Pada
saat seseorang tinggal di negeri sendiri, ukhuwah wathaniyah kurang terasa
berpengaruh dalam dirinya. Begitu ia berada di luar negeri, baik ia merantau,
menuntut ilmu, atau bekerja di sana. Demikian juga berpengaruh pada menguatnya persatuan dan persaudaraan
dalam ikatan tanah air yang sama. Perbedaan suku, bahasa, adat istiadat, agama,
hendaknya disatukan dalam hubungan sosial dan persaudaraan setanah air atau
ukhuwah wathaniyah.
Mencintai
tanah air merupakan pernyataan syukur seorang hamba dengan Khaliknya yang telah
mengaruniakan padanya tanah air yang indah. Di tanah air itu kita dibesarkan
oleh kedua orang tua kita, memperoleh pendidikan dari guru-guru, bergaul dengan
teman sejawat sejak masa kanak-kanak sampai tutup usia.
Maka
menjadi penting antara hubungan pemimpin dan masyarakatnya pada ukhuwah
wathoniyah. Ketika relasi hubungan keduanya baik dan harmonis maka akan
tercipta Al-Madinah al-Fadhilah (Negara Ideal). Hal ini seperti yang telah
dibangun oleh Rasulullah di Madinah melalui Piagam Madinah.
Al-Madinah
al-Fadhilah adalah termin yang telah dibuat oleh Al-Farabi. Termin tersebut
definisikan yaitu terciptanya masyarakat yang egaliter dengan seorang pemimpin
yang bijaksana, mendahulukan kepentingan bersama, dan mampu membimbing
masyarakatnya menuju kehidupan yang dapai dunia dan akhirat. (Moh Asy’ari
Muhtar:2018:8)
Untuk
membetuk al-Madinah al-Fadilah perlu pemimpin yang adil dan menjalankan
pemerintahan yang mensejahterakan rakyatnya. Sebagaimana Plato dan Ibnu Abi
Rabi’ yang berpendapat bahwa pemimpin itu adalah seorang yang termulia di
masyarakatnya (Jalal Syaraf:1996:214). Oleh karena itu seseorang yang mau
melarang orang lain dari berbuat sesuatu yang dianggap melanggar peraturan
dan tatanan kehidupan serta
memerintahkan warganya untuk berbuat sesuatu yang mendatangkan manfaat yang dapat
dirasakan bersama oleh masyarakat harusnya orang yang dapat dirasakan bersama
oleh masyarakat haruslah orang yang dapat memberikan contoh agar menjadi
panutuan dan orang terdepan.
Maka
kriteria dan karakter seorang pemimpin
untuk membentuk tatanan al-madinah al-fadilah begitu penting. Ibn Abi Rabi’
memberikan kriteria tersebut, antara lain: (Ibnu Abi Rabi’:1980:102)
·
Seorang kepala negara tidak boleh orang yang mudah marah,
pemarah
·
Bukan orang yang mudah bersumpah
·
Tidak boleh orang yang pelit
·
Tidak boleh orang yang memiliki sikap dengki (pendengki) atau
pendendam
·
Bukan orang yang suka melakukan tindakan yang tindak berfaedah
(menyia-nyiakan waktu)
·
Tidak boleh orang yang penakut
·
Tidak boleh yang suka berfoya-foya dan suka berbangga dengan
keduniaan (hidup glamour dan hura-hura)
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibnu Abi Rabi’ di atas
dapat diiartikan bahwa Ibnu Abi Rabi’ telah memberi kemasan bagi pemikiran
politiknya dengan sentuhan-sentuhan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, dapat
ditegaskan bahwa pandangan beliau tentang bentuk negara ideal bukan pandangan
prototipe Plato.
Jika kriteria kepala negara sudah dipenuhi layaknya seperti yang
disebutkan Ibnu Abu Rabi maka selanjutnya pemimpin tersebut bisa mengelola
negara dengan baik. Beliau juga
mengingatkan bawa kepala negara agar menghindari:
·
Mengangkat seseorang yang tidak memiliki kelayakan, tidak
memiliki kapabilitas karena hal ini akan berakibat fatal terhadap kondisi
negara
·
Mengangkat seseorang yang tidak jujur, yaitu orang yang tidak
dipercaya
·
Mengangkat seseorang yang bertugas menjaga rahasia negara,
tetapi tidak dapat dipercaya (tidak amanah) karena karena dia akan membuka
rahasia negara
·
Mengangkat seseorang yang bertugas untuk menjaga keamanan,
tetapi tidak memiliki kecakapan, maka akibatnya dia akan merusak
·
Mengangkat seseorang untuk menjadi pejabat, tetapi mengabaikan
tugasnya. Ini menunjukkan kelemahan integritasnya.
