Hidup itu anugerah dan amanat dari Allah swt kepada hamba-hamba-Nya. Artinya Sang Pencipta masih mempercayakan kepada seseorang untuk beraktivitas dan menjalani rutinitasnya. Namun pola kehidupan yang dijalaninya harus disertai dengan ibadah sebagai tanda syukur kepada-Nya. Melalui hal yang demikian manusia semakin mengerti dan memahami bahwa kehidupan yang dijalani ialah kesempatan yang untuk semakin dekat kepadanya. Sebagaimana Rasulullah bersabda,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ
وَصِحتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ
Artinya: "Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu." (HR Al Hakim dalam Al Mustadrak-nya)
Amanah secara terambil dari bahasa Arab yaitu amina,
yakni merasa aman. Dari akar kata yang sama, lahir kata iman (percaya) dan
aman, yakni antonym kata bahaya. Ketiga kata tersebut saling berkaitan. Amanah diserahkan
oleh pemiliknya kepada yang dipercaya akan memelihara amanah itu dan bahwa apa
yang diserahkan itu aman di tangannya (Quraisy Syihab:2016:162). Dalam konteks
tersebut Nabi Muhammad bersabda, “Tidak ada iman bagi seseorang yang tidak
memelihara amanah dan tidak ada agama bagi yang orang tidak memelihara
janjinya.” (HR. Ahmad).
Melalui
hadis di atas bisa diambil satu perspektif bahwa korelasi antara iman dan amanah itu
berbanding lurus. Ketika seseorang tidak menunaikan amanahnya maka ia tidak
mempunyai iman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Maka orang-orang terdahulu
sangat berhati-hati dalam menerima amanah. Apalagi mereka yang memohon jabatan
atau kekuasaan. Jika seseorang yang tidak mempunyai kompetensi diberikan amanah
berupa jabatan maka akan hancur dalam keputusan dan kebijakannya.
Sebagaimana
dahulu, Abu Dzar RA, pernah memohon dan meminta jabatan kepada Nabi Muhammad.
Namun beliau menolak memberinya sambil bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh
engkau ini lemah.” Sedang itu (Jabatan yang engkau pinta) adalah amanah dan
akan menjadi kehinaan dan penyesalan di Hari Kemudian, kecuali siapa yang
mengambilnya dengan hak dan melaksanakan apa yang seharusnya ia laksanakan
menyangkut amanah itu.” (HR. Muslim)
Melalui
hadis di atas bisa diambil satu pandangan bahwa amanah sama dengan tanggung
jawab dan adil. Sebagaimana Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS Al-Nisa [4]:58)
Ayat di atas memberikan gambaran
kepada manusia bahwa amanah itu bukanlah sebuah hadiah, akan tetapi sebuah
beban dalam bentuk tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul (Abdillah Toha:
2020:187). Maka dari itu amanah harus dijalankan secara bijak dan penuh
kehati-hatian. Apabila seseorang diamanahkan sebagai pejabat atau petinggi ia
harus memperhatikan bawahannya atau orang-orang yang menjadi tanggungannya. Jika
ada seseorang bawahan yang merasa tidak adil terhadap kebijakan seorang pemimpin
maka ini akan menjadi resiko yang akan diterimanya di kemudian hari.
Sebagaimana Rasulullah bersabda
إذَا
أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah
saat kehancurannya (kiamat).” (HR.
Bukhari)
0 Komentar