Kegigihan Sayyidil Walid dalam belajar terlihat dari mudanya
hingga akhir hayatnya. Keluasan ilmunya terbukti karena pengalaman bergurunya kepada para habaib
dan mualim di dalam dan luar negeri. Guru-gurunya antara lain, Habib
Abdurrahman bin Ahmad Assegaf (ayahandanya), Habib Ali bin
Abdurrahman Al-Habsyi (sohibul Kwitang), Habib Ali bin Husein Alatas (sohibul
Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Singa Podium), Habib Soleh bin
Muksin Al-Hamid (sohibul Tanggul), Habib Abdullah Syami Alatas, Habib Muhammad
bin Ahmad Al-Haddad (Condet), Prof. Dr. KH Raden Abdullah bin Nuh
(Bogor), dan Mualim Ahmad Junaidi (Menteng Atas). Selain itu ia pernah mukim selama empat puluh
hari di Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki (Mekkah).
Sekitar tahun
1960-an, Sayyid Ali Assegaf muda melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Tatkala itu, ia kuliah di dua perguruan tinggi, yaitu IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) dan Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Bahkan, suatu ketika ia
mengikuti ujian hadis di IAIN, ia berani mengkoreksi dan mengkritik soal ujian
hadis yang ditulis oleh dosen tersebut di papan tulis. Sehingga dirinya
dipanggil ke ruangan dosen untuk mendapatkan percepatan kelulusan di perguruan
tinggi Islam itu.
Pada tahun 1976, Keilmuan Sayyid Ali muda diakui oleh gurunya Habib Ali bin
Husein Alatas. Adapun Sohibul Ta’jul Arasy menjulukinya dengan Allamah,
orang yang memiliki banyak ilmu. Ilmu-ilmu tersebut antara lain ilmu tafsir al-Quran, hadis,
fiqih, dan tasawuf. Saat itu pula
ia mendapatkan ijazah kitab An-Nasoih Ad-diniyah oleh gurunya tersebut. Di sisi lain ia
mendapatkan gelar Bahr al-Fahamah dari Prof. Dr. KH. Raden Abdullah bin Nuh
pada tahun 1978.
Kemahiran bahasa Arab Sayyid Ali semakin meningkat. Kondisi tersebut diperoleh
karena ia belajar bahasa Arab kontemporer dengan Habib Muhammad Asad bin Syihab
di tahun 1970-an. Ia belajar bahasa Arab jurnalistik dari koran-koran dan
majalah-majalah berbahasa Arab. Sehingga kecakapan bahasa Arabnya setara dengan
akademisi-akademisi Arab. Hal tersebut terlihat dari struktur kalimat dan gaya
bahasa Arabnya yang diucapkan mengikuti aturan baku tata bahasa Arab meliputi
ilmu sintaksis (nahwu), morfologi (sharf), dan ilmu retorika
bahasa Arab (balagah).
Berkah ilmu yang dimiliki, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf mengajar pada
umur 15 tahun di Assagofah Islamiyah, Bukit Duri (madrasah milik ayahandanya).
Selain itu ia pernah mengajar sekaligus menjadi kepala sekolah di Madrasah
Islamic Center Kwitang yang merupakan embrio dari Madrasah Unwanul Falah tahun
1972. Ia meminta beberapa pengajar Assagofah untuk mengajar di madrasah
tersebut diantaranya Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf, Mualim Ro’i, dan
KH. Zarkasyi.
Tehnik pengajarannya
yang khas yaitu ia tidak mau berpindah dari satu bab ke bab lain kecuali si
murid telah menghafal dan memahami satu bab yang telah diajarkannya. Artinya,
kesabaran antara guru dan murid diperlukan pada sebuah pembelajaran. Sayyidil
Walid pernah berbicara kepada penulis, “Di zaman sekarang para pengajar agama di
sekolah hanya mengejar target kurikulum tanpa memandang sejauh mana murid bisa
mengerti dan memahami apa yang mereka pelajari. Sehingga banyak dari mereka
sekedar pernah belajar tentang bab itu.”
Sayyidil
Walid membina dan membimbing
lebih dari dua puluh majelis taklim di JABODETABEK. Majelis utamanya yaitu di
rumahnya sendiri yaitu Al-Afaf, Tebet Utara. Majelis tersebut telah berdiri
kurang lebih dua puluh tujuh tahun lamanya. Majelis tersebut setiap sabtu
dimulai setelah shalat Ashar berjamaah yang diimami oleh Sayyidil Walid sendiri. Kemudian membaca wirdhu latif sebagai
zikir sore yang disusun oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Lalu beliau
membaca dan menerangkan kitab-kitab kuning yang berkenaan dengan tauhid, fiqih,
dan tasawuf.
Di samping itu, tokoh
Betawi yang disegani semua kalangan tersebut juga membuka majelis khusus para
ustad di kediamannya pada hari Rabu pagi. Dua kitab yang diajarkannya yaitu Ithafussadah al-Muttaqiensyarah Ihya Ulumuddin dan Fathul Bari syarah Sohih Bukhari. Karena prinsipnya,
seorang guru bukan hanya mengajar saja akan tetapi harus tetap belajar. Prinsipnya tersebut bersesuaian dengan long life education, pendidikan
sepanjang hidup.
