Urban Sufisme, modernisasi pada
dunia tasawuf. Termin itu bisa dimaknai sufi perkotaan yang digagas oleh Julia
D Howell. Termin tersebut juga transformasi dari tasawuf modern yang digagas
oleh Buya Hamka dan Fazrul Rahman. Termin ini muncul akibat kejenuhan
masyarakat kota dengan urusan duniawiyah. Sehingga tasawuf ini berbeda dengan tarekat
muktabarah pada umumnya. Artinya, urban sufisme tidak perlu baiat dan atau
sumpah pada tarekat tertentu. Melainkan cukup dengan mengikuti kajian-kajian
ringan biasa bahkan bisa mengikutinya dalam media online, seperti youtube.[1]
Padahal perkembangan tasawuf pada
abad ke-5 atau abad ke-13 M yaitu dengan lembaga sufisme atau biasa yang
disebut dengan tarekat. Adapun tarekat diambil dari bahasa Arab yaitu thoriqoh.
Thoriqoh secara etimologi yaitu tata cara,
jalan, atau aliran.[2]
Imam al-Jurjani menyatakan bahwa tarekat jalan khusus bagi orang-orang salikin
untuk menuju Allah swt dengan cara memutus kehidupan dan naik kederajat yang
tinggi melalui maqamat.[3]
Sedangkan Martin Van Bruinessen mendefinisikan tarekat ialah secara harfiah
berarti jalan mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan
(muraqabah, zikir, wirid, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru
sufi.[4]
Pernyataan Imam al-Jurjani di atas menunjukkan bahwa
tarekat merupakan jalan seorang salik untuk mencari jati dirinya melalui dekat
dengan Allah Swt. Namun untuk sampai kepada-Nya membutuhkan hirarki atau maqam.
Maqam semacam perjalanan ruhaniah bagi seorang sufi. Adapun perjalanan ruhaniah
antara seorang sufi dan sufi lainnya berbeda. Seperti maqam yang ditempuh Abu
Nashr al-Sarraj yaitu taubat, wara’ zuhud, faqir, sabar, tawakal, dan ridho.
Lain halnya Imam Ghazali menempuh sepuluh maqam yaitu taubat, sabar, syukur,
raja’, khauf, faqir, zuhud, tauhid, tawakal, dan mahabah.[5]
Sedangkan pendapat Martin Van Bruinessen memberikan
satu perspektif bahwa tarekat merupakan jalan menuju kenyamanan bathin. Sebab
kenyamanan bathin yang membuat seseorang bisa mengendalikan ego dan hawa nafsu.
Adapun cara-caranya yaitu melalui dzikrullah sebagai jalan penyucian jiwa
(tazkiah al-nafs). Biasanya, di dalam tarekat ada tradisi yang tidak bisa
dihilangkan. Mulai dari silsilah
tarekat yang selalu direlasikan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang
lahir pada abad tertentu. Setiap tarekat wajib memiliki mursyid (guru),
kaifiyah zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Pada umumnya, seorang
mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan suluk
atau ribath.[6]
Di sinilah terdapat perdebatan
akademis terjadi antara perkembangan tasawuf dengan urban sufisme. Seolah-olah
Howell menyederhanakan, baik substansi ajaran (doktrin), terlebih tradisi
praktik dalam dimensi sufisme itu luas dan mendalam.[7] Sebab
ia menelisik fakta yang terjadi pada muslim kelas menengah ke atas yang minat
mendalami agamanya melalui sumber pendidikan Islam yang tidak ada sebelumnya.
