Titik Jenuh Manusia itu Bernama Hidayah oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si, CETP (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

        

Setiap manusia memiliki titik jenuh di dalam menjalankan urusan dunia. Titik tersebut yang membuatnya butuh  kebahagiaan sejati melalui agama. Maka kondisi tersebut bisa disebut hidayah. Ada yang mendapatkannya di umur senja manusia, ada yang mendapatkannya memang dengan kesadaran diri yang reflektif, dan ada yang mendapatkannya melalui sahabat dekatnya. Melalui hidayah tersebut, manusia akan berusaha untuk menjadi lebih dekat dengan Allah dan mengendalikan hawa nafsunya (tazkiah al-nafs).

            Hidayah itu dari Skata hada-yahdi-hidayatan yang berarti petunjuk. Tentu petunjuk yang indah adalah petunjuk dari Allah Swt. Apalagi kita secara sadar atau tidak sadar sering menyebutnya di dalam shalat yaitu Ihdina Siratal Mustaqiem (Ya Allah tunjukilah kami Jalan yang lurus). Jalan yang lurus tersebut yaitu jalan mengikuti para nabi, khulafaur rasyidin, tabi’in, dan tabiut tabiin. Sehingga jalan tersebut yang menjadikan hati seseorang damai, tentram, dan tidak gelisah.

            Di sisi lain, hidayah bisa dikatakan yaitu restorasi diri dan hati menuju kedekatan pada Allah. Melalui restorasi tersebut bisa melalui shalat dan dzikrullah. Ketika keduanya sudah intensif dilakukan manusia maka ia akan merasakan betapa hidayah itu dilalui melalui proses penalaran, baik itu penalaran deduktif maupun induktif.

            Hidayah pada penalaran deduktif didapat oleh seseorang melalui pendidikan agama yang telah ditanamkan dan diterapkan oleh orang tua. Tarbiah Islamiyah yang telah diaplikasikan sejak dini di lingkungan rumah menyebabkan adanya kesadaran sejak kecil. Maka Rasulullah memerintahkan kepada umat muslim ketika mereka mempunyai anak yang sudah berumur 10 tahun akan tetapi tidak sholat maka wajib baginya dihukum. Hukuman tersebut bukan berarti mengekang diri si anak, akan tetap sebagai pengingat bahwa shalat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim.

            Hidayah pada konstruktif  dasar juga dibangun atas dasar bagusnya tingkat spiritual orang tua. Sehingga mereka melakukan pembiasaan-pembiasaan dalam agama dilakukan kepada seorang anak. Mulai dari mengajak anaknya ke masjid untuk shalat, mengajak ke kajian-kajian Islam, dan menegurnya jika ia salah dalam berbuat dan bertindak. Ditambah pula ketika anak masuk usia sekolah dasar dimasukkan di Taman Pendidikan al-Quran (TPA). 

            Di samping itu, orang tua harus tetap memberikan batasan atau controlling dalam pergaulan anak hingga masa remaja. Karena pergaulan sosial akan mempengaruhi tingkah laku dan moral seseorang. Ketika seorang yang  bergaul pada pergaulan positif, pergaulan yang mengingatkan ibadah maka anak itu akan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Sedangkan seseorang yang bergaul dengan pergaulan yang negatif maka ia akan menabrak rambu-rambu yang ditetapkan oleh agama. 

            Sedangkan hidayah pada penalaran induktif biasanya di dapat pada masa manusia melewati umur lebih dari seperempat abad. Hal itu bisa terjadi lantaran beberapa sebab, sebab yang pertama karena ia pada kondisi ekonomi yang terjatuh, sebab yang kedua karena ia kejenuhan pada realitas kemewahan duniawi, dan sebab yang ketiga ia menjadi mualaf. Melihat kondisi-kondisi demikian, mereka sejatinya memerlukan bimbingan dari seorang guru.

            Guru spiritual di zaman modern ini terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Karena sebagian orang berfikir guru tersebut hanya sebagai penenang hati tanpa melihat backgroudnya mengetahui syariat atau tidak. Padahal guru spiritual yang shahih ialah ia menjalankan syariat agama dan menjalani kehidupan dengan cara nabi Muhammad. Kehidupan tersebut di kesetiaannya kepada Rabb-nya, kejujurannya, kewara’annya (kehati-hatian dari haram, dan syubhat), ketawadhuannya, dan sosialisasi yang baik di masyarakat.

            Maka dari itu beruntunglah orang-orang yang mendapatkan hidayah, baik itu hidayah pada penalaran deduktif atau induktif. Sebab Rasulullah telah berstatment bahwa ada ahli surga yang pada akhirnya di tempatkan di neraka dan sebaliknya ahli neraka yang pada akhirnya di tempatkan di syurga. Di situlah hidayah bisa dikatakan mahal. Kemahalan yang tentunya tidak bisa dibeli oleh uang akan tetapi dibangun dari kesadaran diri bahwa kedekatan dengan Rabb adalah kedekatan yang indah. Kedekatan yang akan membawa kemaslahatan baik di dunia dan akhirat.

           

           

           

 




Posting Komentar

0 Komentar