Bagaimana Nabi Muhammad dan Para Ulama Salafuna Salih Memandang Dunia? oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)


            Nabi Muhammad pernah bersabda, “Kerjakanlah untuk dunia-mu seolah-olah engkau hidup selamanya, dan kerjakanlah untuk akhirat-mu seolah olah engkau mati esok hari.” Hadis tersebut bisa diambil satu perspektif bahwa seorang muslim harus memanaje kehidupan untuk urusan dunia dan urusan akhirat. Urusan di dunia berupa mencari nafkah dengan cara yang halal dan urusan akhirat dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui medium ibadah. Jika keseimbangan itu dijaga oleh hamba-Nya maka Sang Pencipta akan memberikan sesuatu yang tidak terduga olehnya.

            Bila kita bermuhasabah atau kita renungi sesaat, ibadah yang kita lakukan hanyalah sedikit waktu. Anggaplah kita hanya melakukan shalat lima waktu saja, dan satu waktu shalat tersebut kita hanya melakukannya hanya lima menit. Disitulah akan terjadi kufur nikmat kepada nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah. Karena Sang Khalik menyediakan waktu dua puluh empat jam dalam sehari akan tetapi untuk bersamanya hanya dua puluh lima menit.

            Adapun ada seorang hamba yang Allah cintai dengan cara melindunginya dari kerakusan dunia. Biasanya hamba tersebut adalah orang-orang salih atau orang-orang yang sudah jenuh karena dibudaki oleh dunia. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Apabila Allah sudah cinta kepada seorang hamba maka Ia melindunginya dari hal-hal duniawiyah, sebagaimana salah seorang di antara kamu melindungi orang yang sakit dari air.”

            Para ulama salafuna salih melihat dunia ini seperti sebuah perhiasaan yang hanya berlaku ketika ia ditempatkan secara proporsional akan tetapi perhiasaan tersebut tidak ditempatkan di hati atau dicintai secara berlebihan. Sebab mereka menginginkan perhiasaan yang abadi berupa kenikmatan di akhirat kelak. Sebagaimana Yahya bin Muadz al-Razi mengungkapkan bahwa "Meninggalkan dunia berat dan meninggalkan surga lebih berat dari itu, dan sesungguhnya maharnya syurga itu meninggalkan dunia.”.

            Imam Fudayl bin Iyadh berkata, “Allah menjadikan keburukan itu kesemuanya di rumah, dan Ia menjadikan kuncinya (keburukan) itu dengan cinta dunia. Allah menjadikan kebaikan itu kesemuanya itu di rumah dan Ia menjadikan kuncinya (kebaikan) itu dengan zuhud (menyedikitkan hal-hal duniawiyah).

 




Posting Komentar

0 Komentar