Diantara para ulama' yang sangat
berperan dalam dakwah Islam di Indonesia adalah yang dikenal dengan sebutan Wali
Songo.
Kata “wali” antara lain berarti pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam
pemakaiannya, kata ini biasa diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah
Swt. (waliyullah). Adapun kata “songo” (Bahasa Jawa) berarti sembilan. Maka
Wali Songo secara umum sering diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap
telah dekat dengan Allah Swt, terus-menerus beribadah kepada-Nya, serta
memiliki kekeramatan dan kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia
(Abd Aziz: 1999: 173). Adapun sembilan wali tersebut, antara lain:
a.
Sunan Gresik (w. 12 Rabiul Awal 822 H/141 M)
Nama
lengkapnya adalah Maulana Malik Ibrahim pernah menetap di kerajaan Pasai atau
Perlak di Aceh. Maulana Malik Ibrahim putra dari Syekh Jumadil Kubra (Maulana
Akbar). Pada umumnya, silsilah Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk
keturunan Rasulullah. Meskipun masih
terjadi perbedaan pendapat tentang urutan nama-nama garis silsilah keturunannya
(Rachmad: 2015:77).
Nama
lain dari Maulana Malik Ibrahim adalah Kakek Bantal, Sunan Tandhes, Sunan Raja
Wali, Wali Quthub, Mursyidul Auliya Wali Sanga, Maula Maghribi, Sunan Maghribi,
atau Sunan Gribig (Rachmad: 2015:77)
Masa
kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa tahun 1404 M bertepatan dengan
masa kepemimpinan Khilafah Turki Utsmani, yaitu Sultan Muhammad I (1379-1421
M). Maulana Malik Ibrahim ditugaskan oleh Sultan Muhammad I untuk hijrah ke
Jawa, langsung dari Turki. Beliau adalah seorang ahli irigasi dan tata negara.
Beliau pernah ditugaskan ke Hidustan untuk membangun irigasi di daerah itu pada
pemerintahan Moghul (Rachmad: 2015:78-79).
Di
dalam Dokumen Kropak Ferara disebut-sebut nama Syekh Ibrahim yang disegani
ajaran dan fatwanya serta menjadi panutan para wali sesepuh, termasuk Raden
Rahmat (Sunan Ampel). Kiranya Maula Malik Ibrahim inilah yang dimaksud dengan
Syekh Ibrahim tersebut.
Adapun
secara utuh, terjemahan dari inskripsi batu nisan Syaikh Maulana Malana Malik
Ibrahim menurut J.P Moquette adalah sebagai berikut:
“Inilah
makam almarhum al-maghfur, yang mengharap Rahmat Allah Yang Maha Luhur, guru
kebanggaan para pangeran, tomhkat penopang para raja dan menteri, siraman bagi
kaum fakir dan miskin, syahid yang berbahagia dan lambing cemerlang negara
dalam urusan agama: al-Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama Kakek Bantal,
berasal dari Kashan. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan
menempatkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822H
(Sunarto: 2012: 67)
b.
Sunan Ampel (w. 1481)
Raden Ali Rahmatullah adalah nama asli Sunan Ampel.
Sunan Ampel adalah putra Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Condrowulan. Selain
Sunan Ampel, Ibrahim Asmarakandi juga memiliki putra bernama Ali Murtadho.
Sedangkan Abu Hurereh (Sunan Majagung) ialah kemenakan iparnya (Rachmad: 2015:
90). Beliau merupakan penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim.
Sunan Ampel terkenal sebagai perancang pertama kerajaan Islam di Jawa. Dialah
yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak.
Ia memulai aktivitas pertama dengan mendirikan
pesantren di Jawa Timur, yaitu pesantren Ampel Denta, deket Surabaya. Di
Pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi da’i yang
akan disebar ke seluruh Jawa. Di antara pemuda yang ia didik yaitu Sunan Giri,
Raden Fatah, Raden Makhdum Ibrahim (putra Sunan Ampel) yang kemudian dikenal
dengan Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Maulana Ishak yang diutus untuk
mengislamkan Blambangan, dan banyak mubaligh lainnya (Solihin: 2005: 151).
Di dalam Babad Tanah Djawi digambarkan bahwa selain
mengajari murid-muridnya membaca al-Qur’an, Radem Rahmat juga mengajari mereka
kitab-kitab tentang ilmu syariat, tarekat, dan ilmu hakikat, baik lafal maupun
makna. Raden Rahmat digambarkan mencontohkan kehidupan yang zuhud dengan
melakukan riyadhah ketat. Amaliah yang dijalankan, sebagai berikut:
“Sunan Ampel tidak makan tidak tidur, ia mencegah hawa
nafsunya/ ia tidak tidur malam untuk beribadah kepada Tuhan/ fardhu dan sunnah
tidak ketinggalan/ serta mencegah yang haram maupun yang makruh/ tawajjuh
memuji Allah”
c.
