Seorang Da’i Kondang, dalam suatu ceramahnya menayangkan sebuah ilustrasi. Dalam ilustrasi itu digambarkan ada seorang ayah dengan anaknya yang masih kecil, kira-kira berumur 11 tahun, mengadakan perjalanan wisata ke tempat hiburan di tepi pantai. Kemudian keduanya berbaur dengan para pelancong lain, menikmati keindahan panaroma pantai di senja hari dan segarnya angin laut. Ketika menikmati rekreasi itu, sang ayah tiba-tiba dikagetkan oleh rintihan anaknya sambil memegang perutnya yang sedang kesakitan. Ayah itu segera berpikir tentang obat sakit perut, ia bermaksud mencarinya di apotek, tetapi ia tidak menjumpainya.
Setelah diam sejenak, sang ayah mencoba menanyakan obat sakit perut pada pemilik restoran. Pemilik restoran itu ternyata menyimpan obat yang dimaksud, lalu diberikan kepadanya. Ayah yang sangat mencintai anaknya itu sangat berterima kasih dan ia pun menanyakan berapa harga obat itu.
Pemilik restoran mengatakan: “Pakai sajalah obat itu, tidak usah dibayar, karena saya bukan penjual obat, saya adalah pemilik restoran”. Ayah anak itu menolak pemberian pemilik restoran tersebut, ia tidak mau memperoleh sesuatu dengan gratis, ia ingin membayar obat itu sebagaimana mestinya.
Perdebatan terjadi semakin seru antara kedua orang itu, masing-masing menjaga harga dirinya. Di tengah sengitnya perdebatan, tiba-tiba da’i yang banyak digemari jama’ahnya itu mematikan videonya, sambil mengatakan, “Saudara-saudara itulah sebuah harga diri orang-orang yang berkebudayaan tinggi dan hidup di negara-negara yang telah maju.
Ilustrasi di atas memang mengggambarkan kepada kita tentang harga diri yang sangat tinggi bagi manusia yang berperadaban maju dengan kerja keras. Sebaliknya dijumpai harga diri yang amat rendah bagi masyarakat yang terbelakang yang kerjanya bermalas-malasan. Manusia yang berperadaban tinggi dan memiliki negara maju adalah mereka yang memiliki etos kerja tinggi. Sehingga bisa melahirkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi sesama manusia dan makhluk lain.
Rasululullah Muhammad s.a.w. pernah didatangi seorang sahabatnya yang sangat miskin untuk meminta bantuan bagi keluarganya di rumah. Nabi sebetulnya bisa membantu orang itu dengan memberi uang atau makanan, tetapi beliau tidak melakukan hal itu. Ia ingin mendidik umatnya agar jangan menjadi seorang yang lemah dan menggantungkan dirinya kepada belas kasihan orang. Kemudian Nabi menyuruh orang itu agar mengambil apa yang dia miliki dirumah untuk dijual dan dijadikan modal, meskipun jumlahnya kecil. Sahabat itu hari berikutnya datang kepada Nabi dengan membawa satu mangkok tua dan kemudian dijual pada sahabat lain. Hasilnya kemudian dijadikan modal.
Hasil penjualan mangkok itu tidak banyak, kira-kira hanya mencapai dua dirham. Nabi s.a.w. menyerahkan satu dirham untuk membeli makanan bagi keluarganya di rumah dan satu lagi dibelikan kampak untuk membuat kayu bakar. Sahabat itu kemudian bekerja dengan alat yang dibelinya dan memperoleh penghasilan setiap harinya. Ia akhirnya dapat berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain.
Islam melarang keras umatnya menjadi orang-orang lemah, meminta-minta, menampakkan kemiskinan dan kehinaan. Manusia muslim diperintahkan agar senantiasa bekerja keras, sehingga menjadi umat yang kuat dan menjadi teladan bagi umat lain.
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah, 62:10).
Umat Islam harus senanantiasa menjaga diri bagi keluarganya dan masyarakatnya. Karena itu, sikap sering meminta dan mencari belas kasihan orang lain sangat dicela dan dibenci. Nabi bersabda:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِن الْيَدِ السُّفْلَى (رواه البخاري ومسلم)
"Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah” (HR. Bukhari, No: 1338, Muslim, No: 1716).
Maksud hadis itu bahwa orang yang memberi lebih baik dari mereka yang menerima pemberian orang lain. Sahabat Auf bin Malik al-Asyja’i meriwayatkan suatu hadis:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ " أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ اللَّهِ " وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . ثُمَّ قَالَ " أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ اللَّهِ " . فَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . ثُمَّ قَالَ " أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ اللَّهِ " . قَالَ فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ قَالَ " عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَتُطِيعُوا - وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً - وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا " .
Kami bersama Nabi s.a.w., ketika itu jumlah kami ada sembila orang, atau delapan orang, atau tujuh orang. Maka Nabi bersabda: Tidakkah kalian membaiat kepada Rasulullah? Waktu itu kami berada di masa baiat kepada Rasulullah s.a.w.. Kami menjawab: Kami telah membaiatmu wahai Rasulullah. Kemudian Nabi bersabda lagi: Tidakkah kalian berbaiat kepada Rasulullah? Kami menjawab: Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah. Kemudian Nabi bertanya lagi: Tidakkah kalian berbaiat kepada Rasulullah? Auf bin Malik mengatakan: Maka kami bentangkan tangan kami dan kami berkata: Kami telah membaiatmu wahai Rasulullah, maka berbaiat apalagi? Maka Nabi menjawab: “Hendaklah engkau berbaiat padaku agar menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Berbaiat untuk melaksanakan shalat lima waktu, dan mentaati, kemudian beliau mengisyaratkan dengan kalimat yang ringan: Dan janganlah kalian meminta sesuatupun kepada orang lain. (HR. Muslim, 2450).
Setelah peristiwa itu, kata Auf bin Malik: Setiap orang dari sahabat Nabi selalu bekerja sendiri secara sungguh-sungguh dan tidak pernah meminta bantuan orang lain, kecuali sangat terpaksa. Sehingga kami jumpai ada seorang sahabat yang jatuh cambuk kendaraanya, ia tidak minta bantuan orang lain untuk mengambilnya, kecauli dia sendiri yang mengambilnya.
Abu Bakar al-Shiddiq, ketika beliau dilantik menjadi khalifah, dalam akhir pidato pelantikannya mengatakan :
لاَ يَدَعْ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْجِهَادَ فَإِنَّهُ لَا يَدَعُهُ قَوْمٌ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ اللهُ بِالذُّلِّ
“Janganlah ada seorang di antaramu yang meninggalkan perjuangan, kerja keras dan jihad, karena sesungguhnya tidak ada suatu bangsa yang meninggalkan hal itu kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka kehinaan dan kenistaan”.
Sumber Gambar: dakwahnu.id
0 Komentar