiologis.
[4] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat
Islam, Jakarta: Lentera Hati: 2006, h. 44
[5] https://www.nu.or.id/post/read/90618/membedah-pemikiran-muhamad-abed-al-jabiri, diunduh pada 17 Januari 2020, pukul
3:37
0 Komentar