Urban Sufisme terdiri dari dua kata yaitu urban dan sufisme. Urban secara etimologi city or
town, yang berarti kota.[1] Adapun pengertian urban secara terminologi tempat pemukiman yang relatif besar, berpenduduk padat, dan permanen terdiri dari individu-individu yang secara sosial heterogen.[2] Pengertian tersebut akan muncul perspektif adanya permasalahan dan problematika di kota. Sehingga ada prilaku, sikap, dan tingkah laku yang menyimpang dan negatif.
Ibnu Khaldun menuturkan bahwa
penduduk kota identik dengan kejahatan dan sifat buruk akibat pergaulan sosial.[3]
Pernyataan tersebut berimplikasi pada penduduk kota dengan pengangguran,
kemiskinan, kenakalan remaja, hedonisme, seks bebas dan lain-lain. Sehingga
membutuhkan solusi untuk mengatasi hal tersebut.
Gerakan spiritual baru salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di kota. Namun Gerakan tersebut tidak jauh untuk menyadarkan semua lapisan masyarakat kota dengan wacana untuk menjawab pertanyaan, “Apa Tuhan itu Ada” (is there a God ?) dan “Siapakah Aku” (Who am I ?).[4] Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya dijawab oleh penggiat tasawuf.
Sufisme dalam termin Islam yaitu
tasawuf. Tasawuf secara etimologi berasal dari kata shafa yang artinya suci dan
bersih.[5]
Tasawuf secara terminologi ialah masuk kedalam setiap akhlak mulia dan keluar
dari setiap akhlak tercela.[6]
Tasawuf melalui definisi etimologi
dan terminologi diatas maka memunculkan satu perspektif bahwa tasawuf berkaitan
dengan kesucian dan kebersihan jiwa dari
akhlak mazmumah. Hal itu bisa dicapai dengan melakukan mujahadah dan riyadhah.
Sebab dua termin tersebut bisa mengontrol diri manusia dari sifat-sifat dan
sikap-sikap yang buruk.
Lain halnya dengan pandangan saintis
barat, McIntosh, seorang linguis berkebangsaan Amerika, beranggapan bahwa sufisme
merupakan termin dalam agama Islam bisa dalam bentuk ordo keislaman yang
membawa seseorang menuju Tuhan dengan cara hidup sederhana, berzikir, dan
bermeditasi.[7]
Sedangkan Evelyn Underhill mengindentikkan tasawuf dengan mistisisme yang
berarti arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama. Dalam artian
yang paling luas, mistik yang bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap
kenyataan tunggal (Tuhan) yang mungkin bisa disebut dengan kearifan, cahaya,
cinta, atau nihil.[8]
Kedua pandangan saintis barat antara
satu dengan lainnya berbeda. Tentunya, tasawuf itu merupakan ajaran dalam
Islam. Termin itu representasi dari sifat ihsan, yaitu merasa diawasi Allah. Sehingga
hal tersebut, manusia terus berkata, berbuat, dan bertindak sesuai dengan
proporsinya.
Pada tahun 1960-an, Buya Hamka
mensosialisasikan tasawuf modern. Ia mendorong muslim modern untuk menghargai
bahwa esensi tasawuf (baginya adalah pengembangan etika pribadi dan refleksi
filosofis) adalah positif dan dapat dipelajari oleh pembaca umum tanpa
memerlukan latihan untuk waktu yang lama dalam sebuah tarekat. Hal ini, ujarnya
akan memungkinkan kaum urban yang sibuk, yang sepenuhnya terlibat dengan
pekerjaan dan keluarga, untuk mengembangkan kepekaaan etis dan menikmati ibadah
yang memperkaya rohani, dan akan menghidupkan pola ritual dan ketaatan kaum
modernis yang masih minim tentang hukum agama.[9]
Termin tasawuf modern Hamka
diperuntukan bagi kaum perkotaan yang sibuk dengan urusan-urusan duniawiyah
sehingga minimnya waktu untuk mendalami agama. Sehingga termin tersebut lewat
media baca saja diharapkan sebagai
sarana untuk memotivasi untuk melakukan apa-apa yang diperintah oleh Allah dan
menjauhi larangan-Nya.
