Negara
dapat terbentuk karena adanya kesamaan suku atau hubungan kekeluargaan yang
didasarkan atas rasa kesatuan alamiah atau ashabiyah. Golongan atau ashabiyah
ini mempunyai sifat dan bentuknya sendiri sesuai dengan keadaan mereka (yang
menguasainya). Jika pertikaian terjadi dikalangan penguasa atau penguasa tidak
menjalankan tugasnya dengan benar, maka negara akan lemah, cepat hancur, bahkan
musnah. Namun sebaliknya, jika penguasa menjalankan pekerjaan sesuai dengan
yang seharusnya, maka negara akan aman dan tenteram. Dari pernyataan tersebut,
dapat kita simpulkan bahwa sifat dari kesatuan alamiah atau ashabiyah
relatif rapuh. Oleh karena itu, agama diperlukan sebagai pondasi atas kesatuan
alamiah tersebut.
Agama
dan negara memiliki dasar pijakan yang berbeda dan berbeda juga hakikatnya. Agama
adalah kekuatan dari dalam, sedangkan negara kekuatan dari luar. Agama
mempunyai khatib, juru dakwah, dan ulama, sedangkan negara mempunyai birokrasi,
pengadilan, dan tentara. Agama dapat memengaruhi jalannya sejarah melalui
kesadaran bersama, sedangkan negara memengaruhi sejarah dengan keputusan,
kekuasaan, dan perang. Maka dari itu, agama dan negara saling memerlukan, saling
melengkapi, dan hubungannya berlangsung secara timbal balik.
Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi Muhammad SAW setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Negara Madinah pimpinan Nabi Muhammad SAW adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Dalam pandangan kaum muslim, kekuasaan Nabi di Madinah tidak hanya dibimbing oleh kebijaksanaan manusiawi tapi juga oleh wahyu dari Allah SWT. Berpegang pada prinsip tersebut, pada masa berikutnya umat islam menjadikan periode Madinah ini sebagai tipe ideal pelaksanan pemerintahan bernegara dalam Islam.
Fungsi Agama Islam di dalam Negara :
·
Sebagai Pemersatu
·
Sebagai Pendorong Keberhasilan
·
Sebagai Legitimasi Sistem Politik
Sebagai
Pemersatu
Menurut
Ibnu Khaldun, peran penting agama bagi negara (dalam kehidupan sosial politik)
adalah sebagai pemersatu bagi masyarakat. Apabila kekuatan agama berdampingan
dengan “ashabiyah” maka akan memberikan kontribusi besar dalam
mewujudkan integritas kekuasaan. Sebaliknya, jika agama dan “ashabiyah” dipertentangkan
maka akan mempercepat munculnya disintegrasi suatu negara. Sumbangan “ashabiyah”
kepada negara sangat besar dalam mewujudkan tatanan politik, akan tetapi peran
agama di dalam negara lebih besar dalam upaya perkembangan suatu negara dan
masyarakatnya. Kesimpulannya, faktor pemersatu dapat mencapai kekuasaannya jika
“ashabiyah” berdampingan dengan agama.
Dari
yang sudah Ia kemukakan, Ibnu Khaldun memberikan salah satu contoh konkret
yaitu bangsa Arab. Seperti yang telah kita ketahui, bangsa Arab memiliki watak
yang kasar, keras, angkuh, sehingga membuat mereka enggan dan sulit untuk patuh
atau tunduk terhadap penguasa. Hal ini terdapat pada pasal Muqaddimah yang
berjudul “Bangsa Arab adalah suatu bangsa diantara kelompok umat manusia yang
paling tidak cocok mempunyai kekuasaan politik” dan terdapat isi “mereka tidak
mudah tunduk pada kekuasaan.” Namun, karena adanya agama, karakter dari bangsa
Arab tersebut lambat laun berubah, sehingga mereka bisa tunduk pada penguasa,
bahkan membuat mereka mampu memerintah.
Q.S Al-Anfal ayat 63 :
وَاَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوْبِهِمْۗ لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ
قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
63. dan
Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu
menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Sebagai
Pendorong Keberhasilan
Menurut Ibnu Khaldun, meskipun kehidupan bersosial dapat berlangsung tanpa adanya agama, dan politik tetap dapat tegak walaupun tanpa aturan agama, namun agamalah yang memiliki peran penting untuk mendorong perkembangan kemajuan dan menjadikannya ke arah yang lebih baik lagi.
Sebagai bukti dari pernyataan tersebut, Ia memberikan contoh peperangan Yarmuk dan peperangan Qadisiah. Walaupun pada saat itu jumlah tentara muslim lebih sedikit dengan peralatan perang yang sederhana jika dibanding dengan tentara Parsi dan Heraklius, namun kedua tentara itu (Parsi dan Heraklius) tidak sanggup berhadapan dengan tentara muslim dan keduanya dapat dikalahkan. Menurut Ibnu Khaldun, keberhasilan yang luar biasa ini terjadi karena syari’at Islam, karena bertentangangan dengan semua realita hukum peperangan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, syari’at agama Islam tidak hanya dijadikan sebagai alat untuk mempersatukan manusia tetapi juga sebagai pendorong akan keberhasilan dalam menjalankan kehidupan sosial menjadi terarah.
Sebagai
Legitimasi Sistem Sosial dan Politik
Islam memiliki
posisi penting sebagai legitimasi sosial dan politik negara. Menurut Ibnu
Khaldun, Islam sangat menaruh perhatian terhadap tatanan politik dan sosial
secara universal. Berbeda dengan agama lain, agama islam tidak hanya
diperuntukkan untuk kalangan sendiri, namun untuk universal.
Peran agama Islam
dalam legitimasi sosial dan politik negara adalah sebagai pelengkap kekuatan “ashabiyah”.
Karena kekuatan “ashabiyah” hanya mengandalkan kekuatan fisik sehingga
tidak cukup untuk mendirikan kekuasaan. Hanya “ashabiyah” yang memiliki
ikatan solidaritas sosial yang paling kuatlah yang mampu mencapai kekuasaan. Dan
kekuatan kelompok yang telah mencapai kekuasaan ini yang bisa jadi malah
mengarah pada pertikaian intenal (karena ketidakadilan sistem dan perebuatan
tahta pemerintahan ataupun hasutan pihak luar). Oleh karena itu, diperlukan
kekuatan tambahan dan disinilah peran penting dari agama.
Sejak periode awal,
Islam adalah agama yang terlibat langsung dengan politik dan agama Islam sudah
mempengaruhi perpolitikan di dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang
merangkap sebagai seorang kepala negara dan juga pemimpin agama. Dalam hal ini agama
dan negara merupakan sebuah satu kesatuan.
0 Komentar