au harapkan dari-Ku maka sungguh akan Aku maafkan kamu atas segala apa yang kau telah lakukan. walaupun engkau hanya bertemu Ku di bumi saja dalam keadaan salah maka Aku akan menemukanmu dalam kedekatan itu pula dengan memberi ampunan. Meskipun engkau berbuat salah yang kesahalannya mencapai langit, kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku maka Aku ampuni engkau dan tidak Aku pikirkan lagi.”
Hadis qudsi di
atas mengisyaratkan bahwa umat Islam harus sering beristigfar. Sebab istigfar
symbol dari harapan seorang hamba Allah yang dosanya ingin dihapuskan. Bahkan
pelafalan istigfar harus sering didawamkan baik setelah selesai solat mapun di
luar sholat. Istigfar menurut Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki adalah salah
satu pintu solusi terbesar bagi umat Islam. Bahkan melalui istigfar penyebab
dimudahkan rezeki. Selain itu istigfar juga dapat menghapuskan dosa,
menghilangkan segala kesulitan, serta menolak bala bencana. (Sayyid Muhammad
al-Maliki:2017:481)
Syekh Abubakar
al-Warraq berkata, “Raja’ itu hiburan dari Allah yang diberikan dalam hati
orang-orang yang memiliki rasa takut. Sebab Andaikan tidak ada hiburan tersebut
tentu jiwanya akan hancur dan akalnya akan linglung.” (Syekh Abu Nashr As-Sarraj:2014:129)
Perkataan Syekh
Abubakar al-Warraq memberikan satu perspektif bahwa raja’ adalah hasil dari
khauf (rasa takut kepada Allah). Melalui rasa takut kepada Allah maka ada
harapan yang tercapai. Walaupun harapan tersebut datang cepat atau lambat.
Al-Khauf menurut
Habib Zein bin Ibrahim yaitu mengenal hati melalui keagungan Allah Swt, kekuasaan-Nya, serta pedih hukuman-Nya dan
sakit siksaan-Nya. Buah dari khauf yaitu menahan dari apa-apa yang membuat
Allah tidak ridho. Sebab dengan khauf tersebut mencegah manusia untuk berbuat
maksiat dan sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan Allah. (Habib Zein bin
Sumaith:2006:146)
Habib Zein bin
Ibrahim Sumaith berkata, “Raja’ itu perasangka yang baik kepada Allah dengan
sebab mengenal hati melalui keluasan rahmatnya Allah Taala yang agung penuh
kelembutan, dan kesempurnaannya. Buahnya raja’ ialah akan berdampak amal-amal
solih. Sebab raja’ itu satu pondasi yang mengantarkan seorang hamba
kepada bentuk ketaatan dan kepatuhan.” (Habib Zein
bin Sumaith:2006:146)
Melihat
pernyataan-pernyataan di atas bisa diambil satu kesimpulan bahwa khauf dan
raja’ adalah dua termin tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebagaimana
seorang ulama salaf berkata, “Andaikan khauf dan raja’ seorang mukmin ditimbang
tentu keduanya akan berimbang.” (Syekh
Abu Nashr as-Sarraj:2014:129)
Syekh
Soleh bin Abdul Karim berkata, “Sesungguhnya raja’ dan khauf (takut kepada
Allah) itu adanya di hati, pada keduanya ada dua cahaya. Lantas Syekh Soleh
ditanya? Manakah yang lebih terang sinarnya? Lalu Syekh Soleh menjawab, yang
lebih bercahaya yaitu raja’. Lantas jawaban tersebut tersebut terdengar oleh
Syekh Abu Sulaiman Ad-Darani, lalu beliau berkata, “Wahai Mahasuci Allah yang
aku tercengang dengan perkataan tersebut, maka aku katakana al-terpancar pada
dari al-khauf itu takwa, puasa, solat dan amal-amal baik. Sedangkan al-raja’
tidak terpancar darinya sebab ini adalah hasil kebiasaan dari amal-amal shalih
tersebut.” Kemudian perkataan Syekh Abu Sulaiman sampai ke Syekh Soleh, lalu
beliau menjawab Syekh Abu Sulaiman benar, akan tetapi raja’ itu kembali pada
kemuliannya, sampai ia menjadi benar-benar bersinar.” (Abdul Malik
An-Naisaburi:2018:186)
Syekh
Abu Nashr As-Sarraj ditanya oleh seseorang apa hubungan al-Khauf dan al-Raja’?
Beliau Menjawab, “Keduanya merupakan kendali bagi diri (nafsu) manusia,
sehingga ia tidak keluar menuju pada kepentingannya yang gegabah dan sulit
dikendalikan atau merasa aman dan putus asa.” (Syekh
Abu Nashr as-Sarraj:2014:130)
0 Komentar