Hermeneutika secara
etimologis merupakan padanan kata dari bahasa Inggris yaitu hermeneuntic (tanpa
‘s) dan hermeneutics (dengan ‘s). Kata yang pertama dimaksudkan sebagai bentuk
adjective (kata sifat) yang apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu
ketafsiran, yakni menunjuk pada keadaan atau sifat yang terdapat pada
penafsiran. Sementara kata yang kedua hermeneutics berarti kata benda atau
noun. Kata ini mengandung tiga makna:[1]
·
Ilmu Penafsiran·
Ilmu untuk mengetahui
kata-kata yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis.
·
Penafsiran secara khusus
menunjuk kepada penafsiran teks atau kitab suci
Pakar linguistik
berkata bahwa hermeneutika berasal dari kata Hermenium (Bahasa Yunani) yang
berarti penjelasan, penafsiran, penejemahan. Ada juga yang berpendapat bahwa
kata tersebut terambil dari kata Hermes, yang dalam mitologi Yunani merupakan
sosok yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa dan bertugas menjelaskan
maksudnya kepada manusia.[2]
Secara teologis
Hermes juga diidentikkan oleh nabi utusan Tuhan. Sayyed Hosen Nashr memiliki
pandangan bahwa Hermes yaitu Nabi Idris yang disebut di dalam al-Quran.[3] Ia
lebih dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, tekhnologi
tenun, kedokteran, astrologi, dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar di
pesantren bahwa Nabi Idris adalah orang yang ahli dibidang pertenunan (tukang
tenun). Sedangkan di lingkungan Yahudi Hermes disebut juga dengan Tohth, dalam
mitologi Mesir dikenal dengan Nabi Musa As.
Baik Hermes, Nabi
Idris, atau Nabi Musa merupakan sosok-sosok penting yang mendapatkan pesan
Tuhan yang berbahasa langit, akan tetapi mereka menyampaikan pesan tersebut
dalam bahasa bumi kepada manusia. Dalam hal ini ada makna metaforis dari
profesi tukang tenun atau pintal ini muncul, yaitu memintal atau merangkai kata
Tuhan, agar mudah dimengerti dan mudah dipahami manusia.
Pengasosiasian
hermenutika dengan Hermes, Nabi Idris, atau nabi Musa tersebut secara sekilas
menunjukkan adanya adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu:[4]
1.
Tanda, pesan, atau teks yang
menjadi sumber atau bahan penafsiran yang diasosiasikan oleh Hermes, Nabi
Idris, atau Nabi Musa
2.
Perantara atau penafsir
3.
Penyampai pesan itu oleh sang
perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada manusia
Ketiga unsur
tersebut merupakan unsur-unsur pemaknaan
teks melalui semiotik dan semantik. Semiotik, ilmu tentang tantang tanda,
bersifat formal sampai batas dissosiasi bahasa ke dalam bagian-bagian pokoknya.
Semantik, ilmu tentang kalimat, langsung fokus dengan
konsep makna (yang dalam tahapan ini
sinonim dengan meaning (makna), sebelum dijelaskan berikut perbedaan antara
makna dan referensi), ke dalam batasan bahwa secara fundamental dipahami oleh
prosedur integratif bahasa.[5]
Di dunia Barat
(Kristen), harmeneutika digunakan pertama kali di kalangan sebagian cendikiawan
Kristen Protestan sekitar tahun 1645 M. Mereka itu adalah yang tidak puas
dengan penafsiran gereja terhadap teks Perjanjian Lama dan Baru. Tidak heran
jika The New Encylopedia Britannica menjelaskan bahwa hermeneutika
adalah the study of the general principle of Biblical interpretation to
discover the truths and values of the bible (Study prinsip-prinsip umum
tentang penafsiran Bibel untuk mencari kebenaran dan nilai-nilai kebenaran
Bibel).[6]
Menurut para Ahli,
Kristen mengadopsi Hermeneutika untuk mereka jadikan alat atau seni
interpretasi karena para tokoh dan cendikia Kristen hampir sepakat bahwa Bibel
secara harfiahnya bukan kalam Tuhan. Itu dibuktikan antara lain dengan adanya
perbedaan pengarang yang secara otomatis melahirkan gaya yang berbeda-beda, bahkan
informasi yang bertolak belakang.
Pendapat di atas
memunculkan perspektif bahwa hermeneutika diperuntukan bagi Bible. Sehingga
muncul perumusan pemaknaan pada teks kitab suci tersebut menekankan pada tujuan
penulis teks, ada juga yang pada pemahaman penakwil/ peneliti teks, ada lagi
yang menyatakan adanya makna tertentu dan final bagi sebuah teks, sementara
yang lain membuka pintu pemahaman bagi masing-masing tanpa akhir, dengan alasan
perbedaan latar belakang, dan keanekaragaman situasi masing-masing penakwil
teks.
