Ibnu Hajar
al-Asqalani mensyarahi hadis di atas, “Dari hadis tersebut menunjukkan
bahwa pemimpin bertugas menyiasati atau
mengatur demi kemaslahatan rakyatnya walau pengaturan itu tidak sepenuhnya yang
terbaik, namun ia ditempuh karena itulah yang lebih maslahat untuk mereka.” (Quraish
Syihab:2023:35).
As-siyasah al-syar’iyyah,
satu istilah yang mengkorelasikan antara politik dan Islam yang berimplikasi pada
maslahat kepada rakyat. Imam Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya Ulum al-din
cenderung berperan dalam menjalankan As-siyasah al-syar’iyyah adalah para nabi,
para sultan, ulama, dan penganjur agama. sedangkan Ibnu Khaldun memaknainya
sebagai media yang mengantarkan semua pihak ke arah yang dikehendaki agama demi
kemaslahatan dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun berkata di dalam kitab
al-muqaddimahnya, “Karena urusan dunia dalam pandangan syariat kembali
kepada kemaslahatan akhirat sehinga ia pada hakikatnya adalah penugasan dari
Tuhan dalam hal pemeliharaan agama dan pengelolaan dunia.” (Quraish
Syihab:2023:36)
Pernyataan dari
Ibnu Khaldun di atas bisa diambil satu perspektif bahwa as-siyasah al-syar’iyyah
bisa berjalan dengan baik jika seorang pemimpin itu religius, humanis, amanah,
demokratis dan adil. Pemimpin yang religius yaitu hubungan antara dirinya
dengan Tuhan-nya sangatlah baik, sehingga ia berhati-hati dalam membuat
kebijakan untuk rakyatnya. Pemimpin yang humanis adalah pemimpin yang memperhatikan
hak asasi manusia. Pemimpin amanah yaitu pemimpin yang jujur dan akuntable
dalam menetapkan kebijakan untuk rakyatnya. Pemimpin yang demokratis yaitu
pemimpin yang tidak memaksakan kehendak kepada rakyatnya dan mendengar aspirasi
mereka. Pemimpin yang adil yaitu pemimpin konsisten antara perkataan dan
tindakan, sehingga rakyat akan menilai pemimpinnya mempunyai daya integritas
yang tinggi.
Sedangkan Imam
Mawardi mengatakan bahwa pemimpin yang bisa menjalankan as-siyasah al-syar’iyyah
mempunyai beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Al-adalah,
termin tersebut bermakna bahwa pemimpin tersebut melaksanakan ajaran agama
dengan baik, menghindari dosa-dosa besar dan tidak berulang-ulang melakukan
dosa kecil sambil memelihara harga diri yang melahirkan kepercayaan dan
penghormatan masyarakat untuknya.
2. Pengetahuan
yang menjadikan seseorang yang mampu berijtihad. Pengertian ijtihad dalam
konteks kepemimpinan negara/pemerintahan untuk masa kini adalah kemampuan
memahami persoalan dan menarik kesimpulan yang sesuai tuntunan agama
3. Kesehatan
fisik, pendengaran, penglihatan, serta lidah
4.
Tidak
terhalangi oleh sesuatu yang menghambanya melakukan aktivitas secara wajar
5.
Kematangan
berfikir yang mengantarnya mampu membimbing masyarakat dan mengendalikan negara
6.
Keberanian
dan kesiapan membela masyarakat dan negara dalam gangguan apapun
0 Komentar