Secara etimologis, kata toleransi berasal dari kata “toleran” yang berarti sifat atau sikap menenggang, menghargai, menghormati, membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Adapun dalam bahasa Arab, padanan katanya adalah yang berarti menghargai dan menerima perbedaan. Pengertian kata tersebut, maka makna toleransi beragama berarti sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan serta merdeka untuk memeluk suatu agama yang diyakini.
Sikap ini muncul dari kesadaran akan kemajemukan yang merupakan suatu keniscayaan dari sunnatullah. Tidak dapat dipungkiri akan kehadiran perbedaan dalam kehidupan ini, dan yang terpenting adalah bagaimana cara dan metode yang tepat untuk mengelola perbedaan itu agar kehidupan senantiasa harmonis.
Dewasa ini, banyak kalangan yang me-nyuarakan kebebasan beragama dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka lupa kalau Nabi Muhammad saw telah mempraktekkan toleransi beragama itu lebih dari 14 abad yang lalu. Toleransi beragama tersebut tertuang dalam “Piagam Madinah” yang ditetapkan pada tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan tersebut: Pasal 16: “bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.” Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.” Pasal 25: “(1) Kaum Yahudi dari suku Banu `Auf adalah satu bangsa negara (ummah) dengan warga yang beriman.(2) Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut- pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacaukan dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya”.
Membicarakan
toleransi beragama, maka Islam lewat Alquran dan sunah sangat kaya dengan
prinsip dasar yang dapat dijadikan standart dalam implementasinya. Karena itu,
baik Alquran maupun sunah, haruslah dikaji dengan benar secara mendalam dan komprehensif
dengan merujuk kepada pendapat ulama terdahulu dan selanjutnya dielaborasi guna
memenuhi kebutuhan kontemporer. Terdapat sejumlah ayat Alquran yang selalu
dijadikan argumen toleransi beragama, namun sering kali pula pemahaman terhadap
ayat tersebut diselewengkan dan dipaksakan. Sehingga kesimpulan yang dihasilkan
pun menyimpang dan terkesan dipaksakan untuk mendukung pemikiran kelompok
tertentu.
Menurut
Munawir Sjadzali bahwa batu-batu dasar telah diletakkan oleh Piagam Madinah
sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah
adalah:
1.
Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu
komunitas.
2.
Hubungan antar sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas
Islam dengan anggota komunias lain didasarkan atas prinsip-prinsip: a)
bertetangga baik; b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; c) membela
mereka yang teraniaya; d) saling menasehati; e) menghormati ke- bebasan
beragama.13
Piagam atau charter karena isinya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya
keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban
kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan
semua warga dan prinsip-prinsipnya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan
kesukuan yang tidak baik. Disebut konstitusi (constitution) karena di dalamnya
terdapat prinsip- prinsip untuk mengatur kepemimpinan umum dan dasar-dasar
sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan
sebagai wadah persatuan penduduk Madinah.
Nabi
Muhammad saw telah berinteraksi secara intensif dengan seluruh kelompok agama
seperti Paganis (penyembah berhala), Yahudi dan Nasrani, budaya-budaya yang
berlaku secara dominan di tengah-tengah masyarakat Arab, serta
kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu seperi Romawi dan Persia.
Ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi,
menggambarkan bagaimana kaum muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang
sangat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam. Bahkan, al-
quran
juga tidak melarang kaum Muslimin untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain
selama mereka tidak memusuhi umat islam. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan
untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya
firman Allah Swt berikut ini: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan siapa menjadikan
mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-
Mumtahanah [60]: 8-9).15
Paling
tidak, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt tidak melarang nabi-Nya dan
kaum muslimin untuk berbuat baik dan menjalin hubungan baik dengan orang-orang
di luar Islam selama mereka tidak memerangi umat Islam. Ketika mereka memerangi
atau mengusir dan/ atau membantu mengusir umat Islam dari tanah airnya, maka
Allah Swt melarang umat Islam untuk menjadikan mereka sebagai teman. Dengan
demikian, toleransi hanya tercipta ketika kedua belah pihak saling menghormati
dan menghargai ajaran agama yang lain. Ketika salah satu pihak tidak
menghormati apalagi sampai melecehkan ajaran agama yang lain, maka akan terjadi
konflik dan tidak terhindarkan lagi. Di sinilah ulama dan tokoh agama memiliki
peran penting dalam menjaga toleransi beragama di tengah-tengah masyarakat.
Gambar diambil dari: ayosemarang.com
0 Komentar