Di dalam bahasa
Arab Hermeneutika dimaknai dengan Ilm al-Takwil atau al-Takwiliyah dan ada juga
yang langsung menamainya dengan ilmu tafsir karena menelaah teks agar menemukan
maksud teks yang diteliti.[7]
Agaknya penamaannya lebih tepat al-takwil atau al-takwiliyah sebab titik
beratnya yaitu pengalihan makna satu kata/ susunan ke makna lain yang lebih
tepat menurut sang penakwil.
Adapun priodeisasi
Hermeunitika ditijau dari sejarahnya. Priode tersebut terdiri dari empat aliran
Hermeneutika:
Pertama, aliran konvensional/klasik
yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834 M) dan Wilhelm Diltheiy (1833-1911M). Pandangan Friedrich
Schleiermacher (1768-1834 M) mencetuskan Hermeneutik Teoritik. Menurutnya,
penafsiran adalah memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan pengarangnya.
Makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan penafsiran dan
pandangannya, melainkan diturunkannya dari teks dan bersifat instruktif.[8]
Pandangan Friedrich Schleiermacher bersifat konstruktif, yaitu
melihat dari kedua sisi, baik teks yang diteliti dan kompetensi peneliti.
Sehingga pengalaman dan pengetahuan peneliti mengakomodir dalam pemaknaan teks
yang diteliti. Titik berat lainnya,
kondisi dan tujuan peneliti teks tersebut, mau dibawa ke arah mana dalam
penelitian teks tersebut. Untuk itu perasaan, niat, dan keinginan peneliti akan
tertuang dalam pemaknaan teks tersebut.
Perspektif Wilhelm Diltheiy banyak
dipengaruhi oleh Friedrich Schleiermacher. Tokoh ini dianggap tokoh kedua dalam
era hermeneutika romansis dan mempengaruhi juga tokoh-tokoh sesudahnya.
Kehidupannya pada abad ke-19 M terjadi perkembangan pesat menyangkut filsafat
ilmu dan dasar-dasarnya, khususnya pengaruh dari Imanuel Kant (1724-1804M)
dengan ide-ide metafisika dan pandangan-pandangan yang filosofis.
Wilhelm Diltheiy menekankankan bahwa
pemahaman teks sangat bergantung pada antara tiga pihak yang saling berkait
satu sama lain. Pihak-pihak tersebut antara lain, pertama, teks yang fungsinya
sebagai kesimpulan pengalaman hidup dan wadah nilai-nilai kehidupan. Kedua,
wawasan penafsir yang harus terbuka terhadap aneka pengalaman pengucap/ penulis
teks. Ketiga, hubungan erat antara kedua hal di atas, hubungan yang menjadikan
sang penafsir diperkaya pengalaman dan pemahamannya serta diperluas wawasannya
sehingga pada akhirnya ia mampu untuk memperkaya pengertian teks dan melahirkan
makna-makna baru yang bisa jadi pemahaman penafsir ketika itu lebih baik dari
pemahaman pengarang teks.[9]
Pengejawantahan hermeneutika Wilhelm
Diltheiy mempunyai sisi yang berbeda dengan
Friedrich Schleiermacher. Pasalnya Diltheiy menganggap penafsir bisa
mengeskplore dalam memaknai dan memahami teks. Pada akhirnya, si penafsir bisa
mengungguli pengarang teks di dalam menafsirkannya. Hal tersebut akan
memunculkan makna baru dalam teks tersebut.
Kedua, aliran hermeneutika filosofis
adalah hal-hal yang berkaitan dengan hakikat pemahaman dan kondisi penemuannya
tanpa membahas metode tentang makna pemahaman. Pada aliran ini mempelajari
hakikat hal yang hal mengerti/ memahami sesuatu. Sesuatu yang dimaksudkan itu
adalah teks, naskah-naskah kuno, kitab-kitab suci, yang kesemuanya merupakan
objek kesahihan metode historis dan dogmatic tidak bersifat mutlak. Justru hal
ini menimbulkan persoalan yaitu dalam hal apakah sudut pandang hermeneutika itu
sendiri memiliki kesahihan historis dan dogmatik.[10]
Ada dua tokoh popular dari teori
hermeneutik filosofis yaitu Martin Heidegger (1889-1976 M) dan Hans Georg
Gadamer (1900-2002M). Heidegger berpendapat bahwa teks atau karya seni memiliki
wujud tersendiri terlepas dari penciptanya. Karena itu tidaklah penting
mengetahui tujuan sang pencipta/pengucap/ penulis tidak juga mitra bicara yang
dihadapinya pada masa terciptanya karya atau teks itu. Akan tetapi yang
terpenting pembacaan dan pemahaman penafsir sesuai dengan pengetahuan
mendahului kandungan teks serta dugaan atau prediksi dan pertanyaan-pertanyaan
mereka terhadap teks saat mereka berdialog dan membahas dengannya.[11]
Pendapat di atas memunculkan satu
perspektif bahwasannya penekanan terhadap pengetahuan penafsir lebih
diutamakan. Berarti seorang penafsir tidak memasuki proses penafsiran dengan
pikiran yang kosong atau hampa dari segala sesuatu, pasti sebelumnya sudah ada
pemahaman awal yang bisa jadi benar atau salah.
