Keyakinan kepada Allah ini harus dijaga bagi seorang mukmin. Karena hal tersebut berkaitan dengan rukun iman yang pertama. Apalagi di zaman yang penuh dengan warna di era digitalisasi sekarang ini. Berapa banyak orang yang menjadi penjilat kepada atasanya, direktur, dan penguasa? Sehingga pada akhirnya ia terjebak pada ketergantungan kepada makhluk. Posisi tersebutlah akan terkikis keimanan kepada sang Ilahi. Kondisi yang demikian secara perlahan akan jatuh kepada sifat munafik.
Allah berfirman
di dalam al-quran:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan bersungguh-sungguh di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat
Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah/2:218)
Ayat
di atas bisa diambil satu perspektif bahwasannya orang yang beriman ia selalu
mereaktualisasikan dirinya melalui nilai-nilai qurani dan sifat-sifat
nabawiyah. Reaktualisasi ialah menyegarkan potensi diri dengan
menginternalisasi nilai keimanan, nilai syariat dan nilai akhlak disertai
dengan sifat-sifat nabi Muhammad; siddiq, amanah, fathonah, tabligh, kemandirian, dan bertanggung jawab.
Selain itu orang-orang yang beriman juga selalu berharap
pada Allah. Syekh Ahmad Zarruq menuturkan bahwasannya orang yang selalu
berharap kepada Allah swt yaitu ia menempatkan karunia Allah Swt melalui pengimplementasian amal shalih secara komperhensif, kecuali ia tertipu (Abdul Qadir Isa:2017:241).
Melalui pernyataan Syekh Ahmad diambil satu pandangan bahwasannya berharap
kepada Allah bagian dari iman. Namun, harapan tersebut juga dibarengi menjaga
hubungan baik secara vertikal dan horizontal.
Syekh Abdul Qadir Isa mengungkapkan bahwa berharap
kepada Allah itu berbeda dengan berandai-andai. Maka dari itu orang yang
berharap kepada-Nya, ialah ia yang melaksanakan jalan taat kepada Allah yang dengan
ketaatan tersebut Ia ridha dan mengkabulkan hajat-hajatnya. Siapapun harus
meninggalkan angan-angan dengan menggantinya dengan jalan-jalan ketaaatan dan
kesungguhan kepada sang khalik. Sehingga ia tinggal menunggu jawaban dan karunia
dari Allah Swt. (Abdul Qadir Isa:2017:241).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Sesungguhnya perkara yang paling saya takutkan dari kalian
adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.” Pernyataan tersebut memberikan kesadaran bahwa
berandai-andai itu bagian dari hawa nafsu. Misalnya seseorang yang menginginkan
sesuatu akan tetapi ia tidak mengerjakannya. Hal tersebut akan menjadi sia-sia.
Sama halnya ia mengharapkan kehidupan yang nyaman baik di dunia dan di akhirat
akan tetapi ia tidak mendekatkan diri kepada Yang Maha Pemberi Kehidupan dan
Yang Maha Pemberi Rezeki.
Tentu
kedekatan diri seorang hamba dengan Rabb-nya jangan hanya dikala ia susah saja.
Hal ini telah lumrah terjadi pada diri manusia. Sungguh nabi bersabda, “Dekatlah engkau kepada
Allah disaat kamu senang maka ia akan mendekat kepada mu dikala kamu susah.”
0 Komentar