Imam al-Ghazali hidup hampir 55 tahun dan sudah menulis buku sejak usia
20 tahun. Keproduktifannya terlihat ketika ia menghabiskan 10 sampai 11 tahun
untuk membaca, menulis, dan mengajar. Selain itu, dia harus menjawab sekitar
dua ribu pucuk surat yang berasal dari dekat dan jauh untuk meminta fatwa dan
putusannya. Buku yang ditulis oleh Sang Imam berjumlah 400 judul, antara lain :
1. Di bidang
teologi: Al-Wasith (fikih Syafiiyah), Al-Basith al-Wajiz (tentang
hukum agama), Bayanul Qaulani lisy-Syafii, Khulasatur-Rasail
(inti fikih), Ikhtisarul-Mukhtasar, Ghayatul-Ghaur, Majmuatul fatawa (Kumpulan
putusan hukum), ar-Risatul Qudsiyyah (hukum-hukum agama dari Nabi)
2. Fikih: Khulasatul
Fiqh (saripati fikih), Al-Wajiz, Al-Iqtishad fil I’tiqad (penjelasan
akidah)
3. Logika. Mizanul
Amal, Mihakhun- Nazhar fil Manthiq (Batu Asah Pemikiran tentang Logika),
Miyarul Ilm (Batu Timbang Ilmu), Al-Ma’arif (tentang diskursus
logika)
4. Filsafat: Maqashidul
Falasifah (Tujuan Filosof), Munqidz Minadh Dhalal (terlepas dari
kesesatan). Kitabul Arba’in (ringkasan dari Ihya), Ar-Risatul
Laduniyyah (mengenai illham dan wahyu)
5. Teologi
Skolastik: Tahafatul-falasifah (kerancuan Filosof), Iqtishad,
Mustajhari (mengenai petunjuk bagi kaum mualaf), Iljamtil Awam
(Fitnah Orang Awam), Fa’isatuz Zindiq (Penolakan Kaum Ateis), Al-Fikr
wal- Ibrah (Meditasi dan Kontemplasi), Al-Hikmah (Kebijaksanaan
Tuhan), Hakikatur-Ruh (Hakikat Ruh)
6. Spiritual
dan Moral: Ihya-Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), Kimiya-i-Sa’adat
(Kimia Kebahagiaan), Akhlaqul Abrar ( Amalan Orang Saleh), Jawahirul
Qur’an (Permata Al-Quran), Minhajul Abidin (Jalan Para Pengabdi),
Bidayah Hidayah (Permulaan Petunjuk)
7.
Tafsir: Yaqut At-Takwil ( berisi
tafsir al-Quran dalam 40 Jilid yang tidak terselamatkan)
Kitab al-Mustashfa karya
Imam al-Ghazali menjadi bukti kualitas dan kapabilitas sang pengarang di bidang
fiqih. Di bagian akhir kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazâli menyebutkan bahwa
kitab tersebut selesai ditulis pada tahun 503 H. Berbekal informasi ini dan
bersandarkan pada publikasi ilmiah bahwa kitab tersebut ditulis selama tiga
tahun, maka dapat disimpulkan bahwa beliau memulai proyek risetnya ini kurang
lebih pada tahun 499 H. (Louay Safi:1996:8)
Pada tahun 499
H, al-Ghazâlî mendapat permintaan dari para mahasiswanya di Universitas Nidhâm
al-Mulk agar menulis sebuah kitab pegangan (semacam diktat) tentang metode
penggalian hukum Islam. Berbekal permintaan inilah, lalu dijawab oleh
al-Ghazâli dengan menghadirkan kitab al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushûl.