Praktik long life education itu sendiri dijalani sampai masa
senjanya. Di tahun 2013-2015, Sayyidil Walid berguru pada ulama Timur Tengah
melalui jaringan online Skype dengan Al-Faqih Habib Abdullah bin
Soleh Ba’bud (Madinah, Saudi Arabia) dan Dr. Ismail Al-Mishri (Dosen Al-Azhar
Cabang Tonto Mesir). Bahkan, Dr. Ismail al-Mishri datang ke Jakarta mengunjungi
Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada tahun 2016. Keilmuannya diakui oleh
ulama Indonesia dan Timur Tengah, sebab itulah UIN Jakarta ingin sekali
mempersembahkan gelar Doktor Honouris Causa kepadanya. Akan tetapi beliau
menolaknya.
Alm. KH.
Syaifuddin Amsir sangat menganggumi Sayyidil Walid. Sehingga beliau
menuturkan kepada Habib Ahmad bin Ali Assegaf (anak dari Sayyidil Walid), “Walidak (ayahmu) itu Allamah, karena beliau
mengajar Kitab Fathul Bari ٍ Syarah Kitab
Sohih Bukhari. Dimana jarang para guru yang mengajarkan kitab tersebut.”
Berdakwah dari satu wilayah ke wilayah
lainnya merupakan jalan yang juga ditempuh Sayyidil Walid sebagai tongkat
estafet dari dakwah para salafuna salihin. Dakwahnya yang lembut dan santun
terinspirasi oleh QS An-Nahl [16]:125:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ
Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik.
Oleh karena itu ia juga
dijuluki da’i ilawlah, karena mengajak ke
jalan Allah dengan cara-cara Nabi Muhammad. Perjalanan dakwahnya diiringi sikap jabar khatir. Apa itu jabar khatir? Sikap dimana mau
menyenangkan dan menggembirakan orang lain. Sehingga, dimana tempat yang
mengundang beliau pasti ia datangi tanpa memilah dan memilih antara si kaya dan
si miskin. Apalagi jika muridnya yang mengundang maka ia mendahulukan dari
undangan-undangan lainnya.
Panutan Betawi tersebut juga membuka Majelis Nahwu dan Shorof setiap Senin
dan Jumat selepas shalat Maghrib di rumahnya. Ia mendatangkan pengajar Timur
Tengah, diantaranya Syekh Busyiri Abdul Mu’thi (Mesir), Syekh Mahdi Al-Misri
(Mesir), dan Syekh Muhammad Al-Busyiri Al-Yamani (Yaman) untuk mengajarkan
dasar-dasar bahasa Arab tersebut kepada remaja-remaja, pemuda-pemuda, hingga
orang tua. Akan tetapi pada tahun 2010 akhir, beliau sendiri yang memutuskan
untuk mengajarnya di majelis tersebut. Ia sempat menuturkan bahwa Bahasa Arab
merupakan modal yang harus dimiliki seorang yang ingin menjadi da’i dan guru
agama.
Presiden Subuh, julukan
lain dari Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Sebab ia pencetus dan pelopor dari
gerakan shalat subuh berjamaah di Jakarta. Sebagaimana Rasul bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh secara berjamaah
maka seolah-olah ia shalat semalam suntuk”. Rasul juga bersabda, “Seorang muslim yang shalat subuh berjamaah di
masjid, setelah itu ia berzikir kepada Allah sampai datang waktu israq, maka
sesungguhnya ia mendapatkan pahala haji dan umroh yang sempurna.”
Gerakan Shalat Subuh Berjamaah pertama kali
diresmikan Habib Ali bersama BJ. Habibie pada tahun 1998 di Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada masa itu
merupakan masa transisi pemerintahan BJ. Habibie di Indonesia. Kala itu shalat subuh berjamaah diikuti
oleh presiden BJ. Habibie, para pejabat lainnya, serta berbagai elemen masyarakat. Selepas acara tersebut, masing-masing
kecamatan di DKI Jakarta membentuk koordinator sholat subuh gabungan.
Perlu diketahui pula, rutinitas tahunan Habib
Ali yaitu mengajak jamaah dan para pecintanya untuk melakukan ziarah qubro ke
maqam wali-wali Allah di Jabodetabek. Maqam-maqam tersebut diantaranya Habib
Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Husein bin Abubakar Alaydrus
(Luar Batang), Habib Muhammad bin Umar al-Qudsi, Habib Ali bin Abdurrahman
Ba’alawi, Habib Abdurrahman bin Alwi As-Syatiri (Kampung Bandan), Habib Hasan
bin Muhammad Al-Haddad (Tanjung Priok), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas,
Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad (Empang Bogor), Sayyidil Walid
Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf (Lalongok). Beliau melakukan bersama
mereka biasanya di bulan Sya’ban. Rutinitas tersebut dilakukan dalam rangka
menyambung silaturahmi dengan wali-wali Allah dan bertawasul memohon
keselamatan selama menjalani puasa dan ibadah di bulan Ramadhan.
Kini Sang Presiden Subuh, Habib Ali bin
Abdurrahman Assegaf telah berpulang ke Rahmatullah. Kepergiaannya ditangisi
oleh murid-muridnya, jamaahnya, dan para pecintanya. Namun sebelum kepergiannya
meninggalkan pesan-pesan yang amat berharga untuk umat Islam di Indonesia. “Suatu saat saya tidak ada, saudara….. saya
wasiatkan jangan tinggalkan majelis taklim, saudara akan kembali kepada Allah.
Saya lebih dahulu atau saudara yang lebih dahulu, yang pasti kita akan kembali
semuanya, Innalillahi wa innailahi raji’un.”
0 Komentar