John L. Esposito mendeskripsikan Masyarakat Madinah terdiri dari banyak golongan , keluarga (klan), termasuk beberapa golongan keluarga Yahudi. Saat itu Nabi Muhammad dapat mengkonsolidasikan kekuasaan dan wewenangnya, memasukkan keluarga-keluarga penyembah berhala dalam Islam. Pada akhirnya, Muhammad tidak hanya menjadi Rasul tetapi juga pemimpin masyarakat. Untuk itu Islam tidak mengenal adanya pemilahan antara agama dan negara, antara agama dan masyarakat, individu dan komunitas.[1]
Hal di atas
menggambarkan bahwa Nabi Muhammad adalah tokoh humanisme dunia. Sebagaimana ia
bersabda, “من لا يرحم
الناس لا يرحمه الله عز و جل”-
Barangsiapa yang tidak mengasihi manusia,
maka Allah azza wa jalla tidak akan merahmatinya.[2] Pesan
inilah yang memuat informasi bahwa Islam merupakan agama yang humanis dan agama
yang menjalin ukhuwah insaniyah.[3]
Konsep
persaudaraan sesama manusia yaitu mengeyampingkan ego kesukuan, pemaksaan dalam
agama, dan ekslusif pada pergaulan. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam QS
al-Hujurat/49:13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. [QS: Al-Hujurat/49:13]
Sedangkan Mengenai kehidupan beragama di
dalam Al-Quran agar tidak saling memaksa antara satu pemeluk agama lain.
Al-Quran mengarahkan agar umat beragama meyakini agamanya dengan kesadaran dan
keinsyafan yang tulus, karena telah antara petunjuk dan kesesatan serta telah
jelas pula antara hak dan batil. Allah swt berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ
الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ
اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS:Al-Baqarah/2:256].
Bukan berarti dengan adanya ayat di
atas menjadikan manusia gampang berpindah agama ataupun dan merasa benar dengan
agamanya. Akan tetapi, setiap pemeluk agama hendaknya konsekuen meyakini
agamanya masing-masing dan beribadah menurut keyakinannya.[4]
Di sisi lain antar pemeluk agama mempunyai toleransi dan tenggang rasa sebagai
wujud Persatuan dan Keragamaan. Sebagaimana firman Allah:
قُلْ يَا أَيُهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا
تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ
مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ
وَلِيَ دِينِ (6)
Katakanlah: “Wahai orang-orang kafir,
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah pula mu menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu
agamamu dan untukku agamamu. [QS:Al-Kafirun/109:1-6]
Melalui
konteks ayat-ayat Al-Quran dan hadis di atas maka Persatuan dalam Perbedaan
terbangun atas konteks humanism (Telaah Kritis Piagam Madinah). Hal itu telah
dibangun oleh Rasulullah melalui Piagam Madinah.
Gambar diambil dari: pengajar.co.id
[1] John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth Or Reality, New York: Oxford University
Press:1996, h. 39
[2] Hadis Shahih Riwayat
al-Bukhari: 6828
[3] Ukhuwah Insaniah merupakan persaudaraan umat manusia yang
mewujudkan kedamaian dunia melalui interaksi
[4] Zakky Mubarok, Menjadi Cendekiawan Muslim, Jakarta: Yayasan Ukhuwah
Insaniyah: 2010, h. 373
3 Komentar
Lanjutkan dan terus berkarya Habib