Manusia modern sangat mengandalkan rasio dibandingkan pemahaman
empirik melalui firman-firman Tuhan. Disinilah keraguan manusia terhadap agama
berlaku. Keraguan tersebut timbul akibat asosiasi tanpa Tuhan pun manusia bisa
hidup. Padahal agama adalah kiat dan teori tentang kehidupan batiniah manusia,
sejauh kehidupan batinnya bergantung pada manusia sendiri dan pada pandangan
yang permanen dalam kenyataan (Alferd, 2009:4).
Redaksi al-Quran di dalam surat Al-Hasyr: 19 mengatakan “Dan Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Tuhan, maka Dia (Tuhan) menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang fasik. Ayat tersebut menimbulkan prototipe bahwa manusia yang mendekati Tuhan-nya, maka Tuhan akan mengingatnya. Sedangkan manusia yang lupa kepada-Nya maka ia akan dilupakan oleh-Nya.
Jika manusia
memikirkan Tuhan maka akal akan terjebak atas penyimpangan realitas-realitas.
Yang ada dirinya akan menjadi kualitas rendah atas pemikiran-pemikiran imagi.
Tak ada gunanya mendefinisikan Tuhan yang mengadakan perubahan, karena Dia berada di luar kata-kata dan deksripsi.
Namun demikian, sebagai sebuah pengalaman yang memenuhi dan mengubah kemanusiaan
tanpa merusak integritasnya, “Tuhan” merupakan realitas yang tidak terbantahkan
(Karen Amstrong, 2009: 300)
Kedekatan Nabi Muhammad dengan Tuhan begitu efektif dan
intens. Sisi inilah yang membuat Tuhan ingin bertemu lewat medium Mi’raj. Jarak
sehasta dengan Tuhan merupakan keagungan Rasul mencapai derajat Tajallinya.
Bahkan sebelum ia bertemu dengan-Nya, ia melihat keadaan manusia bahagia dan
manusia yang kurang beruntung. Tuhan
memperlihatkan demikian agar Rasul memberikan emanasi syafaat kepada
umat-Nya.
Umat Nabi Muhammad
pun bisa dekat dengan Tuhan-nya. Kedekatan tersebut disebut ketakwaan. Titik inti ketakwaan yaitu
mentaati segala yang datang dari Tuhan dan menjauhi apa yang dilarang. Apabila
salah seorang umatnya menjalani ketakwaan secara representatif maka Tuhan akan
memberinya suatu petunjuk berupa jalan keluar dari masalah-masalah duniawiyah.
Sebagaimana firman Tuhan, “Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia
akan memberikan kepadanya jalan keluar.” (Q.S ath-Thalaq (65): 2).
Jalan ketakwaan salah satunya bisa ditempuh dengan tasawuf. Melalui tasawuf seseorang belajar untuk mengetahui cara pembersihan hati dari segala dosa-dosa yang telah dilakukannya. Setelah pembersihan hati diaktifkan maka kedekatannya dengan Tuhan bisa terlihat. Karena dasar ajaran kaum sufi (seorang yang menempuh jalan tasawuf) ialah introspeksi diri dalam menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, serta mengungkapkan cita rasa dan pengalaman spiritual ini yang diperoleh setelah bermujahadah (kesungguhan) (Ibnu Khaldun, 2001: 867).
Adapun orang-orang yang mempunyai daya spiritualitas tinggi disebut wali Allah. Wali Allah mempunyai dua macam. Pertama wali secara umum terjadi setiap mu’min, sebagaimana dinyatakan sebuah pepatah bahwa orang yang beriman itu adalah wali Allah. Kedua, ada wali yang khusus karena dipilih dan dikehendaki oleh Allah Swt., wali yang semacam ini ditetapkan (al-Kalabadzi, 2004: 74). Bila dilihat dari bentuk kewalian tersebut maka hal itu bersinggungan dengan ayat al-Quran surat Yunus ayat 62-64 yang menyatakan “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada rasa khawatir takut terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati. Yaitu orang-orang yang telah beriman dan mereka selalu bertakwa. Mereka memiliki berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah. Demikian itu merupakan kemenangan yang besar.”
Kata “wali” identik dengan karamah-karamah.
Dengan karamah-karamah yang ada pada diri wali maka orang-orang menghampiri
untuk mengharapkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah dunia agar dimudahkan.
Namun karamah-karamah tersebut bukan dipergunakan untuk jalan kemaksiatan malah
sebaliknya untuk membela agamanya. Adanya karamah-karamah pada diri para wali
tersebut semata-semata untuk mendukung, membantu dan melancarkan dakwah nabi,
juga memperkokoh keterangan-keterangan nabi, membenarkan dakwah nabi dan
menetapkan Keesaan (tauhid) Allah Yang Maha Mulia (al-Kalabadzi, 2004: 81).
Penghormatan
masyarakat terhadap wali-wali bukan hanya semasa hidup mereka saja akan tetapi
hal itu tetap eksis walau mereka wafat. Karena masyarakat percaya bahwa
wali-wali tersebut dianggap orang-orang suci. Dengan wasilah mereka maka secara
tidak langsung apa yang telah dimohonkan bisa dikabulkan. Pada Abad kedua
belas, kalangan Sunni dan Syiah beranggapan bahwa permohonan atau doa yang
disampaikan kepada orang suci merupakan suatu bentuk ibadah yang maknanya telah
dikaburkan oleh rekonsiliasi antara ajaran-ajaran filsafat tentang kesantoan
dengan prinsip-prinsip ortodoks, yang terutama dipengaruhi ajaran-ajaran
tasawuf (Hitti, 2005: 554).
Maka
dari itu berkembanglah di masyarakat istilah tawasul. Tawasul ini sebagai
penghubung antara seorang hamba dengan Allah. Akan tetapi cara hubungan manusia
dengan Allah tidak bisa langsung pada tataran tawasul ini. Karena syarat dari
tawasul ini memerlukan media atau perantara supaya doa manusia sampai kepada
Robbnya. Tentunya pencarian perantara bisa melalui orang-orang shalih,
orang-orang yang Allah ridhoi baik sikap daan perbuatan mereka.
0 Komentar