Islamofobia adalah sebuah termin yang lahir karena ketakutan dan diskriminasi terhadap Islam. Adanya termin tersebut seolah-olah Islam itu disudutkan dan dideskriditkan. Hal itu timbul diakibatkan kesalahpahaman terhadap Islam itu sendiri. Islam itu damai dan cinta damai. Terbukti hal itu merujuk pada pengertian Islam secara etimologi yaitu yang berarti selamat, damai, dan patuh (al-Munawir:1984:669).
Masalah yang mencuat di lapangan ketika oknum yang mengatasnamakan Islam membawa ajaran agama tersebut dengan keras dan menyimpang. Sehingga Islamofobia timbul menjadi produk untuk menghancurkan Islam itu sendiri. Padahal Allah swt berfirman, “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada pula orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat maka mereka itu benar-benar telah telah memilih jalan yang lurus.” (QS: Al-Jin/72:14)
Ayat al-quran di atas menunjukkan bahwa orang-orang Islam yang taat akan membawa maslahat bagi umat. Justru sebaliknya jika orang-orang Islam yang ketaatannya belum maksimal maka akan menimbulkan keresahan. Orang-orang yang ketaatannya masih setengah-setengah mudah dipengaruhi oleh sekte kanan atau kiri. Sehingga mereka akan terbawa kepada arus ekslusifitas dalam keberislaman. Sehingga mereka membentuk wacana memaksakan dan mengkafirkan muslim lainnya.
Maka arus ekslusifitas tersebut yang akan menyampaikan metode dakwah yang tidak mengikuti Nabi Muhammad. Sampai hal tersebut menjadi pemicu konflik di masyarakat dan timbulah termin Islamofobia. Maka untuk meredam Islamofobia itu, seorang pendakwah harus memperhatikan kode etik dakwah Nabi Muhammad. Kode etik Dakwah Nabi Muhammad ialah cara-cara menyampaikan ajakan atau seruan kepada orang lain atau kepada pihak-pihak yang didakwahi dengan cara Nabi Muhammad yaitu amar ma’ruf bil ma’ruf dan nahi munkar bil ma’ruf (Mustofa Yakub:1997:36).
Etika dakwah nabi Muhammad yang pertama yaitu tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan. Artinya apa yang beliau perintahkan maka beliau telah terlebih dahulu mengerjakannya. Sedangkan apa yang beliau larang terlebih dahulu beliau meninggalkannya. Maka hal tersebut sesuai dengan ayat al-quran, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah, bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan (QS al-shaff, 2-3).
Etika dakwah Nabi yang kedua yaitu toleransi agama. Toleransi (tasamuh) memang dianjurkan oleh Islam. Tetapi dalam batas-batas tertrntu dan tidak menyangkut masalah agama (akidah). Dalam masalah akidah, Islam memberikan garis tegas untuk tidak berkompromi, bertoleransi dan sebagainya (Mustofa Yakub:1997:37).
Ketika Nabi Muhammad Masih tinggal di Mekkah, orang-orang musyrikin mencoba mengajak Nabi Saw. untuk melakukan kompromi keagamaan. Kata mereka, “Wahai Muhammad ikutilah agama kami, kami pun akan mengikuti kamu. Kamu menyembah Tuhan-Tuhan Kami selama satu tahun nanti kami juga menyembah Tuhanmu satu tahun pula. Apabila ternyata agamamu yang benar maka kami pun sudah memperoleh kebenaran tersebut. Apabila agama kami yang benar, maka kamu pun telah memperoleh kebenaran itu.”
Mendengar ajakan tersebut maka Nabi Saw berkata, “Saya mohon perlindungan Allah agar tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.” Kemudian surat al-Kafirun sampai kepada Nabi, yang intinya orang-orang muslim tidak diperkenankan menyembah sesembahan orang-orang non-muslim. Sedangkan orang-orang yang diluar Islam tidak perlu menyembah sesembahan orang-orang muslim.
Etika dakwah Nabi yang ketiga yaitu tidak mencerca sesembahan lawan. Artinya biarlah orang-orang non muslim menyembah sesembahannya asalkan tidak mengganggu muslim. Hal ini senafas dengan QS: al-An’am:108, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah Swt, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Etika
dakwah Nabi yang keempat yaitu Nabi Muhammad tidak melakukan diskriminasi
sosial di antara orang-orang yang didakwahi. Beliau tidak mementingkan
orang-orang kelas elit saja, sedangkan orang-orang kelas bawah dinomorduakan.
Bahkan Nabi Muhammad pernah ditegur oleh Allah Swt, tatkala beliau hanya berdakwah di kalangan elit. Yang saat itu datang Abdullah bin Ummi Maktum, seseorang dari kalangan menengah ke bawah, yang saat itu tidak tahu bahwa Nabi Muhammad sedang menerima tamu pembesar-pembesar Quraisy yaitu Utbah bin Rabiah, Abu Jahl, Abbas bin Abd al-Muthalib, Ubay bin Khalf, dan Umayyah bin Khalf.
Abdullah
bin Ummi Maktum yang saat itu bertanya berkali-kali kepada Rasulullah. Namun
nabi tidak memberika respon atau jawaban atas pertanyaan tersebut. Akhirnya
Nabi Muhammad merasa kesal, mukanya cemberut, dan berpaling tidak mau
melayaninya dan hanya melayani pembesar-pembesar Quraisy. Sikap Nabi langsung
dikritik oleh Allah swt, Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya (QS ‘Abasa:1-2)
Maka
sejak saat itu apabila Abdullah bin Ummi Maktum menghadap Nabi Muhammad, beliau
selalu menyambut dan menghormatinya, seraya berkata “Selamat Datang wahai orang
yang telah menyebabkan diriku ditegur oleh Allah swt.”
Etika
dakwah nabi yang kelima yaitu tidak memungut imbalan. Suatu hal yang penting
dalam dakwah nabi Muhammad dan nabi-nabi sebelumnya, beliau tidak pernah
memungut imbalan dalam dari pihak-pihak yang didakwahi. Beliau hanya
mengharapkan imbalan dari Allah Swt. Sebagaimana Allah berfirman, Katakanlah,
Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka hal itu untuk kamu (karena aku tidak
minta upah apapun kepadamu). Upahku hanyalah dari Allah, Dia mengetahui segala
sesuatu. (QS: Al-Saba:74)
Maka
kode etik dakwah Nabi sangat di butuhkan di era revolusi 4.0. Sebab dakwah yang
demikian akan memberikan yang dampak yang signifikan terhadap perubahan
karakter pada masyarakat di lingkungan sosial.
Gambar diambil dari : id.quora.com
1 Komentar