Sumber-sumber ini tidak hanya meliputi buku, majalah, pamphlet, kolom surat
kabar, tetapi juga acara-acara televisi
yang semakin banyak tentang Islam, sejak akhir tahun 1990-an, situs Internet.[8]
Untuk itu Howell melihat ada gejala sosiologis
pada masyarakat menengah ke atas di
Jakarta yang butuh pada gairah
spiritualitas gaya baru. Mereka jenuh dengan rutinitas duniawiyah yang
mendorong untuk hidup individualis dan hedonis. Sehingga kejenuhan tersebut
yang membuat mereka Majelis Zikir,
Majelis Taklim, bahkan lembaga kajian, datang dalam rangka zikir dan wirid
dalam upaya tazkîyat al-nafs.[9]
Menjelang akhir 1990-an, fenomena gairah
spiritualitas pada masyarakat menengah ke atas menjadi peluang bagi cendikia-cendikia dan
intelektual-intelelektual muslim untuk mendirikan lembaga pendidikan untuk
menawarkan pembelajaran agama yang dikemas secara modern. Diantara lembaga
tersebut Pusat Studi Paramadina, Tazkia Sejati, ICNIS (Intensive Course and
Networking for Islamic Science), IIMaN ( Indonesian Islamic Media Network) dan
sayap pendidikan beberapa masjid besar, seperti At-Tin, Al-Azhar, dan Istiqlal.
Pendekatan yang digunakan pada kajian-kajian tersebut ialah kritis-rasional.
Biasanya program-program lembaga tersebut terpaku pada pemahaman atau bedah
buku-buku keislaman.[10]
Menariknya, pada tahun 2000-an, masyarakat
menengah ke atas dan kaum terpelajar di Jakarta tertarik terhadap kajian
sufistik dengan menghindari tarekat.[11]
Mereka beranggapan bahwa tarekat dianggap feodalistik di masa modern ini
disebabkan ada kelas mursyid dan salik (murid). Sehingga murid dituntut untuk
melakukan sami’na wa atho’na apa yang mursyid perintahkan.
Padahal mursyid mempunyai tujuan
mulia untuk menyelamatkan seorang murid dalam menapaki jalan khusus. Sehingga
para murid menyadari betapa penting mursyid untul sampai kepada Allah (wushul).
Dalam dunia kosmologi tasawuf, para salik yang berjalan tanpa bimbingan rohani
seorang mursyid maka ia akan sulit untuk membedakan mana bisikan-bisikan lembut
(hawatif) yang datang dari Allah melalui malaikat atau dari Allah melalui
malaikat atau dari setan atau jin.[12]
[1]
Urban sufisme: “Jalan menemukan kembali humanitas yang hilang akibat
modernitas.” (Universitas Indonesia : Jurnal Tasawuf 1 (1). 2012). Hlm. 107
[2]
Yusuf Muhammad al-Baqa’I, Mu’jam al-Thulab, Marocco: Dar al-Ma’rifah: 2008, h.
410
[3]
Al-Sayyid Haidar al-Amali,
Asrar al-Syariah wa Athwaru al-Thoriqoh wa Anwaru al-Haqiqah, Cairo: Dar
al-Hujjat al-Baido, h. 10
[4]
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung:
Mizan: 1996, h. 15
[5]
Abu Muhammad Rahim al-Din, al-Tasawuf al-Amali, Cairo: Maktabah Ummu al-Quro:
2009: h.100-101
[6]
Abu Bakar Aceh, Pengantar
Ilmu Tarekat (Untaian tentang Mistik),
Jakarta: Fa H.M. Tawi & Son, 1966, h.5
[7]
[7]
Rubaidi, “Reorientasi Ideologi Urban Sufisme di Indonesia terhadap Relasi
Guru dan Murid dalam Tradisi Generik Sufisme Pada Majelis Shalawat di Surabaya”.
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 5, No. 2, Desember 2015, h.295
[8]
Julia D Howell dkk, Urban Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 2008,
h.393
[9]
Oman Fathurahman, “Urban Sufism: Perubahan dan Kesinambungan Ajaran Tasawuf”
dalam Rizal Sukma dan Clara Joewono (eds.), Gerakan dan Pemikiran Islam
Indonesia Kontemporer (Jakarta: CSIS, 2007), 123
[11] Julia D Howell dkk, Urban Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h.396
[12]
Nasaruddin Umar, Tasawuf
Modern (Jalan Mengenall dan Mendekatkan Diri kepada Allah Swt, Jakarta:
Republika:
0 Komentar