Jakarta, wilayah metropolitan yang penuh warna. Sebab di wilayah
tersebut bisa dikatakan fifty-fifty antara sisi gelap dan sisi terangnya. Sisi gelapnya
yaitu penduduk yang tinggal di dalamnya selalu berjibaku dengan kehidupan dunia
dan mencari kesenangan di dalamnya dengan hiburan yang hanya menyenangkan
jasad. Sedangkan sisi terangnya yaitu penduduk yang tinggal di dalamnya bukan
hanya mencari penghidupan yang layak di dunia akan tetapi mereka sadar bahwa
agama adalah sumber kebahagiaan sejati.
Jika kita berbicara sisi terang Jakarta di bulan
Ramadhan maka identik dengan ifthar jama’i dan shalat terawih berjamaah.
Masjid, mushola, majelis taklim, bahkan perusahaan-perusahaan mengadakan
acara-acara tersebut untuk memperkuat jalinan ukhuwah antara sesama muslim. Di
sisi lain acara-acara tersebut berdampak bagi kondusifitas negara sebab melalui
silaturahmi tersebut dipercaya sebagai penolak musibah di satu wilayah.
Menariknya, ada
tradisi dan agenda tahunan di bulan Ramadhan di Jakarta, acara khatmul qur’an
di dalam tarawih. Acara tersebut menandakan di satu masjid, mushola atau
majelis taklim sudah menghatamkan al-quran. Acara tersebut biasa dilakukan
setelah shalat Ashar, ya kira-kira pukul setengah lima sore. Biasanya acara
tersebut di mulai dengan dibagikan per juz al-quran kepada jamaah untuk dibaca
setelah itu pembacaan Wirdhu Latif, surat Yasin, Surat Al-Waqiah, Tahlil,
pembacaan khatmul quran, dan tausiyah agama. Biasanya acara tersebut diselingi
dengan shalawat yang diiringi oleh hadrah.
Setelah acara
seremonial pembuka selesai biasanya azan Maghrib dikumandangkan. Uniknya pada
acara tersebut waktu antara azan dan iqomah di jeda sampai empat puluh menit. Hal
itu untuk menikmati santapan buka puasa bersama. Hidangan yang selalu tersedia di acara
tersebut biasanya kurma, makanan-kecil dan nasi kebuli. Setelah selesai berbuka
puasa, langsung para jamaah melaksanakan shalat Maghrib berjamaah setelah itu shalat sunnah ba’diah dan shalat sunnah
awabin. Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan Ratib al-Haddad atau Ratib
Alatas.
Jangan heran yang
baru ikut acara ini, karena biasanya shalat Isya-nya dilakukan tiga puluh atau
empat puluh menit dari waktu semestinya. Biasanya di sebagian tradisi acara
tahunan tersebut ada pembacaan qasidah dan kitab-kitab salafuna salihin sambil
menunggu jamaah yang mengambil air wudhu. Hal itu untuk mengenal dan memahami
kehidupan para salafuna salih. Mulai dari aktivitas sehari-hari hingga ibadah
mereka yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT.
Setelah pembacaan
kitab salafuna salih selesai barulah iqomah dikumandangkan dan shalat Isya berjamaah.
Nabi Muhammad telah menyatakan dalam sabdanya, “Barangsiapa yang shalat Isya
secara berjamaah seolah-olah ia shalat setengah malam.” Belum lagi hal itu
ditambah dengan sabdanya pula, “Barangsiapa yang dekat dengan Allah di bulan
Ramadhan melalui medium fardhu-Nya maka sama pahalanya dengan 70 kali lipat. Barangsiapa
yang dekat dengan Allah di bulan Ramadhan melalui medium sunnah maka sama
pahalanya dengan satu kali fardhu ”. Melalui sabda-sabda Sang Mujtaba
tersebut tentu memotivasi diri kita untuk melakukan baik shalat fardhu dan
shalat sunnah di bulan penuh ampunan tersebut.
Kemudian sebelum
shalat terawih berjamaah, alangkah baiknya para jamaah shalat bakdiah Isya.
Karena semakin banyak melakukan ibadah-ibadah tersebut semakin datang
ketenangan, kebahagiaan, dan kegembiraan. Sebagaimana Nabi bersabda, “Bagi
seorang yang berpuasa ada dua kebahagiaan yaitu saat berbuka dan saat bertemu
dengan Allah (ibadah).”
Al-Habib Ahmad bin
Muhammad bin Hamzah Alatas adalah tokoh pertama yang menyiarkan terawih dengan khotmil
quran di Azzawiyah, Pekojan Jakarta Utara pada malam 27 Ramadhan. Kemudian
muridnya yaitu Habib Abdullah bin Muchsin Alatas membuat acara serupa pada
malam 21 Ramadhan. Lalu Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi meminta izin untuk
acara serupa kepada gurunya Habib Abdullah bin Muchsin Alatas. Lalu Habib
Abdullah memerintahkannya pada malam 25 Ramadhan untuk mengadakan terawih
dengan khotmil quran di Kwitang.
Tradisi khatmil quran pada shalat terawih ini sudah ada kurang lebih dua abad lamanya. Tentu tradisi ini membawa dampak positif bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Selain sebagai ajang silaturahmi antar sesama muslim, acara tersebut juga sebagai munajat kepada Allah SWT di malam-malam di bulan Ramadhan. Dimana doa seorang muslim tidak akan ditolak oleh Sang Rahman.
0 Komentar