Sunan Bonang (w.1525 M)
Sunan Bonang bernama asli Makdum Ibrahim. Ia adalah
putra Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila, putri Bupati Tuban, Arya Teja. Sunan
Bonang lahir pada tahun 1449, dan merupakan kakak kandung Sunan Drajat (Agus:
2013: 38)
Dalam hal keilmuan, Sunan Bonang belajar pengetahuan
dan ilmu agama dari ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Ia belajar bersama
santri-santri Sunan Ampel yang lain seperti Sunan Giri, Raden Patah, dan Raden
Kusen. Selain dari Sunan Ampel, Sunan Bonang juga menuntut Ilmu kepada Syekh
Maulana Ishak, yaitu sewaktu bersama-sama dengan Raden Paku Sunan Giri ke
Malaka dalam perjalanan haji ke Tanah Suci. Sunan Bonang dikenal sebagai
seorang peyebar Islam yang menguasai fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra,
arsitektur, dan ilmu silat.
Dalam berdakwah, Raden Makhdum Ibrahim dikenal sering
menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik masyarakat. Salah
satunya dengan perangkat gamelan Jawa yang disebut bonang. Salah satu karya
seni ciptaannya yang monumental adalah lagu Tombo Ati (obat hati). Karya sastranya yang sangat terkenal dalam bentuk
tulisan ialah suluk wujil, sebuah kisah tentang seorang abdi bernama
Wujil yang menerima ajaran makrifat.
Dalam penyebaran ajaran makrifat, Sunan Bonang
mendapatkan amanah untuk mengajarkan tentang singgasana Tuhan di Baitul Makmur
yang disimbolkan dalam akal manusia (Agus: 2013: 40)
d.
Sunan Drajat (w. abad ke-16)
Sunan Drajat lahir di Ampel Denta sekitar tahun 1470
M. Nama Aslinya adalah Raden Qosim atau Syarifuddin. Ia adalah putra Sunan
Ampel, adik dari Sunan Bonang. Dalam Tarikh Al-Auliya disebutkan bahwa
Sunan Drajat menikah dengan Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati Cirebon
danmemiliki tiga orang putra, yaitu Pangeran Trenggono, Pangeran Sandi, Dewi
Wuryan (Agus: 2013:37).
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya
untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di dusun
Jelog, pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Setahun berikutnya, Sunan
Drajat berpindah 1 km ke arah selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem
Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Pacitan-Lamongan ( Rachmad: 2015: 114).
Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang
berjiwa sosial tinggi dan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin serta
mengambil lebih mengutamakan pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat. Setelah
memberi perhatian penuh, baru Sunan Drajat memberikan pemahaman tentang ajaran
Islam. Ajarannya lebih menekankan lebih menekankan pada empati dan etos kerja
keras berupa kedermawanann, pengentasan kemiskinan,usaha menciptakan
kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong royong.
Secara umum, ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan
dakwah Islam dikenal masyarakat sebagai pepali pitu (tujuh dasar
ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang dijadikan pijakan dalam kehidupan
sebagaimana berikut
1.
Memangun resep tyasing
sasama (Kita selalu membuat senang hati orang lain)
2.
Jroning suka kudu
eling lan waspodo (Dalam Suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu
waspada)
3.
Laksitaning
subrata tan nyipta marang pringga bayanig lampah (Dalam upaya mencapai cita-cita
luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan)
4.
Meper Hardaning
Pancadriya (Senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu-nafsu indrawi)
5.
Hening- Hening –
Henung (Dalam diam akan dicapai keheningan dan di dalam hening, akan mencapai
jalan kebebasan mulia)
6.
Mulya guna Panca
Waktu (Pencapaian kemuliaan lahir bathin dicapai dengan menjalani shalat lima
waktu)
7.
Menehono teken
marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong kang luwe. Menehono busana
marang wong kang wuda. Menehono pangiyup wong kang kaudanan (Berikan
tongkat kepada orang buta. Berikan makan kepada orang yang lapar. Berikan
pakaian kepada orang yang tak memiliki pakaian. Berikan tempat berteduh kepada
orang yang kehujanan)
e.