Hans Georg Gadamer , seorang filsuf
asal Jerman berusaha menjelaskan, meneruskan, dan mengembangkan
pendapat-pendaat gurunya Heidegger. Autokritiknya terhadap pendapat
hermeneutika teoritik yang digagas oleh Schleirmacher dan Wilhelm Diltheiy. Hermeneutika
Gadamer melampaui batas metode dalam proses pemahaman. Dalam konteks ini,
Gadamer menekankan perbedaan antara kekuatan substansi yang dikandung oleh
pemahaman dengan tehnik khusus yang
diduga oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode memahami ilmu-lmu sosial, temasuk yang berkaitan dengan bidang spiritual atau
keagamaan.[12]
Ketiga, Hermeneutika
kritis merupakan interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan
sosial (sosial interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest)
sang interpreter. Secara metodelogis, teori ini dibangun atas klaim bahwa
setiap bentuk penafsiran dipastikan terdapat bias atau unsur kepentingan
politik, ekonomi, sosial, seperti bisa strata kelas, suku, dan gender dengan
kata lain, metode ini mempunyai konsekuensi curiga dan waspada (kritis)
terhadap bentuk tafsir, seperti jargonjargon yang dipakai dalam sains dan
agama. Sehingga hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di
balik teks.[13]
Teori kritis adalah kaitan antara
pengetahuan dan kepentigan manusia. Menurut Habermas (1929)kepentingan yang
berada di balik setiap sistem pengetahuan pada umumnya tak dikenal oleh
masyarakat awam dan inilah tugas teori kritis untuk mengungkapnya. Habermas
sendiri membedakan tiga sistem pengetahuan dan kepentingnnya yang saling
berkaitan. Tipe pertama adalah ilmu empirik-analitik atau sintifik positivik
klasik. Menurut Habermas, kepentingan dari ilmu pengetahuan jenis ini adalah
kontrol teknis yang dapat diaplikasikan untuk lingkungan, masyarakat, atau
orang. Ilmu analitis sendiri cenderung memperkuat kontrol opresif. Tipe kedua
adalah pengetahuan humanistik atau pengetahuan historis-hermeneutis dan
kepentingannya adalah kepentingan praktis interaktif untuk memahami dunia, diri
dan orang lain. Ketiga, pengetahuan kritis dan kepentingannya adalah emansipasi
manusia.[14]
Relasi sosial dalam melihat teks
pada hermeneutika kritik ini lebih terasa. Kondisi tersebut sebagai perwujudan
dari manusia sebagai mahluk sosial yang melihat antara idealitas teks terhadap
realitas yang terjadi. Dengan kata lain penafsiran teks sebagai kontrol sosial
bagi peristiwa politik, ekonomi, sosial dan budaya pada lingkungan. Terkadang
pada teori ini masih ditemukan subjektifitas penafsir dalam tafsirannya.
Keempat, Aliran Ekstrem, menekankan
bahwa kendati ada kesungguhan dan keluasan wawasan penakwil, namun sangat diragukan ia dapat mencapai makna asal dari teks
untuk diamalkan, karena semua penafsiran bersifat kemunginan dan relatif.[15]
[1]
Fakhrudin Faiz, Hermeneutika
Qurani, Jogjakarta: Qalam, 2002, h. 20-21
[2]
Komaruddin, Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 30
[3]
Sayyed Hosen Nashr, Knowledge and The Scared, USA: State University Press, 1989, h.71
[4]
Nafisul Atho dan Arif
Fahrudin, Hermeneutika Transendental (Dari Konfigurasi Filosofis Menuju
Praksis Islamic Studies), Yogyakarta: IRciSod,
2003, h. 14-15
[5]
Paul Ricoeur, Teori Interpretasi (Memahami Teks, Penafsiran, dan
Metodologinya), Jogjakarta: IRciSod,
2012,
[6]
Quraish Syihab, Kaidah
Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 404
[7]
Quraish Syihab, Kaidah
Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 402
[8]
Quraish
Syihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 402
[9]
Quraish Syihab, Kaidah
Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 415
[10]
Quraish Syihab, Kaidah
Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 416
[11]
Quraish Syihab, Kaidah
Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 418
[12]
Quraish Syihab, Kaidah
Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 420
[13]
Jalaluddin Rakhmat, Hermeneutika Sosial, Terj. Muhammad Syukri, Kreasi Wacana,
Yogyakarta : 2006. H. 108
[14]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam (Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang ), (Yoogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 42-43
[15]
Jalaluddin Rakhmat, Hermeneutika Sosial, Terj. Muhammad Syukri, Kreasi Wacana,
Yogyakarta : 2006. H. 111
0 Komentar