Mungkin
sebagian orang akan dengan pesimis bertanya tentang maksud dari kata kenormalan
baru (baca: New Normal). Mungkinkah ada “kebaruan” dalam sesuatu yang normal? Sebelum
kita nanti mengaitkan diskusi hal ini dengan agama, dalam hal ini adalah Islam,
baiknya kita memahami dulu apa itu kenormalan yang baru. Agar kita sama-sama
mengerti apa yang sedang kita perbincangkan.
Kata ‘normal’ dalam
definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti suatu keadaan yang menurut
aturan atau menurut pola umum sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau
kaidah, sesuai dengan keadaan yang biasa, tanpa cacat, tidak ada kelainan dan
bebas dari gangguan jiwa[1].
Dalam konteks
pandemic ini, tentu normal yang dimaksud lebih dekat kepada suatu keadaan
dimana segala hal menurut kepada aturan dan pola yang umum. Normal adalah
dimana orang-orang terbiasa dengan hal-hal yang biasa mereka lakukan. Entah itu
hal yang bersifat esensial maupun superfisial.
Yang kemudian
muncul dan menjadi pertanyaan, mungkinkah ada hal yang disebut dengan
‘kenormalan yang baru’?. Padanan kata ini kalau diartikan secara harfiah akan
bermakna upaya untuk memperbaharui segala aturan dan norma umum. Dari definisi
tekstual ini kita bisa melihat semangat dinamis. Bahwa normal itu tidak pasif,
melainkan selalu bergerak progresif.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia sendiri menyajikan sebuah tawaran padanan kata yang mungkin
memberikan semangat yang sama. Berasal dari derivasi kata normal, lahirlah
sebuah kata lain yakni ‘normalisasi’ yang berarti sebuah tindakan menjadikan
normal (biasa) kembali, tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan, yang
biasa atau yang normal.
Kenormalan Baru
Yang Dibangun Dari Reruntuhan Masa Lalu
Dalam bukunya
yang berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes The World, Slavoj Zizek (2020) membuat
sebuah pernyataan yang menarik dan kemudian melahirkan sebuah terma baru yang
kita sedang diskusikan sekarang, pernyataan tersebut berbunyi begini:
There is no return
to normal, the new “normal” will have to be constructed on the ruins of our old
lives, or we will find ourselves in a new barbarism whose signs are already
clearly discernible[2].
Tidak ada
kemungkinan kembali ke keadaan normal, melainkan kenormalan baru akan dibangun
dari puing-puing kehidupan lama kita atau kita akan menyaksikan diri kita dalam
kebiadaban baru yang tanda-tandanya sudah terlihat jelas.
Zizek tidak
sedang membual dengan prediksinya tersebut, ia sedang menawarkan solusi filosofis
dari fenomena yang sedang terjadi. Dimana realitas keagamaan sedang dibenturkan
dengan sains, sistem ekonomi gotong royong dihadapkan dengan raksasa
kapitalisme, arus informasi mengaburkan kebenaran dan otoritasnya. Dan semua
itu sudah terjadi berulang-ulang dalam sejarah manusia, namun kita enggan
secara bijak memahami dan mengambil hikmahnya. Zizek menulis,
Hegel wrote
that the only thing we can learn from history is that we learn nothing from
history[3].
Mengutip Hegel,
Zizek mengungkapkan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita pelajari dari
sejarah adalah kita tidak mempelajari apapun dari sejarah. Manusia memiliki
kecenderungan mengabaikan peristiwa-peristiwa yang harusnya bisa dihikmati.
Dalam tulisan
ini, saya tidak sedang mengamini seluruh argumen yang diungkapkan oleh Zizek di
atas. Namun, baiknya kita renungkan
bagaimana al-Quran sendiri berbicara tentang kerusakan sebagaimana tertuang
dalam surah al-Rum (30) ayat 41 berikut:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا
كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ
يَرۡجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar). (QS. Al-Rum [30]: 41).
Dari ayat di atas, mungkinkah yang
dimaksud dengan kata “yarji’un” adalah sebuah kenormalan yang baru? Ini
adalah poin yang bisa kita diskusikan nanti. Sebelumnya, saya akan mengajak
anda untuk kembali merenungkan perubahan sosial yang kita alami selama pandemic
ini.
Physical Distancing, Ruang Publik
Baru dan Keadaan Sosial Kita
Saya mencoba
menerka apa kira-kira yang akan diwariskan oleh pandemik Covid 19 ini di
kemudian hari. Hal yang pertama kali muncul dalam benak saya adalah kita akan
terbiasa dengan jarak yang kita buat selama pandemi ini melanda dunia. Sebagaimana
bunyi hukum inersia yang menyatakan bahwa semua benda fisik akan memiliki
kecenderungan untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya, kita yang
terbiasa dengan physical distancing akan mengalami kekakuan setelah
sekian lama hanya terhubung lewat saluran-saluran media sosial.
Ketika wabah
ini melanda, kita dipaksa untuk membatasi jarak kita. Kita dilarang bersalaman,
dianjurkan menghindari kerumunan dan diatur untuk bekerja dari rumah saja. Selayaknya
teori kelembaman berlaku pada benda, hukum itu juga berlaku pada jiwa sosial
kita. Di awal pandemik ini, kita sulit sekali untuk menerima bahwa kita harus
karantina mandiri di rumah, mengisolasi diri kita jauh dari hiruk pikuk sosial
yang nanti akan kita rindukan.
