Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah tokoh sufi dari kalangan baalawi yang dikenal produktif dalam memberikan pemikiran sufisme secara praktis. Sehingga kata-katanya mudah dipahami dan diimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Beliau pernah mengungkapkan tentang muamalah hawa nafsu.
Muamalah
secara etimologi yaitu tindakan atau perbuatan.[1]
Sedangkan Nafs menurut Imam Ghazali yaitu potensi marah atau syahwat pada
manusia(Imam Ghazali:2006:1345).[2]
Jika dua termin tersebut dijadikan satu termin maka bisa dimaknai yaitu
tindakan hawanafsu bersumber dari syahwat manusia itu sendiri.
Imam
Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata, “Sesungguhnya hawa nafsu itu seperti
malasnya berbuat yang baik, lalu hendaknya manusia bisa menundukkannya dengan
berbuat baik dan berbuat yang bermanfaat baginya. Ketahuilah oleh kamu bahwa
hawa nafsu selalu ditarik oleh keburukan sehingga hawa nafsu dipenuhi atasnya.
Solusinya, berbuat baik yang menyulitkan keburukan untuk masuk kepada hawa
nafsu tersebut karena bahwasannya berbuat baik berlawanan atas kebiasaanya. Sehingga
hawa nafsu membeci keburukan dan tidak akan menjiwainya.” (Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad:1999:269)
Pernah
beberapa penguasa daerah datang ke Tarim untuk berziarah ke Imam Haddad dalam
jangka waktu yang tidak lama sebanyak dua kali. Kala itu Imam Haddad memberikan
nasihat untuk mereka, “ Tidaklah kamu membiasakan datang ke wilayah ini
untuk mendekatkan diri kepada Allah, apakah kamu telah menyentuh dirimu dengan
keinginan untuk berbuat baik. Lalu apabila kamu telah melihat nafsu mu atau
selain kamu hanya bertambah baik dari segi zahirnya saja akan tetapi engkau
melakukan kebaikan tersebut belum menunjukkan tanda bertambah baiknya secara
bathin.” (Habib Ahmad
bin Hasan al-Haddad:1999:269)
Perkataan Imam Haddad tersebut mengandung isyarat bahwa perbuatan baik akan mengendalikan nafsu manusia. Namun perlu diingat bahwa dalam perbuatan baik tidak hanya dilakukan secara zahir atau terlihat saja akan tetapi perbuatan baik harus dilakukan secara bathin juga atau secara sembunyi. Sebab perbuatan baik yang hanya ingin dilihat orang lain akan terjatuh pada sifat riya. Jika demikian riya adalah sifat yang datang dari hawa nafsu. Wawlahu a’lam bissawab.
0 Komentar