Kriteria Sahabat yang Baik oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si , CETP (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

 

Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa saling mencintai karena Allah dan persahabatan di dalam agama itu adalah sebaik-baik kedetakatan, sebab hal tersebut dinaungi oleh baiknya akhlak.” Melalui pernyataan tersebut bisa diambil satu pandangan bahwa persahabatan yang dilandasi cinta karena Allah itu akan berbuah kebaikan. Sebab hal tersebut menunjukkan bahwa pertemanan itu bukan mencari tujuan pribadi akan tetapi kedekatan yang didasari oleh kemanusiaan, saling perhatian, membantu satu sama lain, selalu sharing untuk mendapatkan pencerahan, dan mengingatkan untuk tidak lepas dari kedekatan dengan Allah.

            Persahabatan yang abadi dan langgeng adalah persahabatan Rasulullah Saw, dimana beliau bersahabat dengan Sayyidina Abubakar As-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khatab, Sayyidina Usman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Persahabatan tersebut tidak telupakan sampai yamul qiyamah. Sehingga dari persahabatan tersebut namanya selalu dikenang oleh para khatib Jumat di dalam menyampaikan khutbah kedua di setiap minggunya. Hal tersebut telah diungkapkan oleh Rasulullah, “Sesungguhnya kedekatan kalian kepadaku dalam satu majelis di dasari oleh kebaikan-kebaikan akhlak kalian.”

            Bahkan Rasulullah memberikan statement bahwa Allah memilihkan sahabat yang salih bagi orang yang ingin mempunyai karakter baik, “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan untuknya maka ia dekat kepada teman yang shalih, jika ia lupa maka akan diingatkan, dan jika ia diingatkan maka akan melaksanakannya.” Bersahabat dengan orang-orang shalih di zaman sekarang ini adalah sebuah kemuliaan. Karena di zaman post truth ini orang-orang berlomba-lomba untuk menunjukkan jati dirinya di media sosial. Sehingga sahabat yang shalih ini akan menunjukkan jalan kebenaran dan kesabaran.

            Kebenaran bagi orang shalih dan kebenaran bagi orang duniawi sangatlah berbeda. Kebenaran orang shalih itu selalu merujuk pada sifat-sifat Rasulullah, jujur, mandiri, sabar, syukur, cerdas secara intektual dan spiritual, humanis, dan qanaah. Sedangkan kebenaran bagi orang duniawi adalah kebenaran untuk memaksakan sesuatu untuk dimiliki olehnya. Sehingga ketika kita berteman dengan orang salih maka kita akan menerima sesuatu yang Allah diberikan kepada kita. Akan tetapi ketika kita bersahabat dengan orang duniawi maka tidak akan puas terhadap pemberian dari-Nya.

            Kesabaran bagi orang shalih yaitu selalu mengikuti alur kesabaran Rasulullah. Namun kesabaran Rasulullah itu melebihi batas manusia pada umumnya. Ingatkah ketika di dalam perjalanan Rasullah ke Yastrib, beliau dicaci, dimaki, dan dilempari kotoran. Akan tetapi beliau hanya diam saja bahkan beliau berdoa untuk orang-orang yang melakukan hal tersebut mendapatkan taufik dan hidayah. Kesabaran rasulullah itulah yang sejatinya menjadi kemenangannya. Sebagaimana di dalam kesabaran terhadap balasan yang sangat indah dari Allah. Sebagaimana di dalam QS Az-Zumar ayat 10:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

            Kesabaran bagi orang duniawi yaitu kesabaran yang ada ketika ia mendapat sesuatu yang diraih. Sabar yang demikian menunjukkan sabar yang semu. Sebab kesabaran dilandasi oleh ketercapaian  yang diinginkan. Sehingga ketercapaian itu akan berbuah penyesalan dan kekecewaan. Di situlah timbul pernyataan, “Mengapa saya dulu tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, namun hal tersebut tidak bisa saya jalankan dengan sempurna.”

 

           




Posting Komentar

0 Komentar