Sunan Kudus (w. 1550 M)
Nama asli Sunan Kudus ialah Ja’far Sadiq. Ia lahir di
di Kudus abad ke-15. Menurut silsilahnya, Sunan Kudus mempunyai hubungan
keturunan dengan nabi Muhammad Saw. silsilah selengkapnya: Ja’far Sadiq bin
Raden Usman bin Raja Pendeta bin Ibrahim al-Samarkandi bin Maulana Muhammad
Jumadilkaubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul
Abidin bin Sayyid Husein bin Ali r.a. Di antara Wali Songo, beliaulah yang
mendapatkan julukan wali al-I’mi (orang yang luas ilmunya), dan karena keluasan
ilmunya ia didatangi oleh banyak penunut ilmu dari berbagai daerah di nusantara
(Solihin: 2005: 126-127).
Dalam masa berikutnya Sunan Kudus belajar kepada Raden
Rahmat di Ampel Dento dan Sunan Giri di Gersik. Dengan ketajaman fikiran dan
kebersihan hati belia, mampu menguasai ilmu dalam Islam seperti tauhid, ushul
fiqih, fiqih, hadis, tafsir dan sastra. Atmodarminto dalam bukunya Babad Demak
menyebutkan bahwa Sunan Kudus adalah satu-satunya wali yang paling menguasai
ilmu fiqih, beliau menggantikan kedudukan Maulana Israil pada 1436 M (Rachmad:
2015: 95)
f.
Sunan Giri (w. 1506)
Sunan giri lahir di Blambangan pertenngahan abad
ke-15. Nama Aslinya Raden Paku atau disebut juga Dultan Abdul Faqih. Ia adalah
putra dari Maulana Ishak. Salah seorang saudaranya juga termasuk wali songo
yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Djati). Dalam perjalanan Ibadah Haji ke
Mekkah, Sunan Giri dan Sunan Bonang mampir ke Pasai untuk memperdalah
pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai menjadi tempat berkembangnya ilmu
tauhid, keimanan, dan ilmu tasawuf. Disini ia sampai menemukan ilmu laduni. Sehingga
Gurunya menganugerahkan gelar ‘ain al-yaqin (solihin: 2005: 122).
Setelah wafatnya Sunan Ampel dan sebelum berdirinya
kerajaan Islam Demak, tampuk kepemimpinan dewan ulama Wali Songo berada di
tangan Sunan Giri. Dalam Politik kenegaraan, Sunan Giri Tampil sebagai
pembesarnya. Beliau ahli tata negara di antara para wali songo. Beliau juga
menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman-pedoman tata cara
keraton. Dalam hal ini, Sunan Giri dibantu Sunan Kudus yang juga ahli dalam
soal perundang-undangan dan hukum peradilan (Rachmad: 2015: 105)
Lembaga riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang
dalam Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri (1975), menemukan jejak
sejarah bahwa salah satu bidang dakwah yang di garap Sunan Giri adalah
pendidikan. Dalam usaha dakwah lewat pendidikan, Sunan Giri tidak sekedar
mengembangkan sistem pesantren yang diikuti santri-santri dari berbagai daerah
mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa ,
Sumba, Flores, Ternate, Tidore, dan Hitu, melainkan mengembangkan pula sistem
pendidikan masyarakat yang terbuka dengan menciptakan berbagai jenis permainan
anak-anak seperti Jelungan, Jamuran, Gendi Gerit, dan tembang-tembang,
permainan anak-anak seperti Padang Bulan, Jor, Gula Ganti, dan Cublak-cublak
Suweng.
g.
Sunan Kalijaga (w. prtengahan abad ke-15)
Sunan Kalijaga lahir akhir abad ke-14. Beliau terkenal
sebagai wali yang berjiwa besar, berwawasan luas, berpikiran tajam, intelek,
serta berasal dari suku Jawa Asli. Sunan Kalijaga bernama asli Raden Mas
Syahid. Daerah oprasional dakwahnya tidak terbatas, bahkan sebagai mubaligh, ia
berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena dakwahnya yang intelek maka
para bangsawan dan cendekiawan sangat simpati kpadanya, demikian juga lapisan
masyarakat awam, bahhkan penguasa (Solihin: 2005: 125)
Saat ia masih menjadi brandal dan belum bertobat,
Sunan Kalijogo bernama Lokajaya. Kemudian beliau menjadi seorang terhormat
ketika bertemu Sunan Bonang, sebagai awal pertobatannya. Lokakarya pernah
menghadang perjalanan Sunan Bonang dengan cara membentak dan mengencam, agar
memilih menyerahkan harta atau nyawa. Dengan hati yang tenang dan sabar, Sunan
Bonang memanggil Lokajaya dengan sebutan Jebeng untuk melunakan hatinya
(Rachmad: 2015: 111).