Kira-kira,
pasca Covid 19 ini berlalu, kita akan berjarak secara sosial dengan manusia
lainnya. Dengan teknologi yang memungkinkan kita bekerja dari rumah, kita
dibuat menjadi individu yang mekanistik. Dari rumah kita dibuat bekerja bagai
robot. Dengan evaluasi dan monitoring sistematik, kita didisiplinkan sedemikian
rupa. Waktu kita habis di rumah, terkurung dari orang-orang yang biasa kita
temui.
Sebagai makhluk
sosial, di tengah isolasi ini kita rindu dengan ruang perjumpaan. Semacam public
sphere a la Habermas, namun lebih sederhana. Kita merindukan obrolan ringan
di warung kopi, gosip ibu-ibu ketika membeli ikan di kompleks. Dalam konteks
keagamaan, kita rindu perayaan selamatan, maulidan, tarawih Ramadhan dan
tausiyah singkat sebelum berbuka.
Mungkin bagi
sebagian orang, hubungan relasional tadi terkesan singkat dan tanpa makna. Namun
bagi saya sendiri, ada hal-hal yang tidak bisa diwakili oleh teks-teks chatting
namun bisa tumpah dalam sebuah ruang perjumpaan. Karena itu, saya selalu girang
apabila ada dosen yang menganjurkan perkuliahan dilakukan dengan virtual
meeting.
Di tengah
krisis ini, muncul sebuah pertanyaan. Ketika wabah ini berlalu dan orang-orang
telah terbiasa dengan sekat mereka masing-masing, lantas bagaimana agama memainkan
perannya untuk merekatkan kembali jarak ini?
Untuk menjawab
pertanyaan di atas, agak riskan memang kalau kita hanya menghadirkan
argumen-argumen keagamaan tanpa memperhatikan pendekatan-pendekatan lain
semisal pendekatan sosial. Hal ini karena teks keagamaan tadi akan sulit
diterjemahkan ke dalam konteks operasional. Saya mengutip Nurcholish Madjid (1987:
156) ketika menjabarkan tantangan umat beragama pada abad modern, untuk
menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut agama harus disandingkan dengan
aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia.
Diyakini atau
tidak, wabah ini semakin meningkatkan kesadaran manusia akan tanggung jawab
pribadinya masing-masing. Tanggung jawabnya untuk menjaga kesehatan dirinya dan
keluarganya di rumah. Tanggung jawabnya untuk menghadirkan rasa aman dengan
cara menjaga kebersihan, mengikuti pola hidup sehat dan mengantisipasi segala
bentuk celah penyebaran virus.
Di sini agama
dituntut perannya untuk menanamkan rasa tanggung jawab sosial bagi pemeluknya. Tidak
perlu ada lagi perdebatan antara pandangan keagamaan dan ilmu pengetahuan. Ketimbang
menyampaikan pendapat yang mempertentangkan antara agama dan ilmu pengetahuan,
para dai diminta untuk menyampaikan tausiyah sosial kebangsaan untuk merekatkan
sendi-sendi kebangsaan.
Islam
mengajarkan tanggung jawab kepada Allah di akhirat kelak, karena itu di dunia
pemeluknya dituntut untuk bisa melakukan kebaikan sebanyaknya dan menebar
manfaat seluasnya. Dalam konteks ini, keimanan akan memiliki implikasi langsung
kepada amal saleh yang memasyarakat. Di situlah kebenaran Islam ditunjukkan
tidak hanya dalam aspek kognitif namun terpancar dalam aspek sosial
kemasyarakatan dalam pribadi masing-masing pemeluknya. Sebagaimana QS 6 ayat
121 yang berbunyi, “wa ja’alnaa lahu nuuran yamsyii bihii fi an-naasi”
(dan kami berikan ia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah
orang banyak).
Selain tanggung
jawab sosial, agama juga dapat memainkan peran untuk menumbuhkan kerjasama
kemanusiaan. Disebabkan tanggung jawabnya kepada Allah, seorang manusia harus
selalu berpijak pada prinsip persamaan. Dalam Islam, manusia senantiasa diseru
untuk menggalang kerjasama atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan.
Sekat-sekat sosial bisa dihilangkan dengan prinsip kebersamaan ini. Tidak perlu
ada lagi narasi mempertentangkan antara orang kaya yang bisa tertular virus oleh
orang miskin. Atau sebaliknya, kelas menengah yang kerap mengkampanyekan work
from home sementara kelas bawah berjibaku di lapangan dengan keadaan
ekonomi yang morat-marit.
Dengan prinsip
kebersamaan, “wa ta’aawanuu ‘alal birri wa at-taqwaa”, (QS. 5: 2) sekat
sosial tersebut bisa kita sibak. Tidak perlu memandang agama, status sosial,
pendidikan, organisasi keagamaan, kita bisa bersama-sama melewati proses
penyembuhan setelah pandemik ini.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Luring, (2020), Versi 1.5.1.
[2] Slavoj Zizek, (2020), Pandemic! Covid-19 Shakes The World, New
York & London: OR Books, h. 3.
[3] Slavoj Zizek, (2020), Pandemic! Covid-19 Shakes The World,
New York & London: OR Books, h. 3.
0 Komentar