Seorang yang a’lim adalah seseorang yang menjadi tempat rujukan bagi seseorang untuk bertanya. Sebab di dalam kesehariannya pasti bersama ilmu dan pengamalannya. A’lim secara etimologi yaitu orang yang disifati dengan ilmu, atau orang yang bijak dalam menghadapi masalah (Syekh Yusuf al-Baqa’i:2008:426). Bahkan di dalam al-quran dan hadis nabi seseorang yang a’lim mempunyai kedudukan yang tinggi. Telah termaktub di dalam al-quran QS: Al-Mujadilah:11 (KH. Hasyim Asy’ari:2021:23)
يرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Adapun parameter derajat orang a’lim
hanya Allah yang mengetahuinya. Namun interpretasi dari Abdullah bin Abbas RA, “Derajat
Orang-orang A’lim (Ulama) di atas orang-orang mukmin yaitu dengan 700 derajat, diantara
2 derajat itu 500 tahun.” (KH. Hasyim Asy’ari:2021:23)
Pernyataan
di atas membuktikan kehidupan seorang yang a’lim yaitu melalui jalan takwa dan
melakukan amal-amal shalih sehingga ia bisa dikatakan manusia mulia. Sebagaimana
hal tersebut tertuang di dalam QS Al-Bayyinah ayat 7-8:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
(7) جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ(8)
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah
sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga
'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.
Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”
KH. Hasyim Asy’ari
memberikan interpretasi dari dua ayat di atas bahwa Ulama yaitu mereka
orang-orang yang takut kepada Allah dan mereka yang taat kepada Allah sehingga
mereka menjadi sebaik-baiknya manusia di muka bumi (KH. Hasyim Asy’ari:2021:23). Namun tidak mudah menjadi seorang
ulama sebab ia harus menjaga adab-adabnya dalam keseharian.
Imam Ghazali memberikan identifikasi adab bagi seorang a’lim yaitu
ia melazimkan untuk terus menuntut ilmu, mengamalkan ilmunya, senantiasa
padanya ketenangan, menghindari sifat takabur, setia bersama muridnya, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan,
meluruskan prespektif bagi orang yang salah (Imam Ghazali: 2013:91).
Pernyataan Imam Ghazali di atas memberikan
gambaran bahwa beban bagi seorang yang a’lim untuk tidak mengambil keputusan
dengan terburu-buru. Sebab satu perkara yang ditanyakan oleh seseorang kepadanya
harus dianalisis menurut al-quran, hadis, dan hujjah para ulama. Imam Ghazali
melanjutkan bahwa seseorang yang a’lim dalam menjawab satu pertanyaan yang
dilontarkan oleh seseorang terkadang ia katakan saya tidak tahu. Hal tersebut untuk ia mencari jawaban dari pertanyaan tersebut
sehingga orang yang bertanya menjadi puas terhadap jawaban tersebut. (Imam
Ghazali: 2013:91)
Maka dari itu seseorang yang yang a’lim
kedudukannya bisa memberikan syafaat kepada kaum muslimin. Sebagaimana Nabi
Muhammad bersabda, “Ada tiga orang yang bisa memberi syafaat di hari kiamat:
para nabi, kemudian ulama dan para syuhada.” (Imam Ghazali: 2008:18). Hadis
tersebut memberikan satu perspektif bahwa duduknya bersama orang a’lim akan berimplikasi
pada perubahan bagi diri ke arah yang lebih baik.
Rasulullah bersabda, “Hadir pada majelis
seorang a’lim lebih utama dari shalat 1000 rakaat (shalat sunnah), menjenguk
1000 orang yang sakit, dan menyaksikan 1000 jenazah.”
0 Komentar