Seperti wali-wali lain, dalam berdakwah, Sunan
Kalijaga sering mengenalkan Islam kepada penduduk lewat pertunjukan wayang yang
sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan agama lama.
Dengan kemampuannya yang menajubka n sebagai dalang yang ahli memainkan wayang,
Sunan kalijaga selama berdakwah di Jawa bagian barat dikenal penduduk sebagai
dalang yang menggunakan berbagai nama samaran (Sunarto: 2012:220)
Sebagai ulama yang juga budayawan, Sunan Kalijaga
menciptakan tembang yang masih digemari saat ini yakni Lir Ilir. Ia Juga
diyakini menciptakan tokoh-tokoh pewayangan yang bernuansa Islam, dengan tetap
melestarikan budaya aslinya. Di dalam ilmu Makrifat, Sunan Kalijaga menempati
posisi istimewa setelah Sunan Ampel. Bahkan, Syekh Siti Jenar terang-terangan
mengatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan satu-satunya wali yang telah
merasakan dan mengalami puncak makrifat, namun belum memahami teorinya (Agus:
2013: 41)
h.
Sunan Muria
Nama Asli Sunan Muria Raden Umar, dan Raden Prawata.
Ia adalah putra Sunan Kalijaga dari ibu Dewi Sarah. Jadi, ia merupakan
kemenakan Sunan Bonang dan Sunan Drajat, serta cucu Sunan Ampel (Agus: 2013:41)
Sunan Muria mencerminkan seorang Sufi yang Zuhud, yang
memandang dunia ini sangat kecil. Oleh sebab itu ia tidak silau terhadapnya.
Tugasnya sehari-hari mengasuh dan mendidik para santri yang hendak menyelami
ilmu tasawuf, didampingi oleh putranya, Raden Santri. Seperti halnya sufi-sufi
lain, Sunan Muria mencerminkan pribadi yang menempatkan rasa cintanya kepada
Allah (Hubbulah) di atas segala-galanya (Solihin: 2005: 128).
Dalam melakukan dakwah Islam, Sunan Muria memilih pendekatan sebagaimana dijalakan ayahanda, Sunan Kalijaga. Tradisi keagamaan lama yang dianut masyarakat tidak dihilangkan, melainkan diberi warna Islam dan dikembangkan menjadi tradisi keagamaan baru yang khas Islam. Demikianlah tradisi bacakan dengan tumpeng yang biasa dipersembahkan ke tempat-tempat angker diubah menjadi kenduri, yaitu upacara mengirim doa kepada leluhur dengan menggunakan doa-doa Islam di rumah orang yang menyelenggarakan Kenduri.
i.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati lahir di Mekkah pada 1448 M. Beliau
banyak berjasa menyebarkan Islam di Jawa Barat. Nama aslinya Syarif
Hidayatullah. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten. Sunan Gunung
Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari Perkawinan Prabu
Siliwagi dengan NYai Subang Larang, lahirlah Raden Walangsungsang, Nyai Lara
Santang, dan Raja Sengara. Dari Lara Santang inilah lahir Syarif Hidayatullah
(Solihin: 2005:129)
Masa Kecil hingga remaja dihabiskan Syarif
Hidayatullah di Pasai. Ia beguru kepada Maulana Ishaq yang telah dianggap
sebagai pamannya sendiri. Ketika ia dewasa, ia pergi ke Jawa Timur dan beguru
kepada Sunan Ampel. Setelah dirasa cukup, kemudian ia pulang ke tanah asal
ibundanya di Sunda. Akhirnya ia memilih menetap di Cirebon sehingga tereknal
dengan sebutan Sunan Gunung Jati Cirebon.
Salah Satu strategi dakwah yang dilakukan Syarif
Hidayat dalam memperkuat kedudukan, sekaligus memperluas hubungan dengan
tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon adalah melalui pernikahan sebagaimana hal
itu telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw., dan para sahabat. Wilayah Cirebon
semula adalah bawahan Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang berkewajiban membayar
upeti tahunan berupa terasi dan garam. Namun, sejak Syarif Hidayat menjadi
Tumenggung Cirebon, ia menolak untuk membayar upeti tersebut. Namun, Tumenggung
Jagabaya dan pasukannya tidak berani berperang melawan Susuhunan Jati, malahan
memeluk Islam dan tidak kembali ke Pakuan Pajajaran. Mereka menjadi menjadi
pengikut Susuhunan Jati (Agus: 2012: 242)
0 Komentar