Menjelang abad ke 21, model lembaga pendidikan di
Indonesia hanya mengenal tiga model lembaga pendidikan yakni pesantren,
madrasah, dan sekolah umum (Azhari & Saleh, 1989). Pendidikan Islam dalam
pengertian institusi yaitu institusi-institusi pendidikan Islam, seperti:
pondok pesantren, madrasah diniyah, dan madrasah sebagai sekolah umum berciri
khas Islam (Soebahar, 2013).
Pondok pesantren atau pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Hasil studi Ronald Alan Lukens Bull (1977), Doktor yang menekuni studi pondok pesantren asal Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pondok pesantren pertama kali dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M. Sementara di Jawa, tokoh yang berhasil mendirikan pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Menurut para ahli yang
menelusuri sejarah pendidikan Islam di Jawa, sebelum Islam masuk telah ada
lembaga pendidikan Jawa kuno yang praktik kependidikannya sama seperti
pesantren, yaitu pawiyatan. Kemudian dengan
masuknya Islam, pawiyatan dijadikan acuan untuk membuat sebuah sarana
pendidikan Islam dengan mengubah sistem yang ada menjadi sistem pendidikan
Islam. Sistem pendidikan pesantren masih bersifat tradisional, administrasinya
pun belum setara dengan sekolah-sekolah yang dikelola pemerintahan colonial
Belanda. Pesantren selalu mempertahankan lima unsur-unsur keasliannya, yaitu
pondok, masjid, pengajian kitab-kitab, pengajaran kitab-kitab klasik
(kitab-kitab kuning), santri, dan kiai (Zamakhsyari Dhofier, 1983 : 43). Namun,
ada pula yang menyebutkan bahwa unsur pesantren hanya tiga, yaitu santri, kiai,
dan masjid (Daulay, 2009 : 61-62).
Pesantren telah menempuh perjalanan
panjang, dari sebuah lembaga yang
hanya menyebarkan ilmu berubah menjadi lembaga yang menanamkan nilai-nilai
akhlakul karimah, membentuk karakter, serta menerima bentuk kurikulum pemerintah
dalam rangka turut memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengikuti perkembangan
zaman. Kemudian muncul model-model pondok pesantren, yakni pondok pesantren
modern, yakni pondok pesantren yang terbuka untuk perubahan, maju dan
berkembang serta menerima kurikulum negara. Namun, ada pula yang berkomitmen
untuk tetap mempertahankan tradisi
salafi dan konservatif terhadap dinamika kebutuhan pendidikan, yaitu pesantren Salaf.
Lembaga selanjutnya yaitu madrasah diniyah. Madrasah muncul pada
permulaan abad ke-20. Madrasah berasal dari sebuah kata dalam bahasa Arab,
yaitu ‘drasa’ yang artinya belajar. Madrasah
adalah lembaga penyelenggara proses belajar-mengajar secara terpadu dan sistematis. Lembaga pedidikan baru ini muncul di tengah-tengah
dunia pendidikan Islam di Indonesia, terutama di luar pulau Jawa. Hal tersebut
dipengaruhi oleh dorongan dan alasan, di antaranya sebagai manifestasi dan
realisasi cita-cita pembaharuan dan sistem pendidikan Islam di Indonesia,
sebagai salah satu usaha menyempurknakan sistem pendidikan pesantren yang
lulusannya dilihat tidak memungkinkan untuk memperoleh kesempatan kerja setara
dengan lulusan sekolah umum pendirian Belanda, dan adanya sikap sementara umat
Islam, yaitu lebih condong mengikuti sistem pendidikan model Barat yang
memungkinkan untuk maju dalam ilmu, ekonomi, dan teknologi. Namun, lebih dari 20 tahun terakhir banyak
pesantren telah mengadopsi sistem madrasah dan memasukkan mata pelajaran umum
dalam sistem pendidikannya.
Lembaga pendidikan yang terakhir adalah sekolah umum berciri khas Islam. Sekolah umum merupakan lembaga pendidikan di Indonesia warisan
penjajah Belanda yang mengajarkan ilmu-ilmu
umum yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora. Oleh sebab itu, meski memiliki
predikat Islam, tetapi pelajaran Islam kurang mendapat tempat dalam
kurikulumnya. Apa yang diutamakan dalam lembaga ini adalah persamaan status dan
pengakuan dengan sekolah umum. Padahal seharusnya, siswa didik sekolah Islam bisa mendapatkan nilai lebih dari
pendidikan lainnya, yaitu pendidikan umum
penuh yang disertai nuansa Islami juga
pendidikan agama Islam secara aplikatif, teoritis, dan praktis.
Menurut pandangan saya, ketiga lembaga pendidikan yang telah disebutkan,
meskipun berbeda-beda tetapi memiliki peran, fungsi, dan tujuan yang sama.
Peran lembaga pendidikan bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan,
tetapi juga nilai kepada setiap peserta didik. Secara keseluruhan sekolah berbasis Islam sebagai lembaga pendidikan formal memiliki fungsi menaburkan benih kecerdasan
berpikir, spesialisasi setiap individu, efesiensi waktu dan dana, juga
sosialisasi yakni membantu perkembangan individu menjadi makhluk sosial yaitu mahluk yang peduli kepada keadaan orang lain dan lingkungannya. Sedangkan tujuan utamanya adalah agar manusia memiliki
gambaran mengenai apa yang dipelajarinya secara jelas, utuh, dan menyeluruh.
Gambar diambil dari: voa-Islam.com
1 Komentar