Sementara itu, Fazrul Rahman mendisain
tasawuf modern dengan model yang berbeda. Ia menyatakan bahwa sufisme modernis
tersebut mengindikasikan adanya praktik sufi yang disinergiskan dengan syariah
dan fiqih disesuaikan dengan kehidupan modern. Selain itu pula, sufisme modern
juga menolak adanya sikap zuhud dan taklid seperti yang diajarkan dalam sufisme
tradisional dengan mengkultuskan seorang mursyid. Rahman kemudian menjelaskan
bahwa sufisme modern ini muncul karena terinsipirasi oleh pemikiran Ibnu
Taimiyyah.[10]
Pernyataan Fazrul Rahman memunculkan
polemik. Sebab termin tasawuf modernnya terinspirasi tokoh yang cenderung
mengkritik sufisme, yaitu Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah sebagai tokoh
anti-tasawuf dikarenakan beberapa hal, pertama, disebabkan karya-karyanya
mengilhami atau menginspirasi golongan atau aliran yang anti tasawuf. Golongan
anti-tasawuf mengatakan tarekat itu bid'ah, karena pertama, intitusi tarekat;
kedua, sumber pengetahuan yang didapat dari ilham; ketiga, dualisme zahir-batin
dalam doktrin sufi.[11]
Oleh karenanya tasawuf modern gagasan Fazrul Rahman belum merepresentasikan
perkembangan dan pengembangan tasawuf.
Pada tahun 2000-an, tasawuf modern
bertransformasi menjadi urban sufisme. Termin tersebut diinisiasi oleh Julia D
Howell. Ia menyatakan lahirnya gerakan sufisme gaya baru yang dialami oleh masyarakat
menengah ke atas perkotaan.[12] Hal
itu disebabkan, masyarakat menengah ke
atas perkotaan mengalami keterpurukan dalam rivalitas dalam dunia modern. Sehingga
banyak dari mereka jenuh dengan kondisi modernisme.
Selain itu Howell juga menggunakan
termin uban sufisme dalam pengertian yang longgar. sehingga
mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang muncul di tengah masyarakat
perkotaan. Gerakan spiritual tersebut meliputi majelis zikir dan doa tanpa ada
lembaga kesufian, tarekat. Hal itu disebabkan banyak pada muslim modernis dan
skripturalis “masih alergi (seperti umum diketahui) terhadap tarekat.[13]
Pernyataan di atas memunculkan wacana
bahwa tasawuf tanpa tarekat itu bisa dijalani. Sebagaimana sufi-sufi klasik, Abu
Nashr al-Sarraj, al-Qushayrî Abû Hâmid al-Ghazâlî, seperti
menjalani perjalanan spiritualnya. Dengan demikian, ekspresi gairah spiritual
dalam urban sufisme hanya dalam bentuk zikir, amalan, serta doa wirid yang
diadopsi dari para guru sufi.
Wasisto Jati menyebutkan bahwa pemaknaan
urban sufisme hanya berkutat pada bentuk pencarian solusi masalah kehidupan,
terlebih lagi dengan adanya gesekan iklim perkotaan yang sifatnya individualis
dan hedonis mengakibatkan ketidakjelasan pemaknaan ritual keagamaan yang
dialamai oleh masyarakat neo-modernisme tersebut.[14]
Pemaparan urban sufisme di atas
bertalian dengan titik jenuh masyarakat kota terhadap realitas kepentingan
duniawi. Sehingga ia butuh pada gairah spiritualitas melalui kegiatan-kegiatan
keagamaan yang bisa menghilangkan depresi, stress, tekanan mental, dan
kegelisahan. Akan tetapi ritual keagamaan terkadang yang diikuti mereka
terjebak pada penafsiran yang salah.
Landasan pemahaman sufi yaitu dari
al-Quran, sunnah, dan amalan serta ucapan para sahabat. Amalan dan ucapan para
sahabat itu tentu tidak menyimpang dari ruang lingkup al-Quran dan Sunnah.
Karena itu dua sumber utama tasawuf ialah al-Quran dan Sunnah.[15]
Termin tasawuf memang tidak tersurat
termuat dalam al-Quran. Akan tetapi ada term-term yang berhubungan dengannya bisa
ditelisik dan dikaji melalui al-Quran. Seperti termin taubat dan tazkiah
al-nafs, alam QS Al-Tahrim [66]: 8 dan Al-Syams [91]: 9:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَنْ
يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ….
Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai. QS
Al-Tahrim [66]: 8
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا.
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Al-Syams [91]: 9
Taubah mewakili
termin tasawuf, disebabkan ia merupakan langkah awal menuju Allah. Syekh Abdul
Qadir al-Jilani mengatakan bahwa taubat terbagi dua bagian yaitu zahir dan
bathin. Langkah zahir dalam bertaubat dilakukan melalui perkataan, perbuatan,
dan perasaan yaitu dengan cara membersihkan diri dari dosa dan noda, lebih
banyak menaati perintah Allah, berbuat dan berniat sesuai dengan ketentuan
Allah. Sedangkan langkah bathin yaitu si salik (seorang yang menempuh
perjalanan ilahi) terus mengarungi sampai ke tempat tajjali.[16]
Adapun tazkiah al-Nafs
merupakan praktik dari kesufian sendiri. Praktik tersebut telah disebutkan oleh
Abu Hasan Nuri yaitu membebaskan ruh-ruhnya dari pencemaran manusiawi, terlepas
dari noda jasmani, dan terbebas dari hawa nafsu. Sehingga para sufi menemukan
ketenangan bersama Tuhan.[17]
Urban Sufisme itu
sendiri juga tidak termaktub di dalam al-Quran. Akan tetapi termin tersebut
harus ditelisik terlebih dahulu dari permasalahan dan problematika di kota. QS An-Naml[27]:48,
salah satu ayat yang menggambarkan tentang permasalahan tersebut.
وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ
تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ
Dan adalah di
kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan
mereka tidak berbuat kebaikan. QS An-Naml[27]:48
Adapun penjelasan ayat tersebut termaktub dalam kitab Tafsir
Ibn Katsir, As-Saddi telah meriwayatkan dari Abu
Malik, dari Ibnu Abbas, ada Sembilan orang pemuda bernama Da'ma, Da'im,
Harma, Harim, Da-ab, Sawab, Riyab, Mista', dan Qaddar ibnu Salif di kota Kaum Tsamud
melakukan kesesatan dan pengingkaran terhadap Nabi Saleh As. Bahkan mereka
merencanakan membunuh Nabi Saleh AS. Namun mereka hanya menyembelih unta Nabi
Saleh dengan tangan mereka sendiri.[18]
Melalui tafsir di atas bisa diambil kesimpulan bahwa aksi
kriminologi di kota pada umumnya dilakukan oleh pemuda-pemuda. Namun tidak
selamanya orang-orang yang melakukan kriminologi di sepanjang hidupnya. Namun
mereka akan menyesal dengan perbuatannya kemudian memiliki kesadaran spiritual
untuk meluruskan kehidupannya kembali.
[1]
Colin MCiNtosh, Cambridge
Advanced Learner’s Dictionary, Cambridge: Cambrildge University Press,
2013, h. 1729
[2]
Sumardjito, “Permasalahan
Perkotaan dan Kecendrungan Prilaku Individualis Penduduknya”, Cakrawala
Pendidikan, Juni 1999, Thn XVIII, No.3, h. 132
[3]
Abdurrahman bin Khalldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Darul Fikr,
1992, h.123
[4]
Eileen Barker. The New Religious Movement: Their incident and significance
dalam New Religious Movements: Challenge and Response (London: 1999), h.
16.
[5]
As’ad As-Samahrani, al-Tashawwuf Mansya’uh wa Mushthalahatuh, Beirut: Dar
An-Nafa’is, 1987, h. 15
[6]
Imam Qusyairi, al-Risalatu al-Qusyairiyah fi I’lmi al-Tasawuf,
Indonesia: Darul al-Kutub al-Islami,2011, h.330
[7]
Colin MCiNtosh, Cambridge
Advanced Learner’s Dictionary, Cambridge: Cambridge University Press, 2013,
h. 1527
[8] Evelyn
Underhill, Mystiscism: A Study in The Nature and Development of Man’s
Spiritual Conciousness, New York: Paperback, 1956, h.11
[9]
Buya Hamka, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990, h.3
[10]
Julia Day Howell, “Introduction: Sufism and Neo-Sufism in Indonesia today”,
Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Volume. 46, No. 2, (2012), hal.
1-24.
[11]
Abdul Mun’im Kholil, ‘Jejak Metodologis Anti-Sufi: Analisis KritisPemikiran
Sufisme Ibn Taymiyah Dalam Jurnal’, Reflektika, Vol. 13.No. 1., h. 34
[12]
Julia Day Howell, “Revival Ritual and the Mobilization of Late-modern
Islamic Selves”. (University Western of Sydney: Journal of Relegion and
Political Pratice. 2015). Hlm. 47
estern of Sydney: Journal of
Relegion and Political Pratice. 2015). Hlm. 47
[13] Julia D Howell, “Modernitas dan
Spiritualitas Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan dan Kebudayaan, Jakarta:edisi no. 32, 2013
[14]
Wasisto Jati, Sufisme Urban di Perkotaan : Kentruksi Keimanan Baru Kelas
Menengah Muslim. (LIPI : Jurnal Kajian dan Pengembangan Dakwah. 2015). Hlm.
175
[15] Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma fi
Tarikh al-Tasawuf al-Islami, Egypt: al-Tawfikia, 2002, h. 9
[16] Abdul Qadir al-Jilani, Sirr
al-Asrar wa Muzhiru al-Anwar, Cairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Dinniyah,
2013, h. 88
[17] Ali Usman al-Hujwiri. The Kasyf
al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise On Sufism, New Delhi: Taj Company,
1982, h.47
[18] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Jilid
IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Islami,2017, h.330
0 Komentar