Jika menilik dari tahun akhir penulisan, maka kurang lebihnya al-Mustashfa
adalah kitab akhir dari karya beliau. Kitabnya ditulis dalam kondisi alam
pemikiran yang sudah benar-benar matang. (Louay Safi:1996:9)
Dr. Muhammad
Tameer, pentahqiq kitab al-Mustashfa, menyebutkan bahwa tidak dipungkiri kitab
al-Mustasyfa fi Ushul al-Fiqh merupakan kitab yang paling penting di antara
kitab-kitab ushul fiqh pada umumnya. Biasanya,
kitab-kitab tersebut yang dikarang oleh para teolog atau ulama bermazhab
syafiiyah pada khususnya. Kitab al-Mustasyfa satu diantara empat kitab yang
biasanya diajarkan pada tataran madrasah bermazhab Syafii’. Ibn Khaldun berkata
pada kitabnya yang berjudul “al-muqadimah”, “Kitab al-Mustashfa diantara terbaiknya
kitab-kitab mutakalimin yang ada pada masa itu, kitab “al-Burhan” karya Imam
Haramain (Imam Juwaini) , dan kitab “al-Mustashfa” karya Imam Ghazali, dua
kitab tersebut berbasis kontruksi paham As-ariyah. Adapun kitab “al-Ahdu” Karya
Abd al-Jabbar, dan syarah kitab al-Ahdu yaitu al-Mu’tamid karya Abi Husain
al-Bashri, keduanya merupakan karya dari ulama Mu’tazilah. Keempat buku
tersebut memuat kaidah-kaidah pada bidang “Ushul Fiqh” dan rukun-rukunya. Kemudian
selain keempat kitab tersebut ada dua kitab yang berkaitan dari para mutakalim
yang mutaakhirin, dua diantaranya yaitu kitab “Mahsul” yang ditulis oleh Imam
Fakhruddin, dan kitab “al-Ihkam” yang ditulis oleh Syaifu al-Din al-Amudi.
Para ulama sangat menghormati dan
mempelajari kitab ini (al-Mustahfa) dengan penghormatan yang agung. Ulama-ulama
dari Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali mengenal dan mempelajari
kitab al-Mustashfa, serta memberikan perhatian penuh kepadanya. Salah satu
ulama telah mensyarahkan dan meringkas kitab “al-Mustashfa”, seperti Imam Ibn
Quddamah al-Muqadasi al-Hanbali pemilik kitab al-Mughni (620 H). Beliau menulis
kitab “Raudah al-Nadzir wa Jannah al-Manazir” dengan gaya bahasa
yang mirip seperti gaya bahasa Imam Ghazali dan memuat referensi (al-Mustashfa)
sebagai tambahan kaidah-kaidah pada kitabnya.
Kitab al-Mustashfa
hadir di tengah-tengah para mutakalimin (teolog) dalam menentukan kaidah-kaidah
ushul fiqih. Setelah sebelumnya kami (para pentahqiq kitab tersebut) dibuat
gembira olehnya, karena kitab tersebut memperkaya khasanah keilmuan kami
sehingga kami menerbitkannya dalam rangka untuk penelitian. Pentingnya kitab
al-Mustashfa ini karena perbedaan alur tersebut dengan alur pemikiran ahli fikih
lainnya antara lain:
- Penelitian para teolog atau mutakalim mementingkan kepada asas
kaidah-kaidah ushul melalui dalil-dalil aqli dan naqli tanpa memperhatikan
aspek harmonisasi mazhab si pengarang atau kontradiksinya. Oleh karena itu
Al-Mustashfa bukan saja jalan untuk tunduk dalam satu mazhab saja akan
tetapi ia memperjelas dalil-dalil permasalahan disertai dengan analisis di
pengarang.
- Kegemaran Imam Ghazali dalam kerangka berfikirnya merujuk pada
dalil aqli terlebih dahulu kemudian dikontruksikan dengan pandangan
teoritis dalam menetapkan kaidah-kaidah ushul fiqih.
- Kitab al-Mustasfa lebih meringkaskan kaidah-kaidah fiqih dibanding
permasalahan-permaslahannya, tanpa memandang furuiyah kecuali ketika
permasalahan-permasalahan tersebut membutuhkan penjelasan dan keterangan.
Kecerdasan Imam Ghazali membuat para ulama-ulama
di masanya kagum dan memujinya. Imam Haramain yang notabene gurunya berkata,
“Imam Ghazali itu bagaikan lautan ilmu yang dalam”. Adapun Imam Muhammad bin
Yahya yang ia sebagai murid Imam Ghazali berkata, “Al-Ghazali itu Imam Syafi’i
kedua.” Ibn Jauzi berkata, “Imam Ghazaali unggul dalam teori pada materi-materi
yang urgent atau materi yang dibutuhkan, pemikirannya di atas sahabat-sahabat
semasanya, ia teliti dalam menggolongkan bab-bab yang ditulisnya pada sisi
ushul dan furu’.”
0 Komentar