Berdasarkan apa yang disampaikan Ibnu Abi Rabi’ di atas terkait
dengan bagaimana mengelola negara dengan baik, dapat disampaikan beberapa hal
penting bahwa negara akan menjadi lebih baik jika dikelola oleh orang-orang
yang memiliki karakter sebagai berikut:
·
Berkelayakan, yaitu orang-orang yang memiliki kepribadian yang
baik dan memiliki kapabilitas yang cukup
·
Memiliki sikap jujur dan bertanggung jawab
·
Dapat dipercaya dan tidak mudah berkhianat
·
Orang-orang yang memiliki loyalitas tinggi bagi yang bertugas
menjaga keamanan negara (dan tidak berkhianat)
·
Memiliki komitmen tinggi pada pekerjaannya
·
Memiliki integritas tinggi
Pengelolaan negara yang dikonsepsikan Ibnu Abi Rabi’ pada
dasarnya menekankan pada SDM (sember daya manusia) yang berkualitas. Dengan SDM
yang berkualitas ini diharapkan pengelolaan negara dapat berjalan dengan baik,
bahkan secara otomamik dapat berjalan dengan sendirinya secara sistematik
sesuai dengan aturan dan tata tertib yang diberlakukan tanpa harus dikontrol
dan diawasi secara ketat, sehingga profesionalitas dalam bekerja dapat
terwujud.
Sebaliknya antonim dari al-Madinah al-Fadilah yaitu al-Madinah
al-Jahiliyah. Al-Madinah al-Jahiliyah adalah negara yang para warganya tidak
mengetahui tentang arti kebahagiaan, dan hal ini memang tidak pernah terlintas
di dalam benak mereka. Sebab keinginan mereka terhadap hal-hal yang bersifat
materi terlalu besar dan mereka tidak sudi berfikir tentang hakikat materi yang
berujung pada pencipta pertama. Mereka hanya berfikir tentang masalah yang
dihadapi saat ini, dan tidak sedikit pun mereka berfikir kehidupan yang akan
datang.
Jika suatu negara sudah dijulukan al-Madinah al-Jahiliyah maka
akan terjadi liberalisme dan kapitalisme. Sebab termin tersebut akan menciptakan kesenjangan
sosial yang terlihat pada rakyatnya. Hal tersebut akan mengkikiskan kesejahteraan bersama dan meningkatkan rasa curiga antara
rakyat dan kepala negara.
Al-Farabi menyebutkan bahwa
negara yang mempunyai stratifikasi sosial mencolok maka ada kelompok-kelompok
yang disebut al-muntaqannisun, al-muharrifun, al-mariqah, al-mustarshidun,
al-muzzayafun.
Al-Mutaqannisun (orang berburu)
dimaknai dalam komunitas Islam diibaratkan sebagai orang yang seakan-akan
secara khusyuk melaksanakan ajaran agama Islam, dan percaya kepada Tuhan, hal
yang gaib, serta hari kiamat, namun sesuatu yang dilakukan tersebut hanya agar
orang lain menaruh hormat kepada dirinya.
Al-Muharrifun (orang orang yang
menyeleweng), mereka hanya ingin menuruti hawa nafsu sekalipun melanggar
peraturan-peraturan dalam negara itu. Mereka dengan kepandaian pengolahab
kata-kata mampu membuat interpretasi-interpretasi terhadap peraturan-peraturan
yang berlaku dengan argumentasi-argumentasi yang bisa diterima.
Al-Mariqah (orang-orang yang
keluar dari ketentuan) yaitu orang-orang yang sebenarnya tidak bermaksud
menyelewengkan peraturan-peraturan negara, tetapi karena keterbatasan akal maka
interpretasi mereka menjadi salah terhadap peraturan-peraturan yang ada.
Sehingga hal yang mereka lakukan bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya
dimaksudkan oleh pimpinan utama.
Al-Mustarshidun (orang-orang yang
mencari ketenangan), mereka selalu diliputi keraguan dalam berkeyakinan. Mereka
ingin membuktikan kebenaran keyakinan mereka selama ini, baik melalui
pernyataan-pernyataan maupun perbuatan. Mereka tidak berlawanan dengan negara,
akan tetapi mereka secara terus menerus mencari bukti kebenaran yang mereka
yakini.
Al-Muzayyafun (orang-orang yang
memalsukan), mereka selalu memalsukan keterangan tentang keyakinan benar yang
ada selama ini, sekalipun mereka mengetahui secara pasti bahwa keyakinan tersebut
benar adanya. Tujuan mereka dengan prilaku tersebut hanya untuk mendapatkan
keuntungan